Kupang (AntaraNews NTT) - Semangat perjuangan Kartini bagi kaum perempuan masih tampak dari berapi-apinya wajah Aleta Baun ketika ia kembali mengisahkan perlawanannya terhadap perusahaan-perusahaan tambang marmer yang mulai beraktivitas di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, sekitar tahun 1980.
Perempuan yang lahir di Lelobalan, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada 16 Maret 1966 itu menyadari betul betapa sulitnya berjuang mempertahankan tanah warisan leluhur dari ekploitasi yang merusak lingkungan dalam posisinya sebagai kaum hawa.
"Sebagai perempuan, pertama saya harus melawan anggapan kaum laki-laki bahwa perempuan itu lemah, penurut, dan mudah diperdaya," kata Mama Aleta (sapaan akrab Aleta Baun) ketika berbincang-bincang dengan Antara di Kupang.
Bagi Mama Aleta, alam adalah "ibu bumi" yang memberikan sumber kehidupan bagi setiap penghuninya sehingga wajib dijaga dan dipertahankan.
Alam menghasilkan air untuk sumber kehidupan, seperti ibu menghasilkan ASI untuk anaknya. Ia juga mengibaratkan hutan sebagai rambut dan buluh pada manusia atau ibu. Sedangkan tanah melambangkan daging dan batu-batu adalah tulang manusia atau ibu.
"Kalau orang dengan seenaknya datang menambang batu-batu marmer, sama seperti mereka datang untuk meremukkan tulang-tulang ibu bumi kami, inilah alasan kenapa kami berjuang," katanya.
Nilai-nilai filosofis yang mendalam tentang alam ini yang mendasari aktivis lingkungan peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2016 itu, tanpa gentar melawan perusahaan-perusahaan penambang marmer di kaki Gunung Mutis.
Puncaknya adalah di tahun 2006, Mama Aleta berhasil menggalang dukungan ratusan penduduk desa, dan bersama lebih dari 100 perempuan menenun di depan pintu tambang marmer. Mereka menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki Gunung Mutis selama satu tahun.
Perjuangan yang mendapat sorotan dan dukungan masyarakat dari dalam dan luar negeri itu membuat aktivitas penambangan marmer dihentikan pada tahun 2007 dan perusahaan secara resmi menarik diri dari lokasi penambangan tiga tahun setelahnya.
. Aleta Baun
Terinsipirasi Kartini
Mama Aleta mengakui cara perjuangan dan apa yang diperjuangkannya saat itu jauh berbeda dengan yang dilakukan tokoh perempuan Rajeng Ajeng Kartini di masanya.
Namun, katanya, semangat perjuangan pahlawan perempuan yang terkenal dengan jargon "Habis Gelap Terbitlah Terang" itu yang menginspirasinya memperjuangkan hak dan martabat sebagai kaum perempuan dari Suku Mollo.
Setiap massa tentu punya tantangan yang berbeda-beda bagi perempuan, namun semangat Kartini inilah yang harus terus dipegang teguh dan menjadi inspirasi untuk memperjuangkan segala hal dalam hidup, katanya.
Mama Aleta yang saat ini memulai babak baru sebagai anggota DPRD Provinsi NTT periode 2014-2019 itu mengaku tak pernah berhenti menyuarakan kepentingan kaum perempuan.
Apalagi, lanjutnya, di era keterbukaan ini semakin memudahkan kaum-kaum perempuan mengakses hak-haknya dalam berbagai aspek kehidupan.
Bagi dia, kalau dulu Kartini memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, maka saat ini setiap perempuan berhak mendapatkan pendidikan hingga jenjang tertinggi, sehingga perjuangan sekarang adalah bagaimana meraih pendidikan setinggi mungkin.
Untuk itu, ia mengajak setiap kaum perempuan di daerah setempat agar berani menunjukkan jati diri sebagai pejuang yang sejajar dengan laki-laki.
Perempuan, katanya, tidak boleh lagi takut berpolitik, namun berhak memperoleh karir di berbagai macam bidang kehidupannya.
. Aleta Baun
Memerangi perdagangan manusia
Anggota Komisi III DPRD NTT ini menyadari bahwa salah satu persoalan di depan mata yang dihadapi perempuan dan anak-anak di Provinsi NTT saat ini masalah perdagangan manusia.
Perempuan dan anak-anak, menurutnya, menjadi korban utama perdagangan orang sebagai TKI ilegal direkrut terutama di desa-desa pelosok.
Setiap kasus perdagangan orang yang berujung pada meninggalnya TKI berstatus ilegal di Malaysia umumnya selalu menimpa perempuan dan anak-anak gadis. Ini yang menjadi pekerjaan rumah untuk diperangi, katanya.
Menurutnya, karena perempuan menjadi sasaran utama perdagangan orang, maka dari setiap pribadi perempuanlah perjuangan memerangi persoalan ini dimulai.
Untuk itu Mama Aleta mengajak setiap kaum perempuan di daerah ini agar berani menolak dan melawan praktik perekrutan TKI ilegal dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dulu Kartini begitu berani melawan ketidakadilan, maka semangat yang sama harus dibawa setiap kaum perempuan dan anak-anak untuk berani memerangi dan menolak praktik perdagangan orang, katanya.
Ia juga meminta setiap perempuan berani melaporkan kepada aparat keamanan setempat ketika mendapati praktik perekrutan TKI ilegal dari oknum-oknum yang beroperasi di lapangan.
Mama Aleta juga berharap agar berbagai program pembangunan sumber daya manusia dari pemerintah terus ditingkatkan terutama menyasar daerah pedesaan yang rawan terhadap praktik perdagangan orang.
Hingga pada akhirnya terbentuk kesadaran dan pemahaman kaum perempuan maupun masyarakat umum untuk bersama-sama memerangi dan menuntaskan praktik perdagangan orang di daerah ini, ujar Mama Aleta.
Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang Tato Tirang menyebutkan selama tiga bulan pertama di tahun 2018, jumlah TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia tercatat sebanyak 19 orang.
"Mereka yang meninggal ini semua berstatus ilegal dan sebagai besar adalah perempuan ibu rumah tangga maupun yang belum menikah," katanya.
. Aleta Baun
Perempuan yang lahir di Lelobalan, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada 16 Maret 1966 itu menyadari betul betapa sulitnya berjuang mempertahankan tanah warisan leluhur dari ekploitasi yang merusak lingkungan dalam posisinya sebagai kaum hawa.
"Sebagai perempuan, pertama saya harus melawan anggapan kaum laki-laki bahwa perempuan itu lemah, penurut, dan mudah diperdaya," kata Mama Aleta (sapaan akrab Aleta Baun) ketika berbincang-bincang dengan Antara di Kupang.
Bagi Mama Aleta, alam adalah "ibu bumi" yang memberikan sumber kehidupan bagi setiap penghuninya sehingga wajib dijaga dan dipertahankan.
Alam menghasilkan air untuk sumber kehidupan, seperti ibu menghasilkan ASI untuk anaknya. Ia juga mengibaratkan hutan sebagai rambut dan buluh pada manusia atau ibu. Sedangkan tanah melambangkan daging dan batu-batu adalah tulang manusia atau ibu.
"Kalau orang dengan seenaknya datang menambang batu-batu marmer, sama seperti mereka datang untuk meremukkan tulang-tulang ibu bumi kami, inilah alasan kenapa kami berjuang," katanya.
Nilai-nilai filosofis yang mendalam tentang alam ini yang mendasari aktivis lingkungan peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2016 itu, tanpa gentar melawan perusahaan-perusahaan penambang marmer di kaki Gunung Mutis.
Puncaknya adalah di tahun 2006, Mama Aleta berhasil menggalang dukungan ratusan penduduk desa, dan bersama lebih dari 100 perempuan menenun di depan pintu tambang marmer. Mereka menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki Gunung Mutis selama satu tahun.
Perjuangan yang mendapat sorotan dan dukungan masyarakat dari dalam dan luar negeri itu membuat aktivitas penambangan marmer dihentikan pada tahun 2007 dan perusahaan secara resmi menarik diri dari lokasi penambangan tiga tahun setelahnya.
Mama Aleta mengakui cara perjuangan dan apa yang diperjuangkannya saat itu jauh berbeda dengan yang dilakukan tokoh perempuan Rajeng Ajeng Kartini di masanya.
Namun, katanya, semangat perjuangan pahlawan perempuan yang terkenal dengan jargon "Habis Gelap Terbitlah Terang" itu yang menginspirasinya memperjuangkan hak dan martabat sebagai kaum perempuan dari Suku Mollo.
Setiap massa tentu punya tantangan yang berbeda-beda bagi perempuan, namun semangat Kartini inilah yang harus terus dipegang teguh dan menjadi inspirasi untuk memperjuangkan segala hal dalam hidup, katanya.
Mama Aleta yang saat ini memulai babak baru sebagai anggota DPRD Provinsi NTT periode 2014-2019 itu mengaku tak pernah berhenti menyuarakan kepentingan kaum perempuan.
Apalagi, lanjutnya, di era keterbukaan ini semakin memudahkan kaum-kaum perempuan mengakses hak-haknya dalam berbagai aspek kehidupan.
Bagi dia, kalau dulu Kartini memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, maka saat ini setiap perempuan berhak mendapatkan pendidikan hingga jenjang tertinggi, sehingga perjuangan sekarang adalah bagaimana meraih pendidikan setinggi mungkin.
Untuk itu, ia mengajak setiap kaum perempuan di daerah setempat agar berani menunjukkan jati diri sebagai pejuang yang sejajar dengan laki-laki.
Perempuan, katanya, tidak boleh lagi takut berpolitik, namun berhak memperoleh karir di berbagai macam bidang kehidupannya.
Anggota Komisi III DPRD NTT ini menyadari bahwa salah satu persoalan di depan mata yang dihadapi perempuan dan anak-anak di Provinsi NTT saat ini masalah perdagangan manusia.
Perempuan dan anak-anak, menurutnya, menjadi korban utama perdagangan orang sebagai TKI ilegal direkrut terutama di desa-desa pelosok.
Setiap kasus perdagangan orang yang berujung pada meninggalnya TKI berstatus ilegal di Malaysia umumnya selalu menimpa perempuan dan anak-anak gadis. Ini yang menjadi pekerjaan rumah untuk diperangi, katanya.
Menurutnya, karena perempuan menjadi sasaran utama perdagangan orang, maka dari setiap pribadi perempuanlah perjuangan memerangi persoalan ini dimulai.
Untuk itu Mama Aleta mengajak setiap kaum perempuan di daerah ini agar berani menolak dan melawan praktik perekrutan TKI ilegal dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dulu Kartini begitu berani melawan ketidakadilan, maka semangat yang sama harus dibawa setiap kaum perempuan dan anak-anak untuk berani memerangi dan menolak praktik perdagangan orang, katanya.
Ia juga meminta setiap perempuan berani melaporkan kepada aparat keamanan setempat ketika mendapati praktik perekrutan TKI ilegal dari oknum-oknum yang beroperasi di lapangan.
Mama Aleta juga berharap agar berbagai program pembangunan sumber daya manusia dari pemerintah terus ditingkatkan terutama menyasar daerah pedesaan yang rawan terhadap praktik perdagangan orang.
Hingga pada akhirnya terbentuk kesadaran dan pemahaman kaum perempuan maupun masyarakat umum untuk bersama-sama memerangi dan menuntaskan praktik perdagangan orang di daerah ini, ujar Mama Aleta.
Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang Tato Tirang menyebutkan selama tiga bulan pertama di tahun 2018, jumlah TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia tercatat sebanyak 19 orang.
"Mereka yang meninggal ini semua berstatus ilegal dan sebagai besar adalah perempuan ibu rumah tangga maupun yang belum menikah," katanya.