Kupang (AntaraNews NTT) - Presiden Joko Widodo diminta segera mengambilalih urusan kasus pencemaran Laut Timor karena dicurigai ada motif politik yang menghambat proses penyelesaiannya, sehingga tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Agustus 2009, terkesan jalan di tempat.
"Kami patut mencurigai mantan Deputy I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno sebagai pejabat negara yang berkontribusi dalam upaya menghambat proses penyelesaian kasus pencemaran Laut Timor," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Sabtu (28/4).
Menurut Tanoni, pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009 itu, sebenarnya sudah selesai secara menyeluruh dan komprehensip pada 2017.
Namun, kata dia, Arif Havas Oegroseno yang kini menjadi Dubes RI untuk Jerman itu, malah menggiringnya ke ranah hukum dengan menggugat pihak perusahaan pencemar PTT Exploration and Production (PTTEP) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tetapi, gugatan tersebut akhirnya dicabut kembali oleh Pemerintah RI karena salah mencantumkan nama para penggugat, yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar banyak pihak, apakah pencantuman nama itu dilakukan dengan sengaja atau tidak.
Havas Oegroseno juga menolak berkolaborasi dan terkesan memarjinalkan rakyat dan Pemerintah NTT dengan mengadakan pertemuan 23 Maret 2018 secara diam-diam dengan CEO PTTEP (Public Company) Pty.Ltd di Jakarta untuk membahas pemberian CSR dari perusahaan pencemar tersebut.
Havas Oegroseno, kata Tanoni, kemudian mengirim stafnya Basilio Dias Araujo ke Kupang dan Rote bersama dua orang petinggi dari PTTEP Indonesia pada 20 April 2018 untuk meyakinkan pejabat pemerintah di daerah tentang pentingnya rakyat menerima CSR dari PTTEP.
Baca juga: Korban Montara sepakat dengan pandangan Luhut Pandjaitan
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan
Namun, rakyat korban pencemaran Laut Timor di kedua daerah tersebut, membatalkan pertemuan tersebut pada 21 April 2018 dengan sebuah tim yang mengenakan seragam dari Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Ia mengatakan pertemuan tanpa mengikutsertakan semua stakeholders termasuk rakyat korban pencemaran patut dicurigai sebagai sebuah bentuk konspirasi tingkat tinggi untuk mengorbankan rakyat pesisir Nusa Tenggara Timur yang sudah sembilan tahun menderita akibat pencemaran minyak yang maha dahsyat itu.
"Atas dasar itu, kami mohon kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil alih kasus pencemaran Laut Timor tersebut guna mengakhiri penderitaan rakyat yang sudah sembilan tahun lamanya hidup dalam ketidakpastian," kata Tanoni
Dalam pandangannya, Tanoni melihat hal yang paling berbahaya dan nyata dari tindakan Havas Oegroseno adalah mengeleminir "Montara Task Force" bentukan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian membenturkannya dengan pemerintah dan para pihak yang bertanggungjawab dalam kasus pencemaran tersebut.
Padahal, kata Tanoni, Montara Task Force hanya diberi tugas untuk memonitor, mencermati dan berdialog dengan semua pihak terkait dengan kasus tumpahan minyak Montara itu.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009
Montara Task Force ini dibentuk secara resmi dalam sebuah kesepakatan rapat koordinasi terbuka pada tanggal 15 Agustus 2017 yang dipimpin langsung oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, namun dengan kuasanya, Havas Oegroseno mengeliminir Montara Task Force tersebut.
Montara Task Force telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan cepat sejak September 2017 dengan menghasilkan antara lain kesediaan Pemerintah Australia mengadakan pertemuan secara berkala guna mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
"Pemerintah Australia berpandangan dan mengakui eksistensi Montara Task Force yang merepresentasikan seluruh stakeholders yang ada, sebagai perwakilan resmi suara Indonesia dalam kasus Montara," kata Tanoni.
"Kami patut mencurigai mantan Deputy I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno sebagai pejabat negara yang berkontribusi dalam upaya menghambat proses penyelesaian kasus pencemaran Laut Timor," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Sabtu (28/4).
Menurut Tanoni, pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009 itu, sebenarnya sudah selesai secara menyeluruh dan komprehensip pada 2017.
Namun, kata dia, Arif Havas Oegroseno yang kini menjadi Dubes RI untuk Jerman itu, malah menggiringnya ke ranah hukum dengan menggugat pihak perusahaan pencemar PTT Exploration and Production (PTTEP) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tetapi, gugatan tersebut akhirnya dicabut kembali oleh Pemerintah RI karena salah mencantumkan nama para penggugat, yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar banyak pihak, apakah pencantuman nama itu dilakukan dengan sengaja atau tidak.
Havas Oegroseno juga menolak berkolaborasi dan terkesan memarjinalkan rakyat dan Pemerintah NTT dengan mengadakan pertemuan 23 Maret 2018 secara diam-diam dengan CEO PTTEP (Public Company) Pty.Ltd di Jakarta untuk membahas pemberian CSR dari perusahaan pencemar tersebut.
Havas Oegroseno, kata Tanoni, kemudian mengirim stafnya Basilio Dias Araujo ke Kupang dan Rote bersama dua orang petinggi dari PTTEP Indonesia pada 20 April 2018 untuk meyakinkan pejabat pemerintah di daerah tentang pentingnya rakyat menerima CSR dari PTTEP.
Baca juga: Korban Montara sepakat dengan pandangan Luhut Pandjaitan
Namun, rakyat korban pencemaran Laut Timor di kedua daerah tersebut, membatalkan pertemuan tersebut pada 21 April 2018 dengan sebuah tim yang mengenakan seragam dari Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Ia mengatakan pertemuan tanpa mengikutsertakan semua stakeholders termasuk rakyat korban pencemaran patut dicurigai sebagai sebuah bentuk konspirasi tingkat tinggi untuk mengorbankan rakyat pesisir Nusa Tenggara Timur yang sudah sembilan tahun menderita akibat pencemaran minyak yang maha dahsyat itu.
"Atas dasar itu, kami mohon kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil alih kasus pencemaran Laut Timor tersebut guna mengakhiri penderitaan rakyat yang sudah sembilan tahun lamanya hidup dalam ketidakpastian," kata Tanoni
Dalam pandangannya, Tanoni melihat hal yang paling berbahaya dan nyata dari tindakan Havas Oegroseno adalah mengeleminir "Montara Task Force" bentukan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian membenturkannya dengan pemerintah dan para pihak yang bertanggungjawab dalam kasus pencemaran tersebut.
Padahal, kata Tanoni, Montara Task Force hanya diberi tugas untuk memonitor, mencermati dan berdialog dengan semua pihak terkait dengan kasus tumpahan minyak Montara itu.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Montara Task Force telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan cepat sejak September 2017 dengan menghasilkan antara lain kesediaan Pemerintah Australia mengadakan pertemuan secara berkala guna mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
"Pemerintah Australia berpandangan dan mengakui eksistensi Montara Task Force yang merepresentasikan seluruh stakeholders yang ada, sebagai perwakilan resmi suara Indonesia dalam kasus Montara," kata Tanoni.