Bondowoso (ANTARA) - Kerusuhan yang berujung pada banyaknya korban jiwa melayang dalam pertandingan Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10) malam, mengingatkan kembali pada suasana batin yang menakutkan pada era akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
Saat itu, pendukung Arema atau Aremania dengan Niac Mitra Surabaya terlibat permusuhan yang berawal dari pertandingan di lapangan, kemudian merembes ke luar arena. Pertandingan waktu itu digelar di Stadion Gajayani yang berada di tengah-tengah Kota Malang.
Jalan-jalan kemudian menjadi ajang lain dari pendukung kedua klub sepak bola besar di Jawa Timur itu untuk adu kekuatan.
Ekses dari keributan di lapangan, semua kendaraan, baik roda dua maupun empat, yang melintas di jalanan Kota Malang "tidak boleh" ada yang berpelat L (Surabaya dan sekitarnya). Jika ketahuan ada motor atau mobil berpelat L, maka akan dikeroyok. Di akhir 80-an hingga 90-an itu, mahasiswa asal Surabaya dan sekitarnya yang motornya berpelat L tidak pernah berani menggunakan kendaraannya hingga berhari-hari. Motor-motor itu betul-betul disembunyikan di kamar-kamar kos di Kota Malang.
Bahkan, di kampung-kampung tempat indekos, mahasiswa asal Surabaya berupaya keras menghilangkan identitas ke-surabaya-annya agar tidak menjadi sasaran pengeroyokan dari Arek-Arek Malang.
Tidak hanya di Malang, Arek Suroboyo pendukung Niac Mitra (kala itu) dan kini Persebaya yang dikenal dengan sebutan Bonek, juga melakukan hal serupa. Kendaraan berpelat N (Malang dan sekitarnya) tidak ada yang berani keluar ke jalanan di Kota Pahlawan. Kendaraan pelat N menjadi incaran amukan para Bonek. Begitulah aksi balas dendam suporter kedua klub itu terpelihara dan beranak pinak. Bahkan, ketika kedua klub itu bertanding di luar Malang atau Surabaya, tawuran keduanya juga sering terjadi.
Tahun 2022 adalah kasus paling tragis dari sikap "fanatis buta" pendukung klub sepak bola dengan korban meninggal hingga 130 orang (sebagaimana dirilis oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Efendi). Bisa jadi jumlah itu masih akan bertambah mengingat masih ada korban luka yang kini dirawat di sejumlah rumah sakit di Kota Malang.
Mereka yang meninggal kali ini bukan karena menjadi korban tawuran atau amukan dari para Bonek. Peran Bonek tidak ada dalam kasus kerusuhan ini, karena mereka dilarang untuk datang menonton ke Stadion Kanjuruhan saat laga Arema FC Vs Persebaya berlangsung.
Korban berjatuhan berawal ketika tim tuan Arema kalah 2-3 dari Persebaya. Aremania yang tidak terima dengan kekalahan tim yang didukungnya merangsek ke dalam lapangan. Karena jumlah penonton ribuan yang masuk ke lapangan, polisi kewalahan menangani mereka kemudian menembakkan gas air mata. Penonton banyak yang merasa sesak nafas, sementara yang lain panik. Beberapa yang sesak kemudian terjatuh dan terinjak -injak oleh penonton yang berusaha keluar dari stadion.
Tradisi cangkrukan
Persoalan pendukung atau suporter fanatik sepak bola memang tidak cukup hanya diselesaikan di dalam lapangan dan sekitarnya. Apalagi, jika hanya mengandalkan aparat keamanan, polisi dengan TNI. Personel Polri dan TNI di lapangan seringkali dihadapkan pada sikap dilematias, yakni mencegah kerusuhan dengan memilih sikap humanis, namun hal itu berisiko ekses keberingasan massa semakin meluas.
Masalah ini merupakan pekerjaan besar yang memerlukan upaya keberlanjutan, bahkan hingga ke kampung-kampung. Maka, melibatkan tokoh-tokoh kampung juga perlu agar masalah suporter fanatik ini tidak lestari, bahkan beranak pinak.
Budaya Jawa mengenal cangkrukan, yakni kebiasaan berkumpul beberapa orang hanya sekadar ngobrol ngalor ngidul (temanya tidak jelas) dan terkesan isinya tidak penting. Kopi dan kudapan ala desa adalah pendamping agar budaya ngobrol itu lebih seru dan gayeng.
Sepintas, budaya cangkrukan itu memang terlihat kurang bermakna, apalagi jika disorot dengan prinsip produktivitas bersifat bendawi dalam budaya modern. Namun jangan lupa bahwa dalam budaya itu terselip nilai luhur, berupa kebersamaan, keguyuban dan penghilangan "ego" dalam dikotomi "aku-kamu" atau "kita-mereka".
Dalam budaya cangkrukan tertanam budaya peleburan diri dalam kebersamaan "kita-kami" yang kemudian menegasikan perbedaan, apalagi permusuhan. Dalam suasana batin seperti itu, setiap anggota komunitas cangkrukan akan mudah dimasuki nilai-nilai luhur mengenai kesantunan dan sejenisnya.
Baca juga: Artikel - Piala Dunia dan peran sentral gelandang tengah
Para pemangku kepentingan di suatu wilayah bisa memanfaatkan budaya cangkrukan ini untuk masuk dan selalu mengingatkan para suporter fanatik sepak bola untuk menjadi penjaga agar stadion atau lapangan bola selalu aman setiap ada pertandingan.
Dukungan fanatik terhadap klub sepak bola daerahnya, tidak harus, bahkan tidak boleh ditunjukkan dengan "mengamuk" jika tim yang didukungnya kalah. Ini pekerjaan sosial yang hasilnya tidak mungkin bisa dirasakan dalam hitungan hari, bahkan bulan atau tahun. Memerlukan energi jiwa yang tidak mengenal lelah untuk mendekati para suporter sepak bola ini agar jiwa dan pikiran mereka selalu istikamah dalam keluhuran sikap, baik di pinggir arena maupun ketika mereka keluar dari stadion.
Baca juga: Artikel - Cerita Cristiano Ronaldo selanjutnya di Manchester United
Dukungan semangat pada klub kesayangannya harus selalu ditunjukkan dengan sikap elegan dan berkelas. Bukan seperti kelas sepak bola antarkampung alias tarkam. Kita berharap, tragedi Kanjuruhan ini menjadi yang terakhir dan sepak bola kita menjadi bermartabat, bukan hanya di lapangan rumput hijau, tapi juga di jalanan dan kampung.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tragedi Kanjuruhan dan pentingnya menghidupkan budaya cangkrukan
Saat itu, pendukung Arema atau Aremania dengan Niac Mitra Surabaya terlibat permusuhan yang berawal dari pertandingan di lapangan, kemudian merembes ke luar arena. Pertandingan waktu itu digelar di Stadion Gajayani yang berada di tengah-tengah Kota Malang.
Jalan-jalan kemudian menjadi ajang lain dari pendukung kedua klub sepak bola besar di Jawa Timur itu untuk adu kekuatan.
Ekses dari keributan di lapangan, semua kendaraan, baik roda dua maupun empat, yang melintas di jalanan Kota Malang "tidak boleh" ada yang berpelat L (Surabaya dan sekitarnya). Jika ketahuan ada motor atau mobil berpelat L, maka akan dikeroyok. Di akhir 80-an hingga 90-an itu, mahasiswa asal Surabaya dan sekitarnya yang motornya berpelat L tidak pernah berani menggunakan kendaraannya hingga berhari-hari. Motor-motor itu betul-betul disembunyikan di kamar-kamar kos di Kota Malang.
Bahkan, di kampung-kampung tempat indekos, mahasiswa asal Surabaya berupaya keras menghilangkan identitas ke-surabaya-annya agar tidak menjadi sasaran pengeroyokan dari Arek-Arek Malang.
Tidak hanya di Malang, Arek Suroboyo pendukung Niac Mitra (kala itu) dan kini Persebaya yang dikenal dengan sebutan Bonek, juga melakukan hal serupa. Kendaraan berpelat N (Malang dan sekitarnya) tidak ada yang berani keluar ke jalanan di Kota Pahlawan. Kendaraan pelat N menjadi incaran amukan para Bonek. Begitulah aksi balas dendam suporter kedua klub itu terpelihara dan beranak pinak. Bahkan, ketika kedua klub itu bertanding di luar Malang atau Surabaya, tawuran keduanya juga sering terjadi.
Tahun 2022 adalah kasus paling tragis dari sikap "fanatis buta" pendukung klub sepak bola dengan korban meninggal hingga 130 orang (sebagaimana dirilis oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Efendi). Bisa jadi jumlah itu masih akan bertambah mengingat masih ada korban luka yang kini dirawat di sejumlah rumah sakit di Kota Malang.
Mereka yang meninggal kali ini bukan karena menjadi korban tawuran atau amukan dari para Bonek. Peran Bonek tidak ada dalam kasus kerusuhan ini, karena mereka dilarang untuk datang menonton ke Stadion Kanjuruhan saat laga Arema FC Vs Persebaya berlangsung.
Korban berjatuhan berawal ketika tim tuan Arema kalah 2-3 dari Persebaya. Aremania yang tidak terima dengan kekalahan tim yang didukungnya merangsek ke dalam lapangan. Karena jumlah penonton ribuan yang masuk ke lapangan, polisi kewalahan menangani mereka kemudian menembakkan gas air mata. Penonton banyak yang merasa sesak nafas, sementara yang lain panik. Beberapa yang sesak kemudian terjatuh dan terinjak -injak oleh penonton yang berusaha keluar dari stadion.
Tradisi cangkrukan
Persoalan pendukung atau suporter fanatik sepak bola memang tidak cukup hanya diselesaikan di dalam lapangan dan sekitarnya. Apalagi, jika hanya mengandalkan aparat keamanan, polisi dengan TNI. Personel Polri dan TNI di lapangan seringkali dihadapkan pada sikap dilematias, yakni mencegah kerusuhan dengan memilih sikap humanis, namun hal itu berisiko ekses keberingasan massa semakin meluas.
Masalah ini merupakan pekerjaan besar yang memerlukan upaya keberlanjutan, bahkan hingga ke kampung-kampung. Maka, melibatkan tokoh-tokoh kampung juga perlu agar masalah suporter fanatik ini tidak lestari, bahkan beranak pinak.
Budaya Jawa mengenal cangkrukan, yakni kebiasaan berkumpul beberapa orang hanya sekadar ngobrol ngalor ngidul (temanya tidak jelas) dan terkesan isinya tidak penting. Kopi dan kudapan ala desa adalah pendamping agar budaya ngobrol itu lebih seru dan gayeng.
Sepintas, budaya cangkrukan itu memang terlihat kurang bermakna, apalagi jika disorot dengan prinsip produktivitas bersifat bendawi dalam budaya modern. Namun jangan lupa bahwa dalam budaya itu terselip nilai luhur, berupa kebersamaan, keguyuban dan penghilangan "ego" dalam dikotomi "aku-kamu" atau "kita-mereka".
Dalam budaya cangkrukan tertanam budaya peleburan diri dalam kebersamaan "kita-kami" yang kemudian menegasikan perbedaan, apalagi permusuhan. Dalam suasana batin seperti itu, setiap anggota komunitas cangkrukan akan mudah dimasuki nilai-nilai luhur mengenai kesantunan dan sejenisnya.
Baca juga: Artikel - Piala Dunia dan peran sentral gelandang tengah
Para pemangku kepentingan di suatu wilayah bisa memanfaatkan budaya cangkrukan ini untuk masuk dan selalu mengingatkan para suporter fanatik sepak bola untuk menjadi penjaga agar stadion atau lapangan bola selalu aman setiap ada pertandingan.
Dukungan fanatik terhadap klub sepak bola daerahnya, tidak harus, bahkan tidak boleh ditunjukkan dengan "mengamuk" jika tim yang didukungnya kalah. Ini pekerjaan sosial yang hasilnya tidak mungkin bisa dirasakan dalam hitungan hari, bahkan bulan atau tahun. Memerlukan energi jiwa yang tidak mengenal lelah untuk mendekati para suporter sepak bola ini agar jiwa dan pikiran mereka selalu istikamah dalam keluhuran sikap, baik di pinggir arena maupun ketika mereka keluar dari stadion.
Baca juga: Artikel - Cerita Cristiano Ronaldo selanjutnya di Manchester United
Dukungan semangat pada klub kesayangannya harus selalu ditunjukkan dengan sikap elegan dan berkelas. Bukan seperti kelas sepak bola antarkampung alias tarkam. Kita berharap, tragedi Kanjuruhan ini menjadi yang terakhir dan sepak bola kita menjadi bermartabat, bukan hanya di lapangan rumput hijau, tapi juga di jalanan dan kampung.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tragedi Kanjuruhan dan pentingnya menghidupkan budaya cangkrukan