Sigi, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Potensi banjir bandang yang disertai material kayu, lumpur dan batu, menjadi ancaman serius bagi masyarakat Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.

Bupati Sigi Mohamad Irwan meyakini betul daerah yang dipimpinnya sangat rentan bencana alam, khususnya banjir bandang dan longsor. Kerentanan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), penebangan pohon secara ilegal serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.

Selain itu, gempa bumi dan likuefaksi Tahun 2018, juga menjadi satu sebab yang berkontribusi besar menambah kerentanan daerah itu terhadap terjadinya banjir bandang dan longsor.

Gempa bermagnitudo 7,4 pada September 2018 itu membuat sebagian wilayah pegunungan di Sigi longsor dan membentuk kubangan besar, seperti di wilayah hulu Desa Bangga, Poi dan Rogo di Kecamatan Dolo Selatan.

Pegunungan di desa-desa tersebut waktu gempa menyebabkan longsor dan kemudian terbentuk kubangan. Kubangan ini yang kemudian menampung air ketika hujan deras mengguyur.

"Semakin lama, kubangan itu tidak mampu menampung air dan kemudian jebol. Inilah yang kemudian menimpa permukiman warga, termasuk sebagian di wilayah
Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Gumbasa," ucap Mohamad Irwan.

Sebagian besar Kabupaten Sigi merupakan daerah yang dikelilingi gunung, sementara permukiman penduduk berada di lembah atau dataran rendah (di bawah kaki gunung). Hal ini menambah kerentanan terhadap bencana banjir bandang dan longsor.

Pemkab Sigi, kata Mohamad Irwan, telah melakukan langkah-langkah penanggulangan jangka panjang untuk pengurangan risiko bencana, yang diawali dengan memperbaiki sungai-sungai rentan banjir karena kerusakan DAS.

Untuk memperbaiki sungai, menurut bupati, dibutuhkan dukungan dari Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III karena Pemkab Sigi memiliki keterbatasan anggaran.

Terkait upaya itu, Pemkab Sigi telah mengajukan permintaan kepada Kementerian PUPR melalui BWSS III untuk menata alur sungai. Dari permohonan itu, BWSS memulai perbaikan alur sungai di Kecamatan Kulawi dan Kulawi Selatan.

Sungai Mewe di Kulawi Selatan, kata Irwan, kini sudah masuk dalam perencanaan BWSS untuk ditata.

Kemudian juga ada pembangunan sabo dam di beberapa desa, meliputi Bangga, Salua dan Desa Poi, yang saat ini masih dalam tahap pengerjaan.

Bupati mengemukakan pihaknya juga sudah menggelar rapat dengan Wakil Menteri PUPR membahas pembangunan sabo dam di beberapa desa lainnya, yaitu sabo dam di Desa Beka dan Desa Rogo. Tahun ini, rencana pembangunan dua sabo dam itu sudah masuk dalam perencanaan BWSS III.

Berikutnya adalah sungai di Salua sampai Sadaunta, juga sudah masuk dalam perencanaan untuk dikerjakan pada Tahun 2022.

Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura juga meminta kepada Kementerian Pekerjaan Umum agar membangun sabo dam di beberapa sungai di Sigi, termasuk sungai di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan.

Karena itu, Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III Taufik mengatakan bahwa peningkatan DAS untuk pengurangan bencana banjir bandang di wilayah Sulteng, menjadi satu prioritas.


Sigi Hijau

Selain pembenahan pada beberapa sungai dan dam, Pemerintah Kabupaten Sigi juga mengoptimalkan pencegahan lewat program Sigi Hijau.

Sigi Hijau merupakan program inovasi yang digagas oleh Bupati Mohamad Irwan bersama wakilnya Samuel Yansen Pongi. Lewat program ini Pemkab Sigi menggencarkan penanaman sejuta bambu dan 10.000 pohon setiap desa.

Pohon yang ditanam adalah endemik Sulawesi Tengah serta pohon produktif yang bernilai ekonomis dan pohon pelindung yang berfungsi untuk melestarikan dan memberikan daya dukung terhadap lingkungan. Karena itu penanaman pohon dilakukan di wilayah pegunungan yang gersang dan rawan longsor.

Untuk mengoptimalkan program penanaman pohon tersebut, pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendirian. Karenanya dibutuhkan kerja sama dan dukungan dari pemerintah bersama masyarakat di setiap desa di Sigi.

Bupati mendorong pemerintah desa untuk memprioritaskan pengurangan risiko bencana di tingkat desa, juga dengan menggiatkan penanaman pohon.

Sementara untuk program penanaman sejuta bambu, sasarannya adalah daerah aliran sungai yang mengalami penurunan kualitas.

Sigi memang merupakan daerah yang banyak sungai. Ketika hujan dengan intensitas deras mengguyur daerah itu sangat berisiko terjadi bencana. Salah satu alternatif dan upaya yang dilakukan adalah menanam bambu di sepanjang sungai.

Selain berfungsi untuk pengurangan risiko bencana, bambu yang ditanam itu juga bernilai ekonomis, sehingga masyarakat desa dapat memelihara dan mengembangkannya untuk menambah penghasilan.

Pemkab Sigi menggandeng Yayasan Bambu Lestari dalam mengoptimalkan program sejuta bambu. Kerja sama dengan lembaga itu diyakini akan memberikan dampak pada peningkatan sumber daya manusia di desa dalam budi daya dan pengembangan bambu.

Baca juga: Artikel - Menyiapkan hutan Bowosie jadi destinasi wisata alam NTT

Direktur Yayasan Bambu Lestari Monica Tanuhandaru mengemukakan upaya Pemkab Sigi dalam pengurangan risiko bencana banjir bandang dan longsor dengan menggunakan fungsi bambu sebagai pencegah bencana, sangat sesuai dengan fungsi bambu itu sendiri.

Bambu dinilai memiliki manfaat secara kultural, ekologi dan ekonomi. Karena itu Monica sangat mengapresiasi langkah pemerintah kabupaten dan siap bekerja sama untuk membangun Sigi.

Menurut dia, pemanfaatan bambu dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, hal itu perlu diawali dengan melakukan pemetaan potensi bambu dan jenis bambu yang cocok untuk dibudidayakan.

Selain itu, perlu adanya pemetaan dan klasifikasi tanaman agroferestri yang dapat mendampingi tanaman bambu.


Forum PRB

Pemerintah Kabupaten Sigi menyadari bahwa penanggulangan dan pengurangan risiko bencana harus dilakukan dengan mengadopsi konsep pentahelix yang di dalamnya melibatkan pemerintah, masyarakat, LSM dan multipihak lainnya. Hal ini kemudian mendorong pemkab membentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Sigi.

Ketua Forum PRB Kabupaten Sigi Saiful Taslim mengemukakan Forum PRB memiliki dua target, yaitu tersedianya regulasi berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, meliputi peraturan bupati tentang penanggulangan bencana kabupaten, yang saat ini naskah akademiknya sudah ada.

Kedua, peraturan bupati tentang rencana penanggulangan kedaruratan bencana (RPKB) yang saat ini sudah ada dan dokumen RPKB-nya juga sudah ada.

Berkaitan dengan penguatan kelembagaan Forum PRB dan peningkatan kapasitas, Saiful mengutarakan terdapat dua kecamatan di Kabupaten Sigi yang menjadi prioritas, yakni Kulawi dan Dolo Selatan.

Baca juga: Artikel - Menelusuri keindahan warisan geologi Meratus

Jadi seluruh forum PRB tingkat desa dan kecamatan di dua kecamatan tersebut ditingkatkan kapasitasnya dalam hal pengurangan risiko bencana dan mitigasi bencana. Rencana itu akan menjadi salah satu muatan dalam penguatan kelembagaan.

Selain itu, perlu diikutkan dengan penyusunan dokumen kajian risiko bencana di masing-masing desa di dua kecamatan tersebut.

Penguatan kelembagaan forum pengurangan risiko bencana dari tingkat kabupaten hingga desa se-Kabupaten Sigi diikutkan dalam peningkatan kapasitas mitigasi bencana.

Baca juga: Artikel - Keajaiban alam Danau Weekuri

Dengan semua perencanaan dan pelibatan semua pihak, kita semua berharap Sigi di masa depan akan bebas dari ancaman banjir bandang dan tanah longsor.

Pewarta : Muhammad Hajiji
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024