Kupang (AntaraNews NTT) - Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) Nusa Tenggara Timur (NTT), Jon Salmon Saragih mengatakan banyak sekali faktor yang menjadi penyebab pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT ke luar negeri secara nonprosedural.
"Faktor utama adalah desakan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, disamping terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di NTT yang bisa menampung mereka sesuai dengan kemampuan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki," kata Jon kepada Antara di Kupang, Kamis (25/10).
Ia mengatakan faktor lain yang membuat PMI memilih jalur ilegal adalah berbelit-belitnya pengurusan dokumen keberangkatan ke luar negeri, dan persyaratan yang sulit dipenuhi serta bujuk rayu calo yang memberikan iming-iming gaji besar.
"Untuk menjadi PMI legal harus memenuhi berbagai persyaratan dokumen dan juga keahlian. Persyaratan ini sulit, sementara desakan kebutuhan hidup semakin tinggi," katanya.
Pada saat PMI sedang mengalami kesulitan, para calo datang sebagai dewa penyelamat, sehingga mereka tidak lagi berpikir soal resiko yang akan dihadapi di luar negeri sebagai tenaga kerja ilegal.
Menurut dia, masih banyak faktor lain, tetapi masalah ekonomi, lapangan pekerjaan dan kesulitan mengurus dokumen adalah faktor penting yang mendorong PMI untuk mencari kerja di luar negeri.
Dalam hubungan dengan itu, dia mengharapkan adanya kerja sama semua pihak dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat, tentang pentingnya menjadi pekerja migran Indonesia secara legal.
Para pekerja migran saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta
Dominasi PRT
Jon Salmon mengatakan pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang dikirim ke luar negeri didominasi oleh pembantu rumah tangga (PRT).
"Pekerjaan lainnya di perkebunan, cleaning service dan menjadi pekerja pada pabrik-pabrik di negara-negara tujuan, dengan upah Rp3 juta per bulan," katanya.
Ia menambahkan Malaysia tetap menjadi negara tujuan utama bagi PMI NTT dan para pekerja pada perusahan-perusahan perkebunan.
"Selama kami mengurus keberangkatan PMI asal NTT, umumnya memilih Malaysia sebagai ladang mencari kerja bersama para pekerja di sektor perkebunan dengan upah Rp3 juta/bulan," ujarnya.
Menurut dia, upah yang diterima per bulan itu merupakan standar upah yang diberikan kepada PMI, tanpa melihat jenjang atau kualifikasi pendidikan.
"Para PMI yang kembali ke NTT setelah bekerja di luar negeri, banyak yang sukses seperti membangun tempat tinggal, dan berusaha serta membiayai pendidikan keluarga," katanya.
Dia juga mengharapkan, mereka yang sudah kembali ke NTT bisa diberdayakan oleh pemerintah, dengan berbagai keterampilan yang dimiliki, sebagai salah satu cara untuk mencegah PMI asal NTT yang pergi ke luar negeri secara nonprosedural.
Para pekerja migran dari Indonesia yang sedang menunggu proses pemulangan ke Tanah Air.
"Faktor utama adalah desakan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, disamping terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di NTT yang bisa menampung mereka sesuai dengan kemampuan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki," kata Jon kepada Antara di Kupang, Kamis (25/10).
Ia mengatakan faktor lain yang membuat PMI memilih jalur ilegal adalah berbelit-belitnya pengurusan dokumen keberangkatan ke luar negeri, dan persyaratan yang sulit dipenuhi serta bujuk rayu calo yang memberikan iming-iming gaji besar.
"Untuk menjadi PMI legal harus memenuhi berbagai persyaratan dokumen dan juga keahlian. Persyaratan ini sulit, sementara desakan kebutuhan hidup semakin tinggi," katanya.
Pada saat PMI sedang mengalami kesulitan, para calo datang sebagai dewa penyelamat, sehingga mereka tidak lagi berpikir soal resiko yang akan dihadapi di luar negeri sebagai tenaga kerja ilegal.
Menurut dia, masih banyak faktor lain, tetapi masalah ekonomi, lapangan pekerjaan dan kesulitan mengurus dokumen adalah faktor penting yang mendorong PMI untuk mencari kerja di luar negeri.
Dalam hubungan dengan itu, dia mengharapkan adanya kerja sama semua pihak dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat, tentang pentingnya menjadi pekerja migran Indonesia secara legal.
Jon Salmon mengatakan pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang dikirim ke luar negeri didominasi oleh pembantu rumah tangga (PRT).
"Pekerjaan lainnya di perkebunan, cleaning service dan menjadi pekerja pada pabrik-pabrik di negara-negara tujuan, dengan upah Rp3 juta per bulan," katanya.
Ia menambahkan Malaysia tetap menjadi negara tujuan utama bagi PMI NTT dan para pekerja pada perusahan-perusahan perkebunan.
"Selama kami mengurus keberangkatan PMI asal NTT, umumnya memilih Malaysia sebagai ladang mencari kerja bersama para pekerja di sektor perkebunan dengan upah Rp3 juta/bulan," ujarnya.
Menurut dia, upah yang diterima per bulan itu merupakan standar upah yang diberikan kepada PMI, tanpa melihat jenjang atau kualifikasi pendidikan.
"Para PMI yang kembali ke NTT setelah bekerja di luar negeri, banyak yang sukses seperti membangun tempat tinggal, dan berusaha serta membiayai pendidikan keluarga," katanya.
Dia juga mengharapkan, mereka yang sudah kembali ke NTT bisa diberdayakan oleh pemerintah, dengan berbagai keterampilan yang dimiliki, sebagai salah satu cara untuk mencegah PMI asal NTT yang pergi ke luar negeri secara nonprosedural.