Jakarta (ANTARA) - Dewan Pengarah Siberkreasi atau ICT Watch Donny BU mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai kejahatan penipuan di media sosial dengan menggunakan identitas palsu ("catfishing") yang bermunculan akhir-akhir ini.

"Catfishing" adalah istilah yang digunakan pada aksi penipuan yang menggunakan identitas online palsu untuk mengelabui korban.

"Penipu biasanya menggunakan foto dan informasi orang lain untuk menciptakan personal online yang dapat dipercaya dan kemudian memikat korban.  Selanjutnya korban dijebak dalam berbagai aksi penipuan dan berujung pada tindakan kriminal," kata Donny dalam keterangan tertulis, Selasa, (8/3).

Fenomena "catfishing" ini ternyata menjadi faktor risiko utama bagi para pengguna aplikasi pertemanan. Sebuah studi menyatakan, 65 persen dari total 18.000 responden di 27 negara, termasuk Indonesia, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap aplikasi pertemanan.

Hal yang menyedihkan, 15 persen dari total responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami penipuan.

Dari berbagai modus penipuan, "catfishing" menjadi modus operandi nomor satu dengan 51 persen dari mereka yang menjadi sasaran pernah terjebak di dalamnya.

Kebebasan internet memungkinkan siapa saja dapat membuat identitasnya sendiri, sehingga siapa pun dapat menjadi karakter apa pun yang diinginkan secara daring.

"Internet memungkinkan orang untuk melakukan "identity play", dalam arti seseorang bisa membuat identitasnya sendiri, sehingga ia bisa menjadi apa saja karakter yang diinginkan di dunia maya. Sayangnya, teknologi ini juga digunakan untuk melakukan sejumlah penipuan," kata Donny.

Aktivis Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Bentang Febrylian, menuturkan, ada ciri-ciri utama yang dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi "catfishing" yaitu pelaku umumnya menolak melakukan panggilan video, menghindari pertemuan tatap muka, dan membatasi komunikasi hanya melalui chat dan panggilan suara.

"Jika menemukan hal-hal demikian besar kemungkinan merupakan pelaku 'catfishing'. Pelaku berperilaku seperti itu untuk melindungi identitasnya agar tidak terbongkar. Jadi, korban tidak akan tahu wajah pelaku yang sebenarnya," ujar Bentang.

Lebih lanjut, psikolog Dian Wisnuwardhani, memandang. fenomena "catfishing" terjadi ketika orang tidak nyaman dengan dirinya sendiri, sehingga pelaku tidak dapat menunjukkan pribadi aslinya tanpa penyamaran.

Baca juga: AS buat RUU bipartisan atasi ketergantungan media sosial

"Dari sudut pandang psikologi, ini disebut 'identity confusion'. Jadi mereka bingung dengan diri mereka sendiri. Ketika kita menggunakan 'facebook' atau 'instagram', lalu sering mengambil foto dengan menggunakan filter dibandingkan tampil alami, ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan kepribadian orang tersebut," ujar Dian.

Bahkan, maraknya kejahatan daring melalui "catfishing" menjadi perhatian Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) untuk melakukan edukasi kepada masyarakat melalui Gerakan Nasional Literasi Digitalisasi (GNLD).

Baca juga: Artikel - Media sosial terlalu kuat untuk propaganda Rusia

Kemenkominfo RI bekerja sama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi sebagai mitra untuk memberikan edukasi dalam literasi digital kepada masyarakat termasuk kejahatan menggunakan media sosial.

Pewarta : Ganet Dirgantara
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024