Kendari (ANTARA) - Di sudut Kota Kendari yang ramai, terdengar alunan musik yang dipetik seorang pemuda sembari duduk di atas kursi untuk menghibur sejumlah orang di kala matahari mulai tenggelam.
Ketika didekati, irama musik ini berasal dari sebuah alat musik tradisional berwarna cokelat, menyerupai gitar yang memiliki dawai yang oleh masyarakat disebut dengan Gambus.
Petikan musik tradisional ini mampu menyejukkan suasana hati dari kebisingan knalpot kendaraan yang lalu lalang di Kota Kendari, sore itu. Musiknya pun tak kalah menarik dibandingakan dengan berbagai jenis musik modern saat ini.
Tepat di sudut Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenkumham Sulawesi Tenggara, alat musik tradisional ini dimainkan oleh seorang pemuda bernama Ade Rahmatullah (27 tahun).
Di tangan pria yang lahir di Desa Tawanga, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, alat musik Gambus seakan menghipnotis pendengar karena iramanya mampu membuat orang ikut bernyanyi.
Ade yang lahir 3 September 1995 ini tampil memainkan alat musik Gambus dengan lagu yang diciptakan ayahnya bernama Burhan Balano, juga merupakan pemain Gambus.
Dengan menggunakan topi adat Suku Tolaki dan pakaian adat Tolaki serta syal kuning yang merupakan sarung adat, membuat Ade tampil lebih menawan. Ia dan sang ayah tampil di sebuah panggung mini yang dinamakan Pojok Aspirasi milik Kanwil Kemenkumham Sultra.
Penampilan Ade bersama sang ayah di panggung yang berukuran kurang lebih 5x3 meter dengan tinggi sekitar 40 cm itu diinisiasi oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sultra Silvester Sili Laba.
Hal itu dilakukan karena muncul ketakutan di benak pria asal Nusa Tenggara Timur ini akan keberadaan musik Gambus. Silvester merasa memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warisan leluhur bangsa, sehingga dia mengajak para musisi untuk tampil menghibur di lingkungan kantornya.
Sebagai warisan leluhur nenek moyang, maka suatu kewajiban bagi generasi penerus bangsa untuk melindungi dan merevitalisasi alat musik tradisional Gambus.
Upaya melestarikan alat musik tradisional ini sangat penting dilakukan, sehingga warisan nenek moyang atau leluhur bangsa ini tidak diklaim oleh bangsa atau negara lain.
Melindungi
Perlindungan terhadap alat musik Gambus yang ada di Sulawesi Tenggara dilakukan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sehingga diharapkan dapat terus diwariskan ke generasi penerus dan tidak sampai diklaim oleh negara lain.
Sembari duduk di sebuah kursi, Kepala Kanwil Kemenkumham Sultra Silvester Sili Laba mengaku sebagai bentuk perlindungan musik warisan budaya Gambus, pihaknya telah menerbitkan Hak Kekayaan Intelektual untuk jenis musik tersebut.
Bagi dia, irama gambus adalah musik rakyat, namun belum dicatat dan diakui secara resmi oleh negara. Jangan sampai kita terlambat, ini jangan sampai negara luar mengklaim bahwa ini ciptaannya. Ini budaya kita.
Pria yang kerap menyapa orang dengan panggilan kakak ini mengatakan akan memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual komunal guna melindungi warisan budaya yang sudah turun temurun dilestarikan di Sultra, termasuk Suku Tolaki.
Perlindungan diberikan dengan mendaftarkan Gambus sebagai warisan budaya Suku Tolaki untuk mendapat pengakuan hak cipta dan terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI, sehingga tidak ada pihak lain yang mengklaim.
Tak hanya itu, sebagai bentuk dukungan pelestarian musik Gambus, Silvester mengaku akan mengajak musisi Gambus yang telah mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan untuk masuk dapur rekaman di Jakarta.
Di mata pria yang lahir di Desa Lamawolo, Pulau Adonara, Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 6 Januari 1967, dan juga bisa bermain musik Gambus ini, kearifan lokal, seperti Gambus, harus perlu dilestarikan, sebab itu merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki oleh negara, khususnya di Sulawesi Tenggara.
Silvester mengajak masyarakat untuk mendukung dan melestarikan musik Gambus yang merupakan suatu kebanggaan tradisi dari leluhur atau nenek moyang sehingga tidak diklaim pihak lainnya, seperti yang terjadi pada musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur (NTT) diklaim oleh Sri Lanka.
Musik Gambus ini, menurut dia, lahir dari rahim dan dari darah yang mengalir secara tradisi leluhur nenek moyang Nusantara yang harus digelorakan dan dibumikan.
"Betul-betul irama gambus ini harus menjadi kebanggaan karya anak bangsa," ucap pria yang kerap makan nasi ompreng bersama warga binaan atau narapidana di lapas maupun rumah tahanan.
Sembari tangan kanan diangkat ke depan dan mengepal menunjukkan komitmen pihaknya untuk melindungi warisan budaya, adat dan tradisi milik nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun yang ada di Sulawesi Tenggara termasuk di Suku Tolaki.
Budayakan
Ade Rahmatullah, anak dari Burhan Balano, yang merupakan rekan saat bermain gambus mengatakan sangat senang bermain musik tradisi itu daripada musik modern.
Bagi pria yang lahir 27 tahun silam itu, musik modern gampang dan tidak memiliki tantangan untuk dimainkan. Selain itu, dirinya memilih musik tradisional karena tidak ingin warisan nenek moyang tersebut punah dan tergerus oleh budaya luar.
Mengapa dia suka memainkan musik tradisional? Jawabannya, supaya budaya kita tidak punah. "Saya ingin juga kita punya musik daerah itu, sama seperti yang di luar, di daerah Jawa, karena Sulawesi Tenggara ini tempat tinggal kita," ucap dia yang ditemui ANTARA, seusai tampil di Kanwil Kemenkumham Sultra.
Sembari mengingat-ingat, Ade bercerita bahwa dirinya mulai bermain gambus sejak tahun 2000-an, kala itu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kala itu, ia tampil membawakan musik Gambus masih di sekitar daerahnya di Kelurahan Ambekairi, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Dirinya bersyukur dan bangga musik gambus yang ia mainkan bersama ayahnya telah mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari negara.
Tak jauh dari, Ade, sosok seorang ayah bernama Burhan Balano, salah satu musisi gambus di Sulawesi Tenggara mengaku bersyukur karena lagu ciptaannya berjudul "Sulawesi Tenggara Membangun Budaya Intelektual" telah mendapatkan pengakuan hak cipta dan terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI.
Dengan rasa haru, dia mengaku sangat bahagia karena Kemenkumham RI telah berkenan mendukung klinik kekayaan intelektual bergerak di Sulawesi Tenggara tahun 2022.
Dengan tersedu-sedu, Burhan mengaku selama ini telah bermain gambus selama kurang lebih 10 tahun dengan tampil di pesta-pesta demi untuk membiayai kehidupan keluarga.
Ia juga mengaku telah mengajari anaknya bermain Gambus sejak duduk di bangku Kelas 5 sekolah dasar pada tahun 2000.
Lelaki itu berterima kasih kepada semua pihak atas perhatian dan kepedulian kepada masyarakat Sulawesi Tenggara dan adat budaya masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di lain sisi, Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Lembaga Adat Tolaki (DPP LAT) isman Saranani sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Kanwil Kemenkumham yang akal mencatatkan kekayaan intelektual komunal dari Suku Tolaki.
Betapa pentingnya untuk mendaftarkan hak-hak intelektual komunal ke negara sehingga tidak diklaim negara lain.
Baca juga: Artikel - Sang penjaga regalia Kerajaan Melayu
DPP LAT pun membentuk tim khusus guna menginventarisir kekayaan intelektual komunal maupun perorangan yang kemudian akan segera didaftarkan di Kemenkumham.
Ketakutan pun dirasakan Bisman, dimana jika tidak terdaftar, maka nilai-nilai tradisi kebudayaan sukunya akan dicaplok negara lain, sehingga pihaknya membentuk tim untuk melakukan pendaftaran nilai-nilai tradisi kebudayaan Suku Tolaki ke Kemenekumham.
Baca juga: Artikel - Pahlawan-pahlawan tersembunyi
Sebab di mata dia, jika tidak bergerak cepat untuk mendaftar di Kementerian Hukum dan HAM maka budaya-budaya atau kekayaan intelektual komunal yang ada di Suku Tolaki tidak bisa dipromosikan ke kancah nasional maupun manca negara.
Melindungi dan melestarikan kekayaan budaya bangsa peninggalan leluhur atau nenek moyang kita salah satunya musik tradisional gambus sangat penting dilakukan oleh generasi penerus dan semua pihak lainnya agar tidak diklaim oleh bangsa atau negara lain.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melindungi Gambus warisan leluhur bangsa
Ketika didekati, irama musik ini berasal dari sebuah alat musik tradisional berwarna cokelat, menyerupai gitar yang memiliki dawai yang oleh masyarakat disebut dengan Gambus.
Petikan musik tradisional ini mampu menyejukkan suasana hati dari kebisingan knalpot kendaraan yang lalu lalang di Kota Kendari, sore itu. Musiknya pun tak kalah menarik dibandingakan dengan berbagai jenis musik modern saat ini.
Tepat di sudut Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kemenkumham Sulawesi Tenggara, alat musik tradisional ini dimainkan oleh seorang pemuda bernama Ade Rahmatullah (27 tahun).
Di tangan pria yang lahir di Desa Tawanga, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, alat musik Gambus seakan menghipnotis pendengar karena iramanya mampu membuat orang ikut bernyanyi.
Ade yang lahir 3 September 1995 ini tampil memainkan alat musik Gambus dengan lagu yang diciptakan ayahnya bernama Burhan Balano, juga merupakan pemain Gambus.
Dengan menggunakan topi adat Suku Tolaki dan pakaian adat Tolaki serta syal kuning yang merupakan sarung adat, membuat Ade tampil lebih menawan. Ia dan sang ayah tampil di sebuah panggung mini yang dinamakan Pojok Aspirasi milik Kanwil Kemenkumham Sultra.
Penampilan Ade bersama sang ayah di panggung yang berukuran kurang lebih 5x3 meter dengan tinggi sekitar 40 cm itu diinisiasi oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sultra Silvester Sili Laba.
Hal itu dilakukan karena muncul ketakutan di benak pria asal Nusa Tenggara Timur ini akan keberadaan musik Gambus. Silvester merasa memiliki kewajiban untuk melindungi setiap warisan leluhur bangsa, sehingga dia mengajak para musisi untuk tampil menghibur di lingkungan kantornya.
Sebagai warisan leluhur nenek moyang, maka suatu kewajiban bagi generasi penerus bangsa untuk melindungi dan merevitalisasi alat musik tradisional Gambus.
Upaya melestarikan alat musik tradisional ini sangat penting dilakukan, sehingga warisan nenek moyang atau leluhur bangsa ini tidak diklaim oleh bangsa atau negara lain.
Melindungi
Perlindungan terhadap alat musik Gambus yang ada di Sulawesi Tenggara dilakukan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sehingga diharapkan dapat terus diwariskan ke generasi penerus dan tidak sampai diklaim oleh negara lain.
Sembari duduk di sebuah kursi, Kepala Kanwil Kemenkumham Sultra Silvester Sili Laba mengaku sebagai bentuk perlindungan musik warisan budaya Gambus, pihaknya telah menerbitkan Hak Kekayaan Intelektual untuk jenis musik tersebut.
Bagi dia, irama gambus adalah musik rakyat, namun belum dicatat dan diakui secara resmi oleh negara. Jangan sampai kita terlambat, ini jangan sampai negara luar mengklaim bahwa ini ciptaannya. Ini budaya kita.
Pria yang kerap menyapa orang dengan panggilan kakak ini mengatakan akan memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual komunal guna melindungi warisan budaya yang sudah turun temurun dilestarikan di Sultra, termasuk Suku Tolaki.
Perlindungan diberikan dengan mendaftarkan Gambus sebagai warisan budaya Suku Tolaki untuk mendapat pengakuan hak cipta dan terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI, sehingga tidak ada pihak lain yang mengklaim.
Tak hanya itu, sebagai bentuk dukungan pelestarian musik Gambus, Silvester mengaku akan mengajak musisi Gambus yang telah mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan untuk masuk dapur rekaman di Jakarta.
Di mata pria yang lahir di Desa Lamawolo, Pulau Adonara, Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 6 Januari 1967, dan juga bisa bermain musik Gambus ini, kearifan lokal, seperti Gambus, harus perlu dilestarikan, sebab itu merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki oleh negara, khususnya di Sulawesi Tenggara.
Silvester mengajak masyarakat untuk mendukung dan melestarikan musik Gambus yang merupakan suatu kebanggaan tradisi dari leluhur atau nenek moyang sehingga tidak diklaim pihak lainnya, seperti yang terjadi pada musik Sasando dari Nusa Tenggara Timur (NTT) diklaim oleh Sri Lanka.
Musik Gambus ini, menurut dia, lahir dari rahim dan dari darah yang mengalir secara tradisi leluhur nenek moyang Nusantara yang harus digelorakan dan dibumikan.
"Betul-betul irama gambus ini harus menjadi kebanggaan karya anak bangsa," ucap pria yang kerap makan nasi ompreng bersama warga binaan atau narapidana di lapas maupun rumah tahanan.
Sembari tangan kanan diangkat ke depan dan mengepal menunjukkan komitmen pihaknya untuk melindungi warisan budaya, adat dan tradisi milik nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun yang ada di Sulawesi Tenggara termasuk di Suku Tolaki.
Budayakan
Ade Rahmatullah, anak dari Burhan Balano, yang merupakan rekan saat bermain gambus mengatakan sangat senang bermain musik tradisi itu daripada musik modern.
Bagi pria yang lahir 27 tahun silam itu, musik modern gampang dan tidak memiliki tantangan untuk dimainkan. Selain itu, dirinya memilih musik tradisional karena tidak ingin warisan nenek moyang tersebut punah dan tergerus oleh budaya luar.
Mengapa dia suka memainkan musik tradisional? Jawabannya, supaya budaya kita tidak punah. "Saya ingin juga kita punya musik daerah itu, sama seperti yang di luar, di daerah Jawa, karena Sulawesi Tenggara ini tempat tinggal kita," ucap dia yang ditemui ANTARA, seusai tampil di Kanwil Kemenkumham Sultra.
Sembari mengingat-ingat, Ade bercerita bahwa dirinya mulai bermain gambus sejak tahun 2000-an, kala itu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kala itu, ia tampil membawakan musik Gambus masih di sekitar daerahnya di Kelurahan Ambekairi, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Dirinya bersyukur dan bangga musik gambus yang ia mainkan bersama ayahnya telah mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari negara.
Tak jauh dari, Ade, sosok seorang ayah bernama Burhan Balano, salah satu musisi gambus di Sulawesi Tenggara mengaku bersyukur karena lagu ciptaannya berjudul "Sulawesi Tenggara Membangun Budaya Intelektual" telah mendapatkan pengakuan hak cipta dan terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI.
Dengan rasa haru, dia mengaku sangat bahagia karena Kemenkumham RI telah berkenan mendukung klinik kekayaan intelektual bergerak di Sulawesi Tenggara tahun 2022.
Dengan tersedu-sedu, Burhan mengaku selama ini telah bermain gambus selama kurang lebih 10 tahun dengan tampil di pesta-pesta demi untuk membiayai kehidupan keluarga.
Ia juga mengaku telah mengajari anaknya bermain Gambus sejak duduk di bangku Kelas 5 sekolah dasar pada tahun 2000.
Lelaki itu berterima kasih kepada semua pihak atas perhatian dan kepedulian kepada masyarakat Sulawesi Tenggara dan adat budaya masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di lain sisi, Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Lembaga Adat Tolaki (DPP LAT) isman Saranani sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Kanwil Kemenkumham yang akal mencatatkan kekayaan intelektual komunal dari Suku Tolaki.
Betapa pentingnya untuk mendaftarkan hak-hak intelektual komunal ke negara sehingga tidak diklaim negara lain.
Baca juga: Artikel - Sang penjaga regalia Kerajaan Melayu
DPP LAT pun membentuk tim khusus guna menginventarisir kekayaan intelektual komunal maupun perorangan yang kemudian akan segera didaftarkan di Kemenkumham.
Ketakutan pun dirasakan Bisman, dimana jika tidak terdaftar, maka nilai-nilai tradisi kebudayaan sukunya akan dicaplok negara lain, sehingga pihaknya membentuk tim untuk melakukan pendaftaran nilai-nilai tradisi kebudayaan Suku Tolaki ke Kemenekumham.
Baca juga: Artikel - Pahlawan-pahlawan tersembunyi
Sebab di mata dia, jika tidak bergerak cepat untuk mendaftar di Kementerian Hukum dan HAM maka budaya-budaya atau kekayaan intelektual komunal yang ada di Suku Tolaki tidak bisa dipromosikan ke kancah nasional maupun manca negara.
Melindungi dan melestarikan kekayaan budaya bangsa peninggalan leluhur atau nenek moyang kita salah satunya musik tradisional gambus sangat penting dilakukan oleh generasi penerus dan semua pihak lainnya agar tidak diklaim oleh bangsa atau negara lain.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melindungi Gambus warisan leluhur bangsa