Akibat postingannya, AP Hasanuddin tidak hanya berurusan dengan pihak berwajib. Peneliti berusia 30 tahun itu menghadapi kemarahan warga Muhammadiyah. Sehingga saat akan ditangkap di kediamannya pada 30 April di Jombang, peneliti Astrologi itu sempat meminta perlindungan kepada polisi.
Saat ditampilkan kepada publik melalui media di Bareskrim Polri, Senin (1/5), AP Hasanuddin tidak bersedia untuk bicara ataupun menyampaikan permintaan maaf.
Dari keterangannya kepada penyidik, kalimat bernada ancaman dan ujaran kebencian itu ditulisnya sebagai bentuk kekhilafan dengan alasan lelah dan emosi karena diskusi panjang tiada akhir.
Penyidik juga memastikan tersangka tidak berniat untuk mewujudkan ancamannya untuk membunuh satu per satu warga Muhammadiyah.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan aparat penegak hukum dan juga masyarakat untuk tidak memandang sebelah mata adanya ancaman pembunuhan, seperti yang dilontarkan oleh peneliti BRIN kepada warga Muhammadiyah.
Sudah banyak contoh yang dapat dijadikan pelajaran dari kasus ancaman yang disampaikan lewat media sosial, seperti situasi-situasi yang terjadi di mancanegara.
Salah satunya, Salvador Ramos, sebelum menembak 19 murid dan dua guru pada Mei 2022, ia mengirim pesan di akun Facebook-nya yang berbunyi “Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD”.
Kemudian, Travis McMichael juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian pada kalangan tertentu, sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang dia benci.
Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime (kejahatan berlatar kebencian).
Cerdas bermedia sosial