Makassar (Antara NTT) - Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) Ananta Wiyogo mengatakan program sejuta rumah yang diluncurkan Presiden Jokowi 2015 dapat meningkatkan perekonomian daerah.
"Harus diakui bahwa program sejuta rumah yang terimplementasi melalui penyaluran pinjaman untuk perluasan jangkauan pembiayaan rumah di seluruh Indonesia sebagai salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi daerah," katanya di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Ia mengatakan hal itu usai melakukan penandatangan penjanjian kerja sama refinancing Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dengan tiga Bank Pembangunan Daerah (BPD), yaitu BPD Bali, Bank Sumut, dan Bank Sumsel Babel di Makassar.
Dalam tiga kerjasama tersebut SMF mengalirkan pembiayaan ke sektor perumahan senilai Rp156 miliar kepada Bank Sumatera utara, Rp150 miliar kepada Bank Sumsel Babel, dan Rp32 miliar kepada BPD Bali.
Wiyogo menjelaskan MoU ini merupakan komitmen SMF dalam mendukung program sejuta rumah, melalui penyaluran pinjaman untuk perluasan jangkauan pembiayaan rumah di seluruh Indonesia.
"SMF telah menunjukkan langkah sigapnya?merespon meningkatnya demand akan kebutuhan rumah yang layak huni, serta dukungannya terhadap program sejuta rumah yang memerlukan dana yang besar," katanya.
Kerjasama ini merupakan bagian dari rangkaian acara gathering BPD yang diselenggarakan oleh SMF, bekerjasama dengan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian PUPR, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), dan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Ia menambahkan peran Bank Pembangunan Daerah sangat sentral dalam meningkatkan perekonomian Daerah yang secara simultan akan mendukung pertumbuhan Ekonomi Nasional.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memiliki rumah dan menyukseskan program sejuta rumah, diperlukan fasilitas KPR yang terjangkau dan mudah diakses.
"Tingginya kebutuhan akan perumahan merupakan pangsa pasar yang besar bagi BPD, khususnya dalam memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang membutuhkan hunian yang layak," ujarnya.
Karena itu, katanya, Bank Pembangunan Daerah dapat mengoptimalkan potensi pembiayaan dalam wilayah kerjanya masing-masing.
Dalam hal tersebut, katanya SMF akan terus memberikan dukungannya melalui program peningkatan kapasitas penyaluran KPR untuk mendorong BPD yang belum menjalankan bisnis KPR dan atau masih tergolong rendah dalam menyalurkan KPR.
"Kami optimis dengan adanya sinergi yang kuat diantara kita, program sejuta rumah Pemerintah dapat tercapai dan memberikan kontribusi luar biasa bagi perekonomian Indonesia," kata Ananta.
Pada kesempatan itu dia menjelaskan bahwa SMF merupakan BUMN yang didirikan pada tahun 2005 di bawah Kementerian Keuangan yang mengemban tugas membangun dan mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
SMF, katanya memilki kontribusi penting dalam menyediakan dana menengah panjang bagi pembiayaan perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
Dengan demikian, diharapkan melalui Program Pembiayaan SMF dapat meningkatkan volume penerbitan KPR, terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sejak berdiri, SMF telah mengalirkan dana dari pasar modal ke Penyalur KPR sampai dengan 31 Oktober 2017 kumulatif mencapai Rp32,67 triliun, terdiri dari sekuritisasi sebesar Rp8,15 triliun dan penyaluran pinjaman sebesar Rp24,51 triliun.
SMF telah melaksanakan 11 kali sekuritisasi dengan nilai Rp8,15 triliun, dan penerbitan surat utang sebanyak 29 kali dengan total Rp19,22 triliun.
Selain birokrasi perizinan, hambatan lain juga untuk masyarakat berpenghasilan rendah, misalnya uang muka hanya Rp1,5 juta tapi Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPTHB) mencapai Rp4.050.000 atau hampir tiga kali lipat dari uang muka.
Belum lagi ditambah dengan biaya untuk provisi bank dan lainnya sehingga menjadi besar dan merupakan faktor penghambat lain yang sulit diingkari dalam upaya percepatan pelakanaan program pengembangan sejuta rumah di NTT.
Persoalan-persoalan seperti ini dihadapan Komisi V DPR RI yang dipimpin Farry Djemi Francis, dan Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Lana Winayanti, di Kupang, belum lama inin telah disampaikan.
Bahwa sudah banyak aturan yang diturunkan untuk mempermudah dalam rangka pencapaian program satu juta rumah tapi kenyataannya aturan yang ada di atas itu belum sepenuhnya mendapat respon dari pemerintah daerah.
Menurutnya, untuk konsumen yang telah mengambil KPR untuk bayar setiap bulan mereka mampu tetapi kalau uang yang harus diberikan pada tahap awal ini yang sulit.
"Ini memberatkan masyarakat. Belum termasuk BPHTB, sehingga perlu adanya kebijakan dari kepala daerah dan pemangku kepentingan terkait untuk mencari jalan keluar bersama," katanya.
Karena itu, ia meminta dukungan dari Komisi V DPR RI, Dirjen dan Wali Kota Kupang serta DPRD Kota Kupang dan para bupati di NTT agar program sejuta rumah di daerah berbasiskan kepulauan ini bisa terealisasi.
Menurutnya, jika pemerintah pusat sudah memberikan berbagai keringanan maka seharusnya pemerintah daerah bisa mendukung.
"Kalau review BPHTB itu maka pemerintah akan merasa PAD kurang tapi kalau ditinjau dari sisi lain, ini lebih menguntungkan. Bayangkan untuk satu rumah ada subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp6.250.000 untuk setiap infrastruktur dan RP4 juta. Tetapi untuk pengguna atau pemakai, belum ada," katanya.
"Harus diakui bahwa program sejuta rumah yang terimplementasi melalui penyaluran pinjaman untuk perluasan jangkauan pembiayaan rumah di seluruh Indonesia sebagai salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi daerah," katanya di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Ia mengatakan hal itu usai melakukan penandatangan penjanjian kerja sama refinancing Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dengan tiga Bank Pembangunan Daerah (BPD), yaitu BPD Bali, Bank Sumut, dan Bank Sumsel Babel di Makassar.
Dalam tiga kerjasama tersebut SMF mengalirkan pembiayaan ke sektor perumahan senilai Rp156 miliar kepada Bank Sumatera utara, Rp150 miliar kepada Bank Sumsel Babel, dan Rp32 miliar kepada BPD Bali.
Wiyogo menjelaskan MoU ini merupakan komitmen SMF dalam mendukung program sejuta rumah, melalui penyaluran pinjaman untuk perluasan jangkauan pembiayaan rumah di seluruh Indonesia.
"SMF telah menunjukkan langkah sigapnya?merespon meningkatnya demand akan kebutuhan rumah yang layak huni, serta dukungannya terhadap program sejuta rumah yang memerlukan dana yang besar," katanya.
Kerjasama ini merupakan bagian dari rangkaian acara gathering BPD yang diselenggarakan oleh SMF, bekerjasama dengan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian PUPR, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), dan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Ia menambahkan peran Bank Pembangunan Daerah sangat sentral dalam meningkatkan perekonomian Daerah yang secara simultan akan mendukung pertumbuhan Ekonomi Nasional.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memiliki rumah dan menyukseskan program sejuta rumah, diperlukan fasilitas KPR yang terjangkau dan mudah diakses.
"Tingginya kebutuhan akan perumahan merupakan pangsa pasar yang besar bagi BPD, khususnya dalam memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang membutuhkan hunian yang layak," ujarnya.
Karena itu, katanya, Bank Pembangunan Daerah dapat mengoptimalkan potensi pembiayaan dalam wilayah kerjanya masing-masing.
Dalam hal tersebut, katanya SMF akan terus memberikan dukungannya melalui program peningkatan kapasitas penyaluran KPR untuk mendorong BPD yang belum menjalankan bisnis KPR dan atau masih tergolong rendah dalam menyalurkan KPR.
"Kami optimis dengan adanya sinergi yang kuat diantara kita, program sejuta rumah Pemerintah dapat tercapai dan memberikan kontribusi luar biasa bagi perekonomian Indonesia," kata Ananta.
Pada kesempatan itu dia menjelaskan bahwa SMF merupakan BUMN yang didirikan pada tahun 2005 di bawah Kementerian Keuangan yang mengemban tugas membangun dan mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
SMF, katanya memilki kontribusi penting dalam menyediakan dana menengah panjang bagi pembiayaan perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
Dengan demikian, diharapkan melalui Program Pembiayaan SMF dapat meningkatkan volume penerbitan KPR, terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sejak berdiri, SMF telah mengalirkan dana dari pasar modal ke Penyalur KPR sampai dengan 31 Oktober 2017 kumulatif mencapai Rp32,67 triliun, terdiri dari sekuritisasi sebesar Rp8,15 triliun dan penyaluran pinjaman sebesar Rp24,51 triliun.
SMF telah melaksanakan 11 kali sekuritisasi dengan nilai Rp8,15 triliun, dan penerbitan surat utang sebanyak 29 kali dengan total Rp19,22 triliun.
Terhambat birokrasi
Sementara itu, Ketua DPD REI Nusa Tenggara Timur Bobby Pitoby mengatakan pengembangan Kredit Perumahan Rakyat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah ini, masih terhambat dengan birokrasi perizinan.
"Memang sudah banyak kebijakan terkait percepatan proses perizinan dari pemerintah pusat dan daerah, namun dalam aplikasinya masih sulit bagi developer yang membangun di bawah luasan dua sampai lima hektare," katanya.
"Memang sudah banyak kebijakan terkait percepatan proses perizinan dari pemerintah pusat dan daerah, namun dalam aplikasinya masih sulit bagi developer yang membangun di bawah luasan dua sampai lima hektare," katanya.
Selain birokrasi perizinan, hambatan lain juga untuk masyarakat berpenghasilan rendah, misalnya uang muka hanya Rp1,5 juta tapi Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPTHB) mencapai Rp4.050.000 atau hampir tiga kali lipat dari uang muka.
Belum lagi ditambah dengan biaya untuk provisi bank dan lainnya sehingga menjadi besar dan merupakan faktor penghambat lain yang sulit diingkari dalam upaya percepatan pelakanaan program pengembangan sejuta rumah di NTT.
Persoalan-persoalan seperti ini dihadapan Komisi V DPR RI yang dipimpin Farry Djemi Francis, dan Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Lana Winayanti, di Kupang, belum lama inin telah disampaikan.
Bahwa sudah banyak aturan yang diturunkan untuk mempermudah dalam rangka pencapaian program satu juta rumah tapi kenyataannya aturan yang ada di atas itu belum sepenuhnya mendapat respon dari pemerintah daerah.
Menurutnya, untuk konsumen yang telah mengambil KPR untuk bayar setiap bulan mereka mampu tetapi kalau uang yang harus diberikan pada tahap awal ini yang sulit.
"Ini memberatkan masyarakat. Belum termasuk BPHTB, sehingga perlu adanya kebijakan dari kepala daerah dan pemangku kepentingan terkait untuk mencari jalan keluar bersama," katanya.
Karena itu, ia meminta dukungan dari Komisi V DPR RI, Dirjen dan Wali Kota Kupang serta DPRD Kota Kupang dan para bupati di NTT agar program sejuta rumah di daerah berbasiskan kepulauan ini bisa terealisasi.
Menurutnya, jika pemerintah pusat sudah memberikan berbagai keringanan maka seharusnya pemerintah daerah bisa mendukung.
"Kalau review BPHTB itu maka pemerintah akan merasa PAD kurang tapi kalau ditinjau dari sisi lain, ini lebih menguntungkan. Bayangkan untuk satu rumah ada subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp6.250.000 untuk setiap infrastruktur dan RP4 juta. Tetapi untuk pengguna atau pemakai, belum ada," katanya.
Regulasi sederhana
Kepala Dinas Penamaman Modal Daerah dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Nusa Tenggara Timur Semuel Rebo mengatakan pemerintah terus mendorong regulasi sederhana bagi pengadaan dan pengembangan sektor properti yang mudah, cepat, serta murah.
"Pemerintah daerah setempat telah berkomitmen menyediakan rumah rakyat tidak hanya secara fisik melainkan juga penyesuaian izin dan penerbitan regulasi yang sederhana dan tidak berbelit-belit," katanya menanggapi keluhan DPD REI NTT soal birokrasi perizinan.
Hal itu dimaksudkan untuk mendorong pengembangan sektor properti dan menggairahkan peningkatan penjualan perumahan serta makin menarik minat developer muda di daerah untuk berkembang.
Ia mengatakan sejak pencanangan Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah untuk rakyat, bisnis properti meningkat karena berbagai regulasi mulai dari perizinan dan peraturan terkait dengan perumahan lainnya terus diperbaiki.
Ia menyebut Direktorat Jenderal Pembiayaan setidaknya ada delapan regulasi yang sudah berlaku terkait perumahan, seperti Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 55 Tahun 2015.
Peraturan itu berisi tentang pengelolaan aset jaminan sosial ketenagakerjaan. Dengan peraturan itu, dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa digunakan untuk pembiayaan perumahan karena telah berlaku sejak 4 Agustus 2015 sampai 2016.
Berikut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur tentang jaminan pemerintah pusat atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan nasional kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Melalui peraturan ini, BUMN bisa mendapatkan pinjaman direct lending. Artinya, BUMN tidak harus menunggu dana pemerintah saja untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Peraturan ini berlaku sejak November 2015 dan seterusnya," katanya.
Berbagai regulasi diterbitkan pemerintah untuk mendorong sektor properti, baik bagi pengembang maupun masyarakat sebagai konsumennya.
Selain regulasi baru, pemerintah juga melakukan penyesuaian atau perubahan peraturan yang lama yaitu Peraturan Menteri Nomor 48 PRT/M/2015 yang mengatur skema selisih angsuran kredit pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan menggunakan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
"Bedanya dengan perpres sebelumnya, permen ini sebagai pedoman pelaksanaannya. Perpres hanya menetapkan untuk memperbolehkan menggunakan pendapatan BLU guna mendukung perumahan MBR. Permen PUPR (mengatur) bagaimana mekanisme penggunaan BLU tadi," katanya.
"Pemerintah daerah setempat telah berkomitmen menyediakan rumah rakyat tidak hanya secara fisik melainkan juga penyesuaian izin dan penerbitan regulasi yang sederhana dan tidak berbelit-belit," katanya menanggapi keluhan DPD REI NTT soal birokrasi perizinan.
Hal itu dimaksudkan untuk mendorong pengembangan sektor properti dan menggairahkan peningkatan penjualan perumahan serta makin menarik minat developer muda di daerah untuk berkembang.
Ia mengatakan sejak pencanangan Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah untuk rakyat, bisnis properti meningkat karena berbagai regulasi mulai dari perizinan dan peraturan terkait dengan perumahan lainnya terus diperbaiki.
Ia menyebut Direktorat Jenderal Pembiayaan setidaknya ada delapan regulasi yang sudah berlaku terkait perumahan, seperti Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 55 Tahun 2015.
Peraturan itu berisi tentang pengelolaan aset jaminan sosial ketenagakerjaan. Dengan peraturan itu, dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa digunakan untuk pembiayaan perumahan karena telah berlaku sejak 4 Agustus 2015 sampai 2016.
Berikut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur tentang jaminan pemerintah pusat atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan nasional kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Melalui peraturan ini, BUMN bisa mendapatkan pinjaman direct lending. Artinya, BUMN tidak harus menunggu dana pemerintah saja untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Peraturan ini berlaku sejak November 2015 dan seterusnya," katanya.
Berbagai regulasi diterbitkan pemerintah untuk mendorong sektor properti, baik bagi pengembang maupun masyarakat sebagai konsumennya.
Selain regulasi baru, pemerintah juga melakukan penyesuaian atau perubahan peraturan yang lama yaitu Peraturan Menteri Nomor 48 PRT/M/2015 yang mengatur skema selisih angsuran kredit pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan menggunakan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
"Bedanya dengan perpres sebelumnya, permen ini sebagai pedoman pelaksanaannya. Perpres hanya menetapkan untuk memperbolehkan menggunakan pendapatan BLU guna mendukung perumahan MBR. Permen PUPR (mengatur) bagaimana mekanisme penggunaan BLU tadi," katanya.