Oleh karenanya, saat ini, dan terutama ke depan, sangat diperlukan sosok anggota Polri yang berkarakter. Nah, karakter bagaimana yang dibutuhkan ke depan? Jawabanya tegas, yaitu polisi yang berkarakter, berkepribadian, berperilaku, serta berwatak Bhayangkara Negara, di samping polisi yang profesional dan humanis.
Harus diakui secara jujur elite Polri atau perwira tinggi (PATI) mungkin masih ada yang belum berkarakter dan memiliki kemampuan untuk membangun argumen menghadapi elit atau kelompok tertentu yang ingin mempersoalkan keberadaan Polri.
Perlu dibekali ilmu
Masalah mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah pendidikan awal dan pendidikan lanjutan. Dalam kaitan ini, anggota Polri perlu dibekali ilmu yang cukup dalam mengemban tugasnya.
Ilmu itu, pertama sejarah dan filsafat kepolisian (Polri). Tujuan yang hendak dicapai dari pembelajaran ini, agar calon maupun anggota Polri memahami bahwa menjadi anggota Polri bukan sekedar menerima tugas dari negara, seperti disebutkan dalam konstitusi dan UU 2/2002, yaitu sebagai pemelihara keamanan; penegak hukum; dan pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, tetapi juga tugas tersebut sebagai kristalisasi kepercayaan masyarakat kepada sebuah institusi yang disebut polisi.
Kepercayaan sejalan dengan teori kontrak sosial, yaitu perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu.
Pada sisi lain peran kesejarahan Polri tidak bisa dianggap sederhana untuk diabaikan. Jangan sampai hal ini bisa menjadi kelemahan Polri, baik sebagai institusi maupun sebagai pribadi.
Polri harus mampu “berjuang atau bersuara lantang” meyakinkan Polri yang sesungguhnya juga punya peran sejarah dalam berdirinya NKRI. Keberadaan Polri sudah ada sejak Polisi Istimewa memproklamasikan diri menjadi Polisi Indonesia pada 21 Agustus 1945.
Pada sisi filsafat kepolisian, yang perlu ditekankan adalah sifat universal polisi di dunia. Setidaknya ada empat hal.
Kesatu, to fight the crime, to love humanity dan to help delinquent.
Kedua, menyatakan yang benar adalah yang benar-benar BENAR, bukan yang dibenarkan.
Ketiga, tidak pernah berharap “terima kasih” dalam melaksanakan tugas.
Keempat, tidak ada untaian kembang dan tidak ada air mata ketika seorang polisi meninggal dunia dalam tugas.
Ilmu pengetahuan kedua, pengetahuan perbandingan kepolisian di beberapa negara atau sistem kepolisian di dunia. Tujuan pembelajaran ini agar para anggota Polri dibekali pengetahuan polisi di seluruh dunia pada prinsipnya sama.
Berangkat dari teori Plato tentang pembagian tugas negara, ada empat : defence, diplomatie, finance, police . Tugas tersebut diberikan rakyat kepada negara dan representasi negara adalah kepala negara.
Poin inilah yang perlu dipahami oleh segenap insan Polri, sehingga punya pijakan pengetahuan tentang kepolisian yang bersifat universal, dan dapat membangun argumen dalam menghadapi berbagai kelompok kepentingan yang menyoal tentang Polri.
Jangan dibanding-bandingkan
Saat ini sedang hit lagu “Ojo Dibanding-bandingke". Khusus Kepolisian Indonesia, lirik lagu itu juga tepat untuk diterapkan pada posisi Polri. Dalam hal ini janganlah dibandingkan polisi Indonesia (Polri) dengan negara-negara yang kepolisiannya tidak bersifat nasional. Hadirnya Kepolisian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia menjadi sebuah negara bangsa.
Di ASEAN yang Kepolisiannya bersifat nasional, antara lain Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Selanjutnya ilmu pengetahuan ketiga yang diperlukan adalah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi dan penerapannya perlu terus dievaluasi. Hal ini terkait dan terutama dengan derasnya upaya para pihak untuk “mengerdikan” fungsi, peranan, tugas, dan kewenangan Polri.
Ilmu pengetahuan keempat yang perlu difahami, “penerapan tugas dan kewajiban Polri sesuai konstitusi dan perundangan, kiranya lebih mengutamakan Harkamtibmas ( to protect and to served ) daripada penegakan hukum.
Bukan hanya hukum pidana
Selanjutnya, kelima , tetap perlu dibekali ilmu hukum. Dalam hal ini “ilmu hukum” yang dimaksud bukan hanya hukum pidana saja, tetapi juga lain yang terkait dengan tugas-tugas kepolisian dan perkembangan zaman, seperti hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum bisnis, serta lain-lain aspek hukum yang ada.
Polri perlu terus membuka diri untuk memperluas wawasan insan polisi dengan disiplin ilmu di luar ilmu hukum, seperti Ilmu ekonomi, ilmu politik, kebijakan publik, sosiologi, budaya, wawasan Nusantara, wawasan Kebangsaan dan “wawasan keamanan Nasional” dan bahkan entrepreneurship.
Semua itu bertujuan untuk memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran setiap anggota polisi sesuai dengan jenjang jabatan dan tanggung-jawabnya.
Membangun nilai moral
Maka dalam rangka membangun karakter anggota Polri yang berintegritas, yaitu polisi yang jujur, bertanggung jawab dan disiplin, perlu juga penanaman nilai-nilai moral keagamaan, etika, dan moral bangsa. Nilai-nilai moral itu patut dibangun dan ditumbuhkembangkan secara berlanjut dan berkesinambungan.
Baca juga: Opini - HPN 2023 dan optimalisasi kompetensi wartawan
Kiranya saatnya sekarang kepada generasi antara dan generasi baru Polri walaupun mungkin sudah dibekali dengan ilmu dan pengetahuan dimaksud di atas, namun perlu diintensifkan untuk bisa lebih dipahami dan diamalkan.
Baca juga: Opini - Mendaras pahlawan kehidupan
Juga yang selama ini sudah ada pelajaran sejarah Polri dan filsafat Polri serta pengetahuan sistem kepolisian di dunia, tetapi perlu diperkuat lagi dalam proses pendidikan awal maupun lanjutan Polri dan perlunya digalakkan terus pelaksanaan Santi Aji dan Santi Karma secara terprogram.
*) Irjen Pol (Pur) Drs Sisno Adiwinoto MM adalah pengamat kepolisian/Ketua Penasihat Ahli Kapolri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tantangan pendidikan filsafat dan perlunya polisi berkarakter