Jakarta (ANTARA) - Rata-rata kasus infeksi COVID-19 di India dalam satu pekan terakhir sampai 26 April 2021 terus menanjak sampai 330.000 per hari.
Angka itu melewati catatan tertinggi di dunia sebelum ini sebesar 300.669 yang terjadi di Amerika Serikat pada 8 Januari 2021, dan 15 kali lebih tinggi dari rata-rata kasus baru di Indonesia.
Tingkat kematian di India juga mengerikan. Statistik Johns Hopkins University menunjukkan, dalam satu pekan terakhir itu, rata-rata kematian di India adalah 2.481, jauh di atas rata-rata 706 kematian di AS dan 174 kematian di Indonesia.
Dan itu belum akan berakhir. Para ilmuwan Indian Institute of Technology memprediksi jumlah kasus aktif baru dalam gelombang kedua di India ini belum mencapai puncaknya karena baru akan terjadi pada 14-18 Mei.
Itu artinya, malapetaka belum akan mereda sampai setengah bulan ke depan.
Pada 14-18 Mei itu, kasus baru akan mencapai puncaknya 380.000 - 480.000 kasus, sementara rata-rata harian kemungkinan mencapai puncak 440.0000 kasus per hari pada 4- 8 Mei.
Angka-angka ini sungguh mengejutkan karena dua bulan lalu India sepertinya sudah berhasil menekan COVID-19 di mana jumlah kasus menurun 90 persen dari puncak gelombang pertama pandemi September tahun lalu.
Kini, India menjadi negara dengan situasi pandemi terburuk di dunia. Banjir foto, video dan kisah memilukan akibat serangan COVID-19 tumpah ruah ke seluruh dunia, menggambarkan situasi buruk di India itu.
Salah satunya tergambar dari banjir pesan pertolongan di media sosial, mulai dari pasien dan pengelola rumah sakit yang menjerit kekurangan pasokan oksigen, sampai dokter yang tanpa daya menyaksikan pasien meregang nyawa karena rumah sakit sudah tak mampu menanggung beban yang kian besar.
Tempat-tempat pembakaran mayat kewalahan karena harus bekerja sepanjang waktu sampai-sampai tungku pembakaran mayat meleleh oleh penggunaan yang melebihi kapasitas.
Ini semua gara-gara virus yang menyebar jauh lebih cepat, padahal tingkat infeksi yang tinggi di kota-kota besar sebelum itu seharusnya memberikan imunitas alami pada bagian besar warga.
Data antibodi yang menunjukkan banyak orang di kota besar seperti Delhi dan Chennai sudah terinfeksi sehingga otoritas cepat menyimpulkan fase terburuk pandemi sudah meninggalkan India.
Januari lalu jumlah kasus memang turun drastis sampai di bawah 15.000 kasus per pekan. Ini membuat Perdana Menteri Narendra Modi cepat berpuas diri.
"Prediksi menyebutkan India bakal menjadi yang terparah terjangkit virus corona. Tetapi kini India menjadi di antara negara yang berhasil menyelamatkan nyawa warganya," kata Modi dalam Forum Ekonomi Dunia, Januari itu.
Partai Bharatiya Janata pimpinan Modi setali tiga uang. Mereka memproklamirkan "India telah mengalahkan Covid".
Malah menjadi bumerang
Dan kehidupan pun kembali ke sebelum pandemi menimpa. Pesta-pesta dan pernikahan diadakan di mana-mana. Masker tak lagi dikenakan, aturan jaga jarak sosial dicampakkan. Acara politik, yakni pemilu, diselenggarakan dengan kampanye lapangan yang menciptakan kerumunan-kerumunan besar, lengkap dengan pawai jalanan.
Puncaknya, pemerintah mengizinkan acara keagamaan tahunan Kumbh Mela sehingga jutaan pemeluk Hindu tumpah ruah berkerumun di tepi Sungai Gangga di negara bagian Uttarakhand. Ada keinginan memberi pesan bahwa tak perlu khawatir kepada COVID-19.
Tapi itu malah menjadi bumerang. Mulai pertengahan Maret, jumlah kasus menanjak. Modi masih belum sadar juga. Dia menggelar kampanye terbuka yang menciptakan kerumunan besar di West Bengal pada 17 April.
Dia baru tersadar saat kasus meledak 300.000-an per hari dan merenggut ribuan nyawa per hari yang sebagian karena rumah sakit sudah tak mampu lagi merawat pasien yang jumlahnya mendadak menggunung. Alat dan obat terlalu sedikit untuk mereka yang sakit yang kian banyak saja.
Di Uttarakhand sendiri, jumlah kasus harian meroket dari 30-60 kasus pada Februari, menjadi 2.000 – 2.500 kasus pada April.
Padahal, menurut ilmuwan Rakesh Mishra dari Center for Cellular and Molecular Biology di Hyderabad, para pakar tak henti mengingatkan pandemi belumlah usai. "Tapi tak ada yang mau dengar," kata Mishra seperti dikutip National Geographic.
Mishra kini tengah meneliti apakah varian baru B1617 yang bermutasi di India menjadi biang keladinya.
Namun dugaan varian baru yang amat menular dan bisa mengelabui sistem kekebalan tubuh yang tercipta dari vaksinasi itu sebagai penyebab utama gelombang kedua, ditepis banyak kalangan. Dari uji coba awal sendiri, vaksin kemungkinan besar malah mampu melawan varian-varian baru termasuk B1617.
Lagi pula, negara-negara yang memiliki pasokan vaksin besar dan melakukan vaksinasi skala luas seperti Inggris dan Israel malah mengalami penurunan kasus yang signifikan.
Oleh karena itu, bagi Srinath Reddy, epidemiolog dari Public Health Foundation of India di New Delhi, justru aturan pembatasan COVID-19 yang kian longgar dan menurunnya disiplin masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan, menjadi biang kerok semua itu.
"Pandemi naik lagi dalam masyarakat yang sepenuhnya terbuka di mana orang bercampur baur, terus bergerak dan bepergian," kata Reddy.
Tiga faktor besar
Intinya, ada tiga faktor besar yang membuat gelombang kedua pandemi terjadi di India.
Pertama, cepat berpuas diri bahwa COVID-19 telah ditaklukkan sehingga rekomendasi ilmiah diabaikan justru ketika data-data belum lengkap mendukung proklamasi kemenangan melawan pandemi. Dan ini membuat semuanya lengah serta mengabaikan protokol kesehatan.
Tak seperti Arab Saudi yang hati-hati membuka lagi ibadah haji dalam skala pra pandemi atau China yang memangkas skala perayaan Imlek dua bulan lalu, India tidak mengambil tindakan pencegahan semacam itu sehingga kasus meledak lagi ketika jutaan orang berkerumun di tepi Sungai Gangga demi merayakan Kumbh Mela.
India tak siap menghadapi gelombang kedua karena rasa berpuas diri itu juga membuat mereka percaya diri mengekspor alat kesehatan dan vaksin ketika COVID-19 belumlah benar-benar ditaklukkan.
Maret lalu India menaikkan ekspor oksigen kesehatan sampai 734 persen. Akibatnya ketika kasus meledak, rumah sakit kelimpungan mencari oksigen dan kemudian menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian.
Baca juga: India akan menerima pengiriman pertama vaksin COVID-19 Rusia
India juga terlalu dini mengekspor 193 juta dosis vaksin ketika baru 10 persen penduduk yang divaksinasi, jauh dari persentase yang dibutuhkan untuk menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity. Lain dari itu, mengutip epidemiolog Ramanan Laxminarayan dari Universitas Princeton yang tinggal di New Delhi, kehadiran vaksin membuat India tak lagi waspada.
Kedua, adanya varian baru bermutasi ganda yang lebih mengerikan. Mengutip laman WHO, ketika virus menyebar luas dalam satu populasi dan menginfeksi banyak orang, maka mutasi virus kemungkinan meningkat.
Faktanya di India virus bermutasi menciptakan varian baru yang lebih menular, B1617, sekalipun asalnya bukan dari India. Dari data ilmiah, varian B117 yang pertama kali terlihat di Inggris, menjadi bentuk virus dominan di negara bagian Punjab. Varian Inggris itu diyakini menjadi pemicu infeksi yang kian menyebar dan mutasi yang akhirnya menciptakan varian B1617.
Menurut peneliti kesehatan Zarir Udwadia dari Hinduja Hospital & Medical Research Centre di Mumbai, kalau pada gelombang pertama ada salah satu keluarga positif tertular COVID-19, tidak serta satu keluarga itu positif. “Tapi sekarang jika satu keluarga terkena, maka sekeluarga itu dipastikan terpapar,” kata Udwadia dalam jurnal Nature.
Namun sebagian kalangan, salah satunya virolog Inggris dari Universitas Glasgow, David Robertson, menyanggah hal itu karena data sekuen yang ada belum cukup menyimpulkan varian baru menjadi faktor utama gelombang kedua India.
Ketiga, penetrasi vaksinasi yang rendah. India yang sebelum pandemi merupakan produsen vaksin terbesar di dunia terlalu cepat memutuskan ekspor ketika skala vaksinasi di dalam negeri masih rendah, hanya 9 dari setiap 100 warga yang sudah disuntik dosis pertama.
Itu belum cukup menciptakan kekebalan kelompok. Bahkan seandainya 1 miliar dosis vaksin COVID-19 yang saat ini tersedia di dunia digunakan semuanya di India, maka tetaplah belum cukup menciptakan kekebalan kelompok di negara itu.
Dengan asumsi semua vaksin mesti disuntikkan dalam dua dosis, walaupun vaksin Covid buatan Johnson & Johnson’s cuma memerlukan satu dosis, maka jumlah dosis yang bisa disuntikkan kepada warga India hanya bisa untuk 500 juta orang. Ini artinya masih ada 866 juta warga India lainnya yang belum divaksin.
Yang bisa dipetik Indonesia
Gelombang kedua pandemi di India mengajarkan janganlah cepat berpuas diri sehingga protokol kesehatan dicampakkan ketika data statistik sama sekali belum kuat mendukungnya.
Di negara-negara seperti AS dan beberapa negara Eropa, kasus baru meledak lagi akibat kerumunan akibat mengabaikan protokol kesehatan yang tercipta pada masa-masa seperti libur besar Paskah.
Sebaliknya, Arab Saudi mampu mengendalikan kasus baru karena dengan terukur mencegah terciptanya kerumunan besar, termasuk dalam kerangka menyelenggarakan kegiatan ibadah umroh dan haji.
Situasi COVID-19 di India itu juga memberi pesan bahwa vaksin dan vaksinasi bukan alasan untuk relaks. Lain dari itu, vaksinasi harus dipastikan berlangsung dalam skala luas.
Baca juga: Menkes sebut mutasi virus India sudah sampai di Indonesia
Metode vaksinasi juga sebaiknya diubah dengan memakai pola “menjemput bola” demi memastikan tak menciptakan ironi akibat sentra-sentra vaksinasi yang malah menciptakan kerumunan besar sehingga orang justru terpapar COVID-19 sewaktu antre vaksinasi seperti terjadi India. Selain itu, evaluasi dan kemajuan vaksinasi tak henti diinformasikan kepada publik.
Kasus di India itu juga bisa mengajarkan kepada Indonesia agar menahan dulu berbicara soal ekspor vaksin dan alat kesehatan dalam skala besar, walau masih dalam wacana, sebelum bagian terbesar penduduk sudah divaksin dan semua rumah sakit cukup alat serta cukup obat.
Terakhir, malapetaka COVID-19 di India juga mengajarkan agar awas kepada varian baru, apalagi varian baru acap menciptakan varian baru lainnya yang kadang lebih ganas seperti terjadi di India.
Baca juga: Jerman akan kirim oksigen dan bantuan medis ke India
Mempedulikan rekomendasi ilmiah dan tak kendor membendung infeksi, termasuk terus menerapkan pembatasan sosial dan menjaga ketat semua pintu masuk nasional, adalah di antara sekian cara yang mesti dilakukan Indonesia.
Varian India yang diyakini bermuasal dari varian Inggris itu memberi pelajaran bahwa longgarnya pengawasan di pintu masuk negara bisa menjadi awal untuk gelombang kedua yang sudah lama diprediksi lebih ganas daripada gelombang pertama.
Angka itu melewati catatan tertinggi di dunia sebelum ini sebesar 300.669 yang terjadi di Amerika Serikat pada 8 Januari 2021, dan 15 kali lebih tinggi dari rata-rata kasus baru di Indonesia.
Tingkat kematian di India juga mengerikan. Statistik Johns Hopkins University menunjukkan, dalam satu pekan terakhir itu, rata-rata kematian di India adalah 2.481, jauh di atas rata-rata 706 kematian di AS dan 174 kematian di Indonesia.
Dan itu belum akan berakhir. Para ilmuwan Indian Institute of Technology memprediksi jumlah kasus aktif baru dalam gelombang kedua di India ini belum mencapai puncaknya karena baru akan terjadi pada 14-18 Mei.
Itu artinya, malapetaka belum akan mereda sampai setengah bulan ke depan.
Pada 14-18 Mei itu, kasus baru akan mencapai puncaknya 380.000 - 480.000 kasus, sementara rata-rata harian kemungkinan mencapai puncak 440.0000 kasus per hari pada 4- 8 Mei.
Angka-angka ini sungguh mengejutkan karena dua bulan lalu India sepertinya sudah berhasil menekan COVID-19 di mana jumlah kasus menurun 90 persen dari puncak gelombang pertama pandemi September tahun lalu.
Kini, India menjadi negara dengan situasi pandemi terburuk di dunia. Banjir foto, video dan kisah memilukan akibat serangan COVID-19 tumpah ruah ke seluruh dunia, menggambarkan situasi buruk di India itu.
Salah satunya tergambar dari banjir pesan pertolongan di media sosial, mulai dari pasien dan pengelola rumah sakit yang menjerit kekurangan pasokan oksigen, sampai dokter yang tanpa daya menyaksikan pasien meregang nyawa karena rumah sakit sudah tak mampu menanggung beban yang kian besar.
Tempat-tempat pembakaran mayat kewalahan karena harus bekerja sepanjang waktu sampai-sampai tungku pembakaran mayat meleleh oleh penggunaan yang melebihi kapasitas.
Ini semua gara-gara virus yang menyebar jauh lebih cepat, padahal tingkat infeksi yang tinggi di kota-kota besar sebelum itu seharusnya memberikan imunitas alami pada bagian besar warga.
Data antibodi yang menunjukkan banyak orang di kota besar seperti Delhi dan Chennai sudah terinfeksi sehingga otoritas cepat menyimpulkan fase terburuk pandemi sudah meninggalkan India.
Januari lalu jumlah kasus memang turun drastis sampai di bawah 15.000 kasus per pekan. Ini membuat Perdana Menteri Narendra Modi cepat berpuas diri.
"Prediksi menyebutkan India bakal menjadi yang terparah terjangkit virus corona. Tetapi kini India menjadi di antara negara yang berhasil menyelamatkan nyawa warganya," kata Modi dalam Forum Ekonomi Dunia, Januari itu.
Partai Bharatiya Janata pimpinan Modi setali tiga uang. Mereka memproklamirkan "India telah mengalahkan Covid".
Malah menjadi bumerang
Dan kehidupan pun kembali ke sebelum pandemi menimpa. Pesta-pesta dan pernikahan diadakan di mana-mana. Masker tak lagi dikenakan, aturan jaga jarak sosial dicampakkan. Acara politik, yakni pemilu, diselenggarakan dengan kampanye lapangan yang menciptakan kerumunan-kerumunan besar, lengkap dengan pawai jalanan.
Puncaknya, pemerintah mengizinkan acara keagamaan tahunan Kumbh Mela sehingga jutaan pemeluk Hindu tumpah ruah berkerumun di tepi Sungai Gangga di negara bagian Uttarakhand. Ada keinginan memberi pesan bahwa tak perlu khawatir kepada COVID-19.
Tapi itu malah menjadi bumerang. Mulai pertengahan Maret, jumlah kasus menanjak. Modi masih belum sadar juga. Dia menggelar kampanye terbuka yang menciptakan kerumunan besar di West Bengal pada 17 April.
Dia baru tersadar saat kasus meledak 300.000-an per hari dan merenggut ribuan nyawa per hari yang sebagian karena rumah sakit sudah tak mampu lagi merawat pasien yang jumlahnya mendadak menggunung. Alat dan obat terlalu sedikit untuk mereka yang sakit yang kian banyak saja.
Di Uttarakhand sendiri, jumlah kasus harian meroket dari 30-60 kasus pada Februari, menjadi 2.000 – 2.500 kasus pada April.
Padahal, menurut ilmuwan Rakesh Mishra dari Center for Cellular and Molecular Biology di Hyderabad, para pakar tak henti mengingatkan pandemi belumlah usai. "Tapi tak ada yang mau dengar," kata Mishra seperti dikutip National Geographic.
Mishra kini tengah meneliti apakah varian baru B1617 yang bermutasi di India menjadi biang keladinya.
Namun dugaan varian baru yang amat menular dan bisa mengelabui sistem kekebalan tubuh yang tercipta dari vaksinasi itu sebagai penyebab utama gelombang kedua, ditepis banyak kalangan. Dari uji coba awal sendiri, vaksin kemungkinan besar malah mampu melawan varian-varian baru termasuk B1617.
Lagi pula, negara-negara yang memiliki pasokan vaksin besar dan melakukan vaksinasi skala luas seperti Inggris dan Israel malah mengalami penurunan kasus yang signifikan.
Oleh karena itu, bagi Srinath Reddy, epidemiolog dari Public Health Foundation of India di New Delhi, justru aturan pembatasan COVID-19 yang kian longgar dan menurunnya disiplin masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan, menjadi biang kerok semua itu.
"Pandemi naik lagi dalam masyarakat yang sepenuhnya terbuka di mana orang bercampur baur, terus bergerak dan bepergian," kata Reddy.
Tiga faktor besar
Intinya, ada tiga faktor besar yang membuat gelombang kedua pandemi terjadi di India.
Pertama, cepat berpuas diri bahwa COVID-19 telah ditaklukkan sehingga rekomendasi ilmiah diabaikan justru ketika data-data belum lengkap mendukung proklamasi kemenangan melawan pandemi. Dan ini membuat semuanya lengah serta mengabaikan protokol kesehatan.
Tak seperti Arab Saudi yang hati-hati membuka lagi ibadah haji dalam skala pra pandemi atau China yang memangkas skala perayaan Imlek dua bulan lalu, India tidak mengambil tindakan pencegahan semacam itu sehingga kasus meledak lagi ketika jutaan orang berkerumun di tepi Sungai Gangga demi merayakan Kumbh Mela.
India tak siap menghadapi gelombang kedua karena rasa berpuas diri itu juga membuat mereka percaya diri mengekspor alat kesehatan dan vaksin ketika COVID-19 belumlah benar-benar ditaklukkan.
Maret lalu India menaikkan ekspor oksigen kesehatan sampai 734 persen. Akibatnya ketika kasus meledak, rumah sakit kelimpungan mencari oksigen dan kemudian menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian.
Baca juga: India akan menerima pengiriman pertama vaksin COVID-19 Rusia
India juga terlalu dini mengekspor 193 juta dosis vaksin ketika baru 10 persen penduduk yang divaksinasi, jauh dari persentase yang dibutuhkan untuk menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity. Lain dari itu, mengutip epidemiolog Ramanan Laxminarayan dari Universitas Princeton yang tinggal di New Delhi, kehadiran vaksin membuat India tak lagi waspada.
Kedua, adanya varian baru bermutasi ganda yang lebih mengerikan. Mengutip laman WHO, ketika virus menyebar luas dalam satu populasi dan menginfeksi banyak orang, maka mutasi virus kemungkinan meningkat.
Faktanya di India virus bermutasi menciptakan varian baru yang lebih menular, B1617, sekalipun asalnya bukan dari India. Dari data ilmiah, varian B117 yang pertama kali terlihat di Inggris, menjadi bentuk virus dominan di negara bagian Punjab. Varian Inggris itu diyakini menjadi pemicu infeksi yang kian menyebar dan mutasi yang akhirnya menciptakan varian B1617.
Menurut peneliti kesehatan Zarir Udwadia dari Hinduja Hospital & Medical Research Centre di Mumbai, kalau pada gelombang pertama ada salah satu keluarga positif tertular COVID-19, tidak serta satu keluarga itu positif. “Tapi sekarang jika satu keluarga terkena, maka sekeluarga itu dipastikan terpapar,” kata Udwadia dalam jurnal Nature.
Namun sebagian kalangan, salah satunya virolog Inggris dari Universitas Glasgow, David Robertson, menyanggah hal itu karena data sekuen yang ada belum cukup menyimpulkan varian baru menjadi faktor utama gelombang kedua India.
Ketiga, penetrasi vaksinasi yang rendah. India yang sebelum pandemi merupakan produsen vaksin terbesar di dunia terlalu cepat memutuskan ekspor ketika skala vaksinasi di dalam negeri masih rendah, hanya 9 dari setiap 100 warga yang sudah disuntik dosis pertama.
Itu belum cukup menciptakan kekebalan kelompok. Bahkan seandainya 1 miliar dosis vaksin COVID-19 yang saat ini tersedia di dunia digunakan semuanya di India, maka tetaplah belum cukup menciptakan kekebalan kelompok di negara itu.
Dengan asumsi semua vaksin mesti disuntikkan dalam dua dosis, walaupun vaksin Covid buatan Johnson & Johnson’s cuma memerlukan satu dosis, maka jumlah dosis yang bisa disuntikkan kepada warga India hanya bisa untuk 500 juta orang. Ini artinya masih ada 866 juta warga India lainnya yang belum divaksin.
Yang bisa dipetik Indonesia
Gelombang kedua pandemi di India mengajarkan janganlah cepat berpuas diri sehingga protokol kesehatan dicampakkan ketika data statistik sama sekali belum kuat mendukungnya.
Di negara-negara seperti AS dan beberapa negara Eropa, kasus baru meledak lagi akibat kerumunan akibat mengabaikan protokol kesehatan yang tercipta pada masa-masa seperti libur besar Paskah.
Sebaliknya, Arab Saudi mampu mengendalikan kasus baru karena dengan terukur mencegah terciptanya kerumunan besar, termasuk dalam kerangka menyelenggarakan kegiatan ibadah umroh dan haji.
Situasi COVID-19 di India itu juga memberi pesan bahwa vaksin dan vaksinasi bukan alasan untuk relaks. Lain dari itu, vaksinasi harus dipastikan berlangsung dalam skala luas.
Baca juga: Menkes sebut mutasi virus India sudah sampai di Indonesia
Metode vaksinasi juga sebaiknya diubah dengan memakai pola “menjemput bola” demi memastikan tak menciptakan ironi akibat sentra-sentra vaksinasi yang malah menciptakan kerumunan besar sehingga orang justru terpapar COVID-19 sewaktu antre vaksinasi seperti terjadi India. Selain itu, evaluasi dan kemajuan vaksinasi tak henti diinformasikan kepada publik.
Kasus di India itu juga bisa mengajarkan kepada Indonesia agar menahan dulu berbicara soal ekspor vaksin dan alat kesehatan dalam skala besar, walau masih dalam wacana, sebelum bagian terbesar penduduk sudah divaksin dan semua rumah sakit cukup alat serta cukup obat.
Terakhir, malapetaka COVID-19 di India juga mengajarkan agar awas kepada varian baru, apalagi varian baru acap menciptakan varian baru lainnya yang kadang lebih ganas seperti terjadi di India.
Baca juga: Jerman akan kirim oksigen dan bantuan medis ke India
Mempedulikan rekomendasi ilmiah dan tak kendor membendung infeksi, termasuk terus menerapkan pembatasan sosial dan menjaga ketat semua pintu masuk nasional, adalah di antara sekian cara yang mesti dilakukan Indonesia.
Varian India yang diyakini bermuasal dari varian Inggris itu memberi pelajaran bahwa longgarnya pengawasan di pintu masuk negara bisa menjadi awal untuk gelombang kedua yang sudah lama diprediksi lebih ganas daripada gelombang pertama.