Purwokerto (ANTARA) - Pembangunan rumah sakit baru dalam beberapa waktu terakhir makin marak di berbagai daerah termasuk di wilayah eks Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan fasilitas kesehatan.
Di sisi lain, sejumlah rumah sakit yang telah lama berdiri pun berupaya mengembangkan layanan agar tidak "tersisihkan" oleh rumah sakit yang baru berdiri.
Akan tetapi dalam upaya mengembangkan layanan tersebut, sering kali lupa terhadap prosedur perizinan operasional rumah sakit sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya malaadministrasi.
Koordinator Program Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Budiyono mengatakan sesuai dengan ketentuan, setiap rumah sakit wajib memiliki izin setelah memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan.
Khusus persyaratan berupa "lokasi dan bangunan" rumah sakit, kata dia, diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit yang kemudian terakhir diubah dengan Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Dalam hal ini, Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 menyebutkan "Lahan dan bangunan rumah sakit harus dalam satu kesatuan lokasi yang saling berhubungan dengan ukuran, luas dan bentuk lahan serta bangunan/ruang mengikuti ketentuan tata ruang daerah setempat yang berlaku".
Sementara dalam Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan "Rencana blok bangunan Rumah Sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung".
Budiyono mengatakan berdasarkan ketentuan dalam Permenkes tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit tersebut, jelas diatur bahwa lokasi dan blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Baca juga: Artikel - Kebocoran hingga pencurian data masih jadi tantangan besar di 2022
"Artinya, lokasi dan blok bangunan rumah sakit harus dalam satu area dan bangunannya harus terintegrasi secara fisik dan saling terhubung," katanya didampingi Dosen Fakultas Hukum Unsoed Weda Kupita.
Dengan demikian apabila ada blok bangunan rumah sakit yang tidak dalam satu lokasi dan area, kata dia, bangunan tersebut tidak memenuhi ketentuan Permenkes tersebut.
"Akibatnya secara yuridis tentunya bangunan rumah sakit tersebut tidak mungkin akan mendapatkan izin operasional," katanya.
Ia mengakui dalam webinar dengan tema Problematika Izin Operasional Rumah Sakit dan Implikasi dari Perspektif Hukum Kesehatan yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Hukum Unsoed beberapa waktu lalu, terungkap bahwa ada salah satu rumah sakit di wilayah Kabupaten Banyumas yang terindikasi izin operasionalnya melanggar ketentuan tentang persyaratan "lokasi dan bangunan" rumah sakit.
Paviliun Abiyasa Pusat Geriatri RSUD Prof Dr Margono Soekarjo di Jalan Dr Angka Nomor 12 Purwokerto, Kabupaten Banyumas. ANTARA/Sumarwoto
Menurut dia, hal itu seperti tertera dalam Keputusan Perpanjangan Izin Operasional dan Klasifikasi Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 445/1876/2016, antara lain dalam diktum menyebutkan "Menetapkan Kesatu: Memberikan Perpanjangan Izin Operasional dan Penetapan Rumah Sakit Umum Kelas B kepada: a. Nama: Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto, b. Alamat: Jalan Dr Gumbreg Nomor 1, dan Paviliu Abiyasa Pusat Geriatri, Jalan Dr Angka Nomor 12 Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah".
Jika melihat penetapan izin operasional rumah sakit tersebut, jelas tertera bahwa lokasi dan blok bangunan RSMS Purwokerto lokasinya berbeda serta tidak berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Hal itu disebabkan bangunan yang satu berada di Jalan Dr Gumbreg Nomor 1, Kelurahan Berkoh, Kecamatan Purwokerto Selatan, yang berbatasan dengan Desa Pamijen, Kecamatan Sokaraja, Banyumas. Sementara bangunan kedua berada di Paviliun Abiyasa Pusat Geriatri, Jalan Dr Angka Nomor 12, Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur, yang lokasinya cukup jauh dengan bangunan pertama.
"Kondisi tersebut secara yuridis jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit serta Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit," katanya.
Ia menduga pelanggaran ketentuan tentang perizinan rumah sakit tersebut sudah disadari oleh pejabat pemberi izin, sehingga untuk menyimpangi ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 dan Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020, pejabat yang berwenang memberi izin operasional rumah sakit dalam hal ini Gubernur Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 445/8/2014 tanggal 29 Januari 2014 tentang Pengintegrasian Paviliun Abiyasa dan Pusat Geriatri ke Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto Provinsi Jawa Tengah.
"Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 445/8/2014 tersebut dapat diduga kuat sebagai upaya untuk menyimpangi ketentuan perizinan rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit," katanya menegaskan.
Baca juga: Artikel - Menyelaraskan pengendalian COVID-19 dengan kinerja perekonomian
Terkait dengan permasalahan tersebut, Budiyono menilai telah terjadi perbuatan melawan hukum administrasi (malaadministrasi) dalam pemberian Perpanjangan Izin Operasional dan Klasifikasi Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Nomor 445/1876/2016 (berlaku 15 Maret 2016 hingga 15 Maret 2021, red.) yang diduga dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah selaku pejabat pemberi izin.
Ia menyarankan dalam pemberian perpanjangan izin berikutnya, yaitu Perpanjangan Izin Operasional dan Klasifikasi Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo yang saat ini telah habis masa berlakunya sejak tanggal 15 Maret 2021, pejabat yang berwenang memberi izin rumah sakit harus taat dan patuh terhadap ketentuan yang diatur dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2020.
Berdasarkan data, apa yang terjadi di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto nyaris dialami oleh RSUD Banyumas yang saat itu hendak menjadikan Balai Kesehatan Masyarakat Ibu dan Anak (BKMIA) Kartini, Purwokerto, menjadi bagian dari rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Banyumas tersebut.
Oleh karena adanya Permenkes Nomor 56 Tahun 2014, rencana tersebut akhirnya dibatalkan mengingat lokasi dua lokasi fasilitas kesehatan itu saling berjauhan, yakni RSUD Banyumas di Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, sedangkan BKMIA Kartini di Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur.
Dengan demikian, BKMI Kartini sampai sekarang tetap berdiri sendiri di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, bukan menjadi bagian dari RSUD Banyumas.
Di sisi lain, sejumlah rumah sakit yang telah lama berdiri pun berupaya mengembangkan layanan agar tidak "tersisihkan" oleh rumah sakit yang baru berdiri.
Akan tetapi dalam upaya mengembangkan layanan tersebut, sering kali lupa terhadap prosedur perizinan operasional rumah sakit sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya malaadministrasi.
Koordinator Program Magister Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Budiyono mengatakan sesuai dengan ketentuan, setiap rumah sakit wajib memiliki izin setelah memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan.
Khusus persyaratan berupa "lokasi dan bangunan" rumah sakit, kata dia, diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit yang kemudian terakhir diubah dengan Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Dalam hal ini, Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 menyebutkan "Lahan dan bangunan rumah sakit harus dalam satu kesatuan lokasi yang saling berhubungan dengan ukuran, luas dan bentuk lahan serta bangunan/ruang mengikuti ketentuan tata ruang daerah setempat yang berlaku".
Sementara dalam Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan "Rencana blok bangunan Rumah Sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung".
Budiyono mengatakan berdasarkan ketentuan dalam Permenkes tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit tersebut, jelas diatur bahwa lokasi dan blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Baca juga: Artikel - Kebocoran hingga pencurian data masih jadi tantangan besar di 2022
"Artinya, lokasi dan blok bangunan rumah sakit harus dalam satu area dan bangunannya harus terintegrasi secara fisik dan saling terhubung," katanya didampingi Dosen Fakultas Hukum Unsoed Weda Kupita.
Dengan demikian apabila ada blok bangunan rumah sakit yang tidak dalam satu lokasi dan area, kata dia, bangunan tersebut tidak memenuhi ketentuan Permenkes tersebut.
"Akibatnya secara yuridis tentunya bangunan rumah sakit tersebut tidak mungkin akan mendapatkan izin operasional," katanya.
Ia mengakui dalam webinar dengan tema Problematika Izin Operasional Rumah Sakit dan Implikasi dari Perspektif Hukum Kesehatan yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Hukum Unsoed beberapa waktu lalu, terungkap bahwa ada salah satu rumah sakit di wilayah Kabupaten Banyumas yang terindikasi izin operasionalnya melanggar ketentuan tentang persyaratan "lokasi dan bangunan" rumah sakit.
Jika melihat penetapan izin operasional rumah sakit tersebut, jelas tertera bahwa lokasi dan blok bangunan RSMS Purwokerto lokasinya berbeda serta tidak berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Hal itu disebabkan bangunan yang satu berada di Jalan Dr Gumbreg Nomor 1, Kelurahan Berkoh, Kecamatan Purwokerto Selatan, yang berbatasan dengan Desa Pamijen, Kecamatan Sokaraja, Banyumas. Sementara bangunan kedua berada di Paviliun Abiyasa Pusat Geriatri, Jalan Dr Angka Nomor 12, Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur, yang lokasinya cukup jauh dengan bangunan pertama.
"Kondisi tersebut secara yuridis jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit serta Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit," katanya.
Ia menduga pelanggaran ketentuan tentang perizinan rumah sakit tersebut sudah disadari oleh pejabat pemberi izin, sehingga untuk menyimpangi ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 dan Pasal 23 ayat (2) Permenkes Nomor 3 Tahun 2020, pejabat yang berwenang memberi izin operasional rumah sakit dalam hal ini Gubernur Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 445/8/2014 tanggal 29 Januari 2014 tentang Pengintegrasian Paviliun Abiyasa dan Pusat Geriatri ke Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto Provinsi Jawa Tengah.
"Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 445/8/2014 tersebut dapat diduga kuat sebagai upaya untuk menyimpangi ketentuan perizinan rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b angka 1 Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit," katanya menegaskan.
Baca juga: Artikel - Menyelaraskan pengendalian COVID-19 dengan kinerja perekonomian
Terkait dengan permasalahan tersebut, Budiyono menilai telah terjadi perbuatan melawan hukum administrasi (malaadministrasi) dalam pemberian Perpanjangan Izin Operasional dan Klasifikasi Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Nomor 445/1876/2016 (berlaku 15 Maret 2016 hingga 15 Maret 2021, red.) yang diduga dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah selaku pejabat pemberi izin.
Ia menyarankan dalam pemberian perpanjangan izin berikutnya, yaitu Perpanjangan Izin Operasional dan Klasifikasi Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo yang saat ini telah habis masa berlakunya sejak tanggal 15 Maret 2021, pejabat yang berwenang memberi izin rumah sakit harus taat dan patuh terhadap ketentuan yang diatur dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2020.
Berdasarkan data, apa yang terjadi di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto nyaris dialami oleh RSUD Banyumas yang saat itu hendak menjadikan Balai Kesehatan Masyarakat Ibu dan Anak (BKMIA) Kartini, Purwokerto, menjadi bagian dari rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Banyumas tersebut.
Oleh karena adanya Permenkes Nomor 56 Tahun 2014, rencana tersebut akhirnya dibatalkan mengingat lokasi dua lokasi fasilitas kesehatan itu saling berjauhan, yakni RSUD Banyumas di Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, sedangkan BKMIA Kartini di Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur.
Dengan demikian, BKMI Kartini sampai sekarang tetap berdiri sendiri di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, bukan menjadi bagian dari RSUD Banyumas.