Ambon (ANTARA) - Sebagian rumah warga di kota-kota besar seperti Jakarta, selama beberapa tahun terakhir ini makin banyak yang bagian rooftop-nya dipasangi lempengan papan sirkuit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Bahkan sudah ada perusahaan pengembang yang berani menawarkan promo rumah elite dengan dilengkapi PLTS atap.
Di satu sisi, PLTS atap merupakan salah satu sumber energi baru terbarukan (EBT) yang sekarang gencar dikembangkan Pemerintah guna mengantisipasi makin menipisnya sumber-sumber energi berbahan bakar fosil.
Selain itu, PLTS atap juga ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan gas buang seperti pembangkit listrik BBM.
Namun di sisi lain, biaya pemasangan PLTS atap masih tergolong mahal untuk strata masyarakat tertentu bila sasarannya untuk kategori rumah tangga.
"PLN sangat mendukung program PLTS Atap, tetapi untuk kondisi saat ini penggunaannya masih sebatas gedung kantor pemerintah karena berbagai alasan," ujar Senior Manajer Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Unit Induk Wilayah Maluku-Maluku Utara Maman Sulaeman saat sosialisasi PLTA atap.
Keterbatasan itu, misalnya,teknologi PLTS yang belum terlalu mumpuni karena baterai untuk menyimpan energi sangat mahal dan paling tahan lama hanya dua tahun.
Kemudian, bila biaya sambung PLN hanya Rp1,3, juta, sementara untuk PLTS berada di kisaran Rp20 juta hingga Rp30 juta.
Di Maluku saat ini terdapat 27 lokasi sistem PLTS yang gabung dengan PLTD dan bisa menghemat biaya BBM sebanyak 3.682.000 liter per tahun dan hemat biaya pemeliharaan Rp5 miliar per tahun.
Bila pelanggan dari berbagai kalangan yang berkeinginan menambah pasokan baru sumber energi listrik dari PLTS atap maka mereka harus menanggung sendiri. PLN tidak menanggung biaya pemasangannya karena memang sifatnya mandiri.
Pada saat pelanggan ingin menambah sumber pasokan untuk mendapatkan energi baru terbarukan berupa PLTS atap harus mempunyai biaya tambahan. Namun, biaya tambahan ini yang tidak diatur sebagai regulasi kelistrikan oleh perusahaan setrum negara tersebut.
Pelanggan PLN di Maluku dan Maluku Utara saat ini tercatat 758.000 dan tidak mungkin PLN menanggung biaya pemasangan PLTS atap, sebab untuk melistriki semua wilayah, termasuk daerah terpencil, sangat besar biayanya.
Meski demikian, BUMN tersebut senang bila ada tambahan sumber daya baru berupa PLTS atap karena berarti biaya operasional PLN berkurang, apalagi biaya pokok produksi sudah di atas Rp4.000 per KWh, sementara harga jual rata-rata di daerah ini hanya Rp1.200.
Gedung pemerintah
Untuk Maluku, program PLTS atap sudah mulai diperkenalkan sejak tahun 2020 melalui Dirjen EBTKE Kementerian ESDM. Pada tahun itu telah terpasang PLTS atap dengan total daya sebesar 190 kWp (kiloWatt peak) pada enam gedung milik pemerintah daerah.
Kemudian pada 2022 juga telah terpasang di dua unit gedung pemerintah dengan total daya 50 kWp.
Selain yang dibangun Kementerian ESDM, program NZ-Mates juga sudah membangun satu unit laboratorium PLTS atap di Fakultas Teknik Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon.
PLTS atap tersebut sangat membantu karena tagihan bulanan listrik PLN menurun hingga 40 persen sesuai hasil evaluasi Dinas ESDM Maluku.
"Dengan memasang PLTS atap maka kita juga berkontribusi dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi modern, yakni sumber daya energi terbarukan yang tidak pernah akan habis," ujar Pelakaana Harian Kadis ESDM Maluku Said Latupono
Sumber daya energi fosil atau konvensional berupa minyak Bumi Indonesia diperkirakan akan habis antara 10 hingga 15 tahun mendatang sehingga perlu beralih ke energi baru. Ini merupakan langkah strategis untuk ketahanan energi saat ini dan mendatang.
Apalagi pemanfaatan PLTS atap ini juga mampu mengurangi emisi karbon. Oleh karena itu Pemprov Maluku menyambut positif sosialisasi PLTS atap sebagai sumber energi.
Langkah tersebut sesuai dengan program pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan yaitu gerakan sejuta PLTS atap untuk gedung pemerintah, sosial, rumah tangga, serta industri.
Isu lingkungan terutama krisis energi berbahan fosil hingga pemanasan global makin menguat di berbagai belahan Bumi karena dampaknya kian nyata dirasakan manusia di planet ini.
BBM dan batu bara sejauh ini masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di dunia meski disadari penggunaan sumber energi tersebut tidak ramah lingkungan.
Guna mendorong capaian EBT, pemerintah telah menyiapkan beberapa strategi pemanfaatannya secara masif, salah satunya berupa pengaturan dan insentif yang menarik bagi masyarakat yang memasang PLTS atap.
Penurunan EGRK
Manajer Program NZ-Mates Maluku Safitri Yanti Baharudin menyebut Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 32 persen hingga 41 persen pada 2030.
Kesungguhan dan keseriusan pemerintah dalam mempercepat pemanfaatan EBT ditempuh melalui transisi energi yang berkeadilan untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau bahkan lebih cepat dari yang ditargetkan.
Baca juga: Artikel - Mengenal PLTS Pulau Messah jadi contoh transisi energi di G20
Salah satu upayanya adalah pemanfaatan PLTS atap secara masif, baik pada sektor rumah tangga, pariwisata, kesehatan, industri, maupun bangunan komersial dan sosial.
Baca juga: Guru Besar ITS berharap pemerintah turunkan biaya modal PLTS atap
Pemerintah dalam melaksanakan transisi energi memerlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan termasuk instansi pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, asosiasi, serta masyarakat.
Pada akhirnya, meskipun PLTS atap terbilang mahal, ke depan tetap menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan di kala sumber energi fosil kian langka.
Editor: Achmad Zaenal M
Bahkan sudah ada perusahaan pengembang yang berani menawarkan promo rumah elite dengan dilengkapi PLTS atap.
Di satu sisi, PLTS atap merupakan salah satu sumber energi baru terbarukan (EBT) yang sekarang gencar dikembangkan Pemerintah guna mengantisipasi makin menipisnya sumber-sumber energi berbahan bakar fosil.
Selain itu, PLTS atap juga ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan gas buang seperti pembangkit listrik BBM.
Namun di sisi lain, biaya pemasangan PLTS atap masih tergolong mahal untuk strata masyarakat tertentu bila sasarannya untuk kategori rumah tangga.
"PLN sangat mendukung program PLTS Atap, tetapi untuk kondisi saat ini penggunaannya masih sebatas gedung kantor pemerintah karena berbagai alasan," ujar Senior Manajer Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Unit Induk Wilayah Maluku-Maluku Utara Maman Sulaeman saat sosialisasi PLTA atap.
Keterbatasan itu, misalnya,teknologi PLTS yang belum terlalu mumpuni karena baterai untuk menyimpan energi sangat mahal dan paling tahan lama hanya dua tahun.
Kemudian, bila biaya sambung PLN hanya Rp1,3, juta, sementara untuk PLTS berada di kisaran Rp20 juta hingga Rp30 juta.
Di Maluku saat ini terdapat 27 lokasi sistem PLTS yang gabung dengan PLTD dan bisa menghemat biaya BBM sebanyak 3.682.000 liter per tahun dan hemat biaya pemeliharaan Rp5 miliar per tahun.
Bila pelanggan dari berbagai kalangan yang berkeinginan menambah pasokan baru sumber energi listrik dari PLTS atap maka mereka harus menanggung sendiri. PLN tidak menanggung biaya pemasangannya karena memang sifatnya mandiri.
Pada saat pelanggan ingin menambah sumber pasokan untuk mendapatkan energi baru terbarukan berupa PLTS atap harus mempunyai biaya tambahan. Namun, biaya tambahan ini yang tidak diatur sebagai regulasi kelistrikan oleh perusahaan setrum negara tersebut.
Pelanggan PLN di Maluku dan Maluku Utara saat ini tercatat 758.000 dan tidak mungkin PLN menanggung biaya pemasangan PLTS atap, sebab untuk melistriki semua wilayah, termasuk daerah terpencil, sangat besar biayanya.
Meski demikian, BUMN tersebut senang bila ada tambahan sumber daya baru berupa PLTS atap karena berarti biaya operasional PLN berkurang, apalagi biaya pokok produksi sudah di atas Rp4.000 per KWh, sementara harga jual rata-rata di daerah ini hanya Rp1.200.
Gedung pemerintah
Untuk Maluku, program PLTS atap sudah mulai diperkenalkan sejak tahun 2020 melalui Dirjen EBTKE Kementerian ESDM. Pada tahun itu telah terpasang PLTS atap dengan total daya sebesar 190 kWp (kiloWatt peak) pada enam gedung milik pemerintah daerah.
Kemudian pada 2022 juga telah terpasang di dua unit gedung pemerintah dengan total daya 50 kWp.
Selain yang dibangun Kementerian ESDM, program NZ-Mates juga sudah membangun satu unit laboratorium PLTS atap di Fakultas Teknik Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon.
PLTS atap tersebut sangat membantu karena tagihan bulanan listrik PLN menurun hingga 40 persen sesuai hasil evaluasi Dinas ESDM Maluku.
"Dengan memasang PLTS atap maka kita juga berkontribusi dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi modern, yakni sumber daya energi terbarukan yang tidak pernah akan habis," ujar Pelakaana Harian Kadis ESDM Maluku Said Latupono
Sumber daya energi fosil atau konvensional berupa minyak Bumi Indonesia diperkirakan akan habis antara 10 hingga 15 tahun mendatang sehingga perlu beralih ke energi baru. Ini merupakan langkah strategis untuk ketahanan energi saat ini dan mendatang.
Apalagi pemanfaatan PLTS atap ini juga mampu mengurangi emisi karbon. Oleh karena itu Pemprov Maluku menyambut positif sosialisasi PLTS atap sebagai sumber energi.
Langkah tersebut sesuai dengan program pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan yaitu gerakan sejuta PLTS atap untuk gedung pemerintah, sosial, rumah tangga, serta industri.
Isu lingkungan terutama krisis energi berbahan fosil hingga pemanasan global makin menguat di berbagai belahan Bumi karena dampaknya kian nyata dirasakan manusia di planet ini.
BBM dan batu bara sejauh ini masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di dunia meski disadari penggunaan sumber energi tersebut tidak ramah lingkungan.
Guna mendorong capaian EBT, pemerintah telah menyiapkan beberapa strategi pemanfaatannya secara masif, salah satunya berupa pengaturan dan insentif yang menarik bagi masyarakat yang memasang PLTS atap.
Penurunan EGRK
Manajer Program NZ-Mates Maluku Safitri Yanti Baharudin menyebut Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 32 persen hingga 41 persen pada 2030.
Kesungguhan dan keseriusan pemerintah dalam mempercepat pemanfaatan EBT ditempuh melalui transisi energi yang berkeadilan untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau bahkan lebih cepat dari yang ditargetkan.
Baca juga: Artikel - Mengenal PLTS Pulau Messah jadi contoh transisi energi di G20
Salah satu upayanya adalah pemanfaatan PLTS atap secara masif, baik pada sektor rumah tangga, pariwisata, kesehatan, industri, maupun bangunan komersial dan sosial.
Baca juga: Guru Besar ITS berharap pemerintah turunkan biaya modal PLTS atap
Pemerintah dalam melaksanakan transisi energi memerlukan dukungan berbagai pemangku kepentingan termasuk instansi pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, asosiasi, serta masyarakat.
Pada akhirnya, meskipun PLTS atap terbilang mahal, ke depan tetap menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan di kala sumber energi fosil kian langka.
Editor: Achmad Zaenal M