Kupang (Antara NTT) - Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Nusa Tenggara Timur Yohanes Tay Ruba mengatakan potensi lahan untuk ditanam jagung mencapai 49,09 persen dari total lahan kering di wilayah ini sekitar 1,5 juta hektare.
"Potensi-potensi ini didukung lahan kering di wilayah ini sekitar 1,5 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk jagung baru mencapai 49,09 persen," katanya kepada Antara di Kupang, Sabtu.
Potensi lain katanya, kultur sosial masyarakat NTT yang terbiasa dengan menanam jagung oleh rumah tangga mencapai 63 persen.
Ia menyebut jumlah rumah tangga tani jagung terbanyak dalam wilayah NTT, terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Selatan sekitar 15 persen, Belu 10 persen dan Kupang sembilan persen, menyusul Timor Tengah Utara sekitar 8,5 persen, Sumba Barat Daya delapan persen, Sumba Timur 4,8 persen dan Flores Timur sekitar 4,6 persen.
Sehingga dari aspek produksi jagung, Nusa Tenggara Timur dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini menghasilkan sekitar 588.96 ribu ton, dan termasuk salah satu sentra produksi di tingkat nasional.
Ia mengatakan hasil analisis BPS NTT juga menyebutkan dalam tataran nasional, produktifitas jagung di Nusa Tenggara Timur terendah, berkisar 23.35 kw/ha, sementara provinsi lainnya di atas 25 kw/ha hingga 46 kw/ha.
Bahkan data Badan Pusat Statistik menyebutkan mayoritas penduduk NTT berprofesi petani 3.042.780 orang atau mencapai 64,74 persen dari total 5,3 juta penduduk di daerah ini.
"Ini menggambarkan sebagian besar penduduk di daerah kepulauan ini bermata pencaharian sebagai petani, sehingga produk pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu andalan utama bagi peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, perlu mendapat perhatian, seiring dengan tekad untuk menjadikan daerah ini sebagai Provinsi Jagung," katanya.
Hasil proyeksi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang menyebutkan jumlah petani Indonesia dari waktu ke waktu terus menurun yakni pada 2011 turun 2,16 juta orang atau 5,2 persen menjadi 39,33 juta orang dibanding dengan tahun sebelumnya 41,49 juta orang.
Jumlah ini tidak berbanding lurus dengan jumlah petani gurem yang justru cenderung meningkat yaitu dalam 10 tahun terakhir misalnya, petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang yang hanya mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar.
Sementara itu, berdasar hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) juga menyebutkan petani gurem mencapai 15,6 juta jiwa.
Dalam konteks lokal di NTT, menurunnya jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani juga terjadi bahkan sangat terasa, beriringan dengan perkembangan teknologi dan zaman yang semakin membuat penduduk lebih berpaling ke kota, ketimbang ke desa.
"Potensi-potensi ini didukung lahan kering di wilayah ini sekitar 1,5 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk jagung baru mencapai 49,09 persen," katanya kepada Antara di Kupang, Sabtu.
Potensi lain katanya, kultur sosial masyarakat NTT yang terbiasa dengan menanam jagung oleh rumah tangga mencapai 63 persen.
Ia menyebut jumlah rumah tangga tani jagung terbanyak dalam wilayah NTT, terbanyak di Kabupaten Timor Tengah Selatan sekitar 15 persen, Belu 10 persen dan Kupang sembilan persen, menyusul Timor Tengah Utara sekitar 8,5 persen, Sumba Barat Daya delapan persen, Sumba Timur 4,8 persen dan Flores Timur sekitar 4,6 persen.
Sehingga dari aspek produksi jagung, Nusa Tenggara Timur dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini menghasilkan sekitar 588.96 ribu ton, dan termasuk salah satu sentra produksi di tingkat nasional.
Ia mengatakan hasil analisis BPS NTT juga menyebutkan dalam tataran nasional, produktifitas jagung di Nusa Tenggara Timur terendah, berkisar 23.35 kw/ha, sementara provinsi lainnya di atas 25 kw/ha hingga 46 kw/ha.
Bahkan data Badan Pusat Statistik menyebutkan mayoritas penduduk NTT berprofesi petani 3.042.780 orang atau mencapai 64,74 persen dari total 5,3 juta penduduk di daerah ini.
"Ini menggambarkan sebagian besar penduduk di daerah kepulauan ini bermata pencaharian sebagai petani, sehingga produk pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu andalan utama bagi peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, perlu mendapat perhatian, seiring dengan tekad untuk menjadikan daerah ini sebagai Provinsi Jagung," katanya.
Hasil proyeksi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang menyebutkan jumlah petani Indonesia dari waktu ke waktu terus menurun yakni pada 2011 turun 2,16 juta orang atau 5,2 persen menjadi 39,33 juta orang dibanding dengan tahun sebelumnya 41,49 juta orang.
Jumlah ini tidak berbanding lurus dengan jumlah petani gurem yang justru cenderung meningkat yaitu dalam 10 tahun terakhir misalnya, petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang yang hanya mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar.
Sementara itu, berdasar hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) juga menyebutkan petani gurem mencapai 15,6 juta jiwa.
Dalam konteks lokal di NTT, menurunnya jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani juga terjadi bahkan sangat terasa, beriringan dengan perkembangan teknologi dan zaman yang semakin membuat penduduk lebih berpaling ke kota, ketimbang ke desa.