Yogyakarta (Antara NTT) - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan M Subuh mengatakan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 8,8 persen pada 2015.
"Target kami, prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4 persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, kenyataannya saat ini malah meningkat secara signifikan," kata Subuh di Yogyakarta, Sabtu.
Subuh mengatakan prevalensi merokok di Indonesia saat ini sudah mengkhawatirkan. Sepertiga masyarakat Indonesia saat ini adalah perokok. Bahkan perokok usia di bawah 15 tahun di Indonesia saat ini termasuk terbesar di dunia setelah China dan India.
Menurut Subuh, perilaku merokok berkontribusi besar menjadi faktor penyebab penyakit tidak menular dibanding faktor risiko yang lain. Seorang perokok memiliki risiko dua hingga empat kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner.
"Sebagai upaya untuk mengendalikan penyakit tidak menular, kebijakan kawasan tanpa rokok menjadi intervensi utama. Kami mengapresiasi pemerintah daerah yang saat ini sudah menerbitkan aturan tentang kawasan tanpa rokok," tuturnya.
Subuh mengatakan pemerintah saat ini terus berupaya untuk mengurangi jumlah perokok, salah satunya dengan membuka layanan konseling untuk berhenti merokok di banyak layanan kesehatan.
M Subuh menjadi salah satu pembicara pada pembukaan 3rd Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) di Yogyakarta. Selain Chatarina, pembicara lainnya adalah Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang.
"Target kami, prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4 persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, kenyataannya saat ini malah meningkat secara signifikan," kata Subuh di Yogyakarta, Sabtu.
Subuh mengatakan prevalensi merokok di Indonesia saat ini sudah mengkhawatirkan. Sepertiga masyarakat Indonesia saat ini adalah perokok. Bahkan perokok usia di bawah 15 tahun di Indonesia saat ini termasuk terbesar di dunia setelah China dan India.
Menurut Subuh, perilaku merokok berkontribusi besar menjadi faktor penyebab penyakit tidak menular dibanding faktor risiko yang lain. Seorang perokok memiliki risiko dua hingga empat kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner.
"Sebagai upaya untuk mengendalikan penyakit tidak menular, kebijakan kawasan tanpa rokok menjadi intervensi utama. Kami mengapresiasi pemerintah daerah yang saat ini sudah menerbitkan aturan tentang kawasan tanpa rokok," tuturnya.
Subuh mengatakan pemerintah saat ini terus berupaya untuk mengurangi jumlah perokok, salah satunya dengan membuka layanan konseling untuk berhenti merokok di banyak layanan kesehatan.
M Subuh menjadi salah satu pembicara pada pembukaan 3rd Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) di Yogyakarta. Selain Chatarina, pembicara lainnya adalah Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang.