Jakarta (ANTARA) - Entah berkah atau bukan, perang Ukraina melawan Rusia, justru menguatkan lagi relevansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan realitas hubungan internasional saat ini.
Tentu saja ini pandangan negara-negara Barat yang menjadi anggota NATO, bukan pandangan dunia. Namun, suka atau tidak suka, dunia harus mengakui bahwa fakta itu sudah menjadi realitas hubungan internasional saat ini.
Untuk pertama kali sejak digugat relevansinya dengan tatanan dunia setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet ambruk, NATO mendapatkan lagi pijakan untuk menyatakan diri tetap relevan dengan zaman.
Pijakan itu justru didapatkan, sebagian karena manuver yang agak gegabah dari salah satu negara yang menggugat relevansi NATO, yakni Rusia.
Invasi Rusia di Ukraina tepat menjawab hal yang amat ditakutkan Presiden Vladimir Putin, yakni kerja sama pertahanan yang kian erat antara negara-negara Barat, tulis Wall Street Journal dua hari menjelang KTT NATO digelar di Vilnius, Lithuania, pada 11 Juli 2023.
Bagaimana tidak, dulu saat Perang Dingin dan ekspansi pengaruh Uni Soviet mengharu biru dan Eropa selama puluhan tahun, negara-negara netral, seperti Swedia dan Finlandia, tak pernah terusik untuk ganti sikap.
Namun, justru akibat perang Ukraina-Rusia yang "baru" memasuki tahun kedua, Swedia dan Finlandia rela merobohkan benteng netralitas yang sudah mereka jaga bertahun-tahun.
Finlandia sudah diterima menjadi anggota ke-30 pakta pertahanan itu, sementara Swedia masih tergantung sikap Turki dan Hungaria.
Namun, beberapa saat sebelum KTT NATO di Vilnius mulai, Turki memberikan lampu hijau kepada Swedia untuk menjadi anggota NATO. Tak ada yang mengira begitu cepatnya NATO memperluas jangkauannya.
Bentuk awal NATO adalah perjanjian pertahanan antara Inggris dan Prancis pada 1947, yang setahun kemudian melibatkan negara-negara Benelux (Belgia, Belanda dan Luksemburg), dengan tujuan mencegah invasi Uni Soviet.
Setahun kemudian, Amerika Serikat bergabung, terutama setelah Presiden Harry Truman menyampaikan "Doktrin Truman" yang merupakan upaya Amerika Serikat dalam membendung komunisme internasional pimpinan Uni Soviet.
Pada 4 April 1949, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan tiga negara Benelux, ditambah Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, dan Islandia, memproklamasikan berdirinya NATO.
Enam tahun kemudian, Uni Soviet membentuk aliansi pertahanan tandingan bernama Pakta Warsawa pada 14 Mei 1955.
Segera setelah itu, dunia diselimuti perang terselubung yang tak menciptakan konfrontasi militer terbuka yang disebut kolumnis Walter Lippmann sebagai "Perang Dingin".
Berubah drastis
Selama separuh abad, dunia dihinggapi Perang Dingin. Negara-negara diharuskan memilih antara Blok Barat dan Blok Timur, sampai pada 1962 sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, membangun kekuatan alternatif, bernama Gerakan Non Blok.
Pada akhir 1990-an, peta geopolitik global berubah drastis, setelah Blok Timur ambruk pada Juli 1991, yang diawali oleh munculnya gerakan Solidaritas di Polandia dan runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989.
Empat bulan setelah Pakta Warsawa bubar, Uni Soviet bubar pada 26 Desember 1991. Seluruh dari 15 republik dalam Uni Soviet pun memerdekakan diri guna membentuk 15 negara merdeka, termasuk Ukraina.
Dua puluh tahun setelah itu, 13 negara eks Blok Timur, termasuk tiga negara pecahan Soviet (Estonia, Latvia dan Lithuania), bergabung dalam NATO.
Rusia yang dianggap "pewaris Uni Soviet" tak menerima kenyataan ini. Perasaan dikepung NATO membuncah, terutama sejak Vladimir Putin menjadi Presiden Rusia.
Putin merasa NATO telah mengkhianati komitmennya untuk tidak memperluas keanggotaan NATO ke timur Eropa.
Tiga tahun setelah tiga negara Baltik pecahan Soviet bergabung dalam NATO, pada Konferensi Keamanan Muenchen 2007, Putin pun terang-terangan menuding Barat telah ingkar janji. Sebaliknya, AS dan sekutu-sekutunya merasa tidak melanggar apa-apa.
Mereka berkilah, apa yang dijanjikan James Baker (saat itu menteri luar negeri AS) pada 9 Februari 1990 kepada pemimpin Soviet terakhir Mikhail Gorbachev, adalah hanya berkaitan dengan Jerman Timur yang waktu itu di ambang menyatu lagi dengan Jerman Barat.
Menurut Amelie Zima, doktor ilmu politik pada Thucydide Centre di Paris, ketika Baker menjanjikan hal itu, Uni Soviet dan Pakta Warsawa masih berdiri. Pakta Warsawa bubar pada Juli 1991.
"Kita tak dapat menyatakan ada pengkhianatan karena rangkaian peristiwa yang lalu menata ulang konfigurasi keamanan di Eropa belumlah terjadi," kata Zima seperti dikutip laman french24.
Dalam kata lain, saat Barat menjamin tak akan memperluas keanggotaan NATO ke timur, tidak ada orang yang mengira Soviet dan Pakta Warsawa bakal runtuh.
Oke, itu mungkin pembelaan Barat, dan Rusia berhak merasa dikepung Barat.
Tetapi, Barat juga berhak berpandangan bahwa adalah kepentingan nasional sebuah negara untuk bergabung dengan organisasi mana pun, termasuk NATO, walau NATO tak akan memberikan keanggotaan kepada negara yang sedang berkonflik wilayah dengan negara lain.
Pandangan ini yang membuat NATO menerima Finlandia dan Swedia yang melihat pakta pertahanan ini bisa memberikan payung keamanan yang bisa menangkal agresi dari negara lain.
Payung keamanan
"Sejak NATO didirikan sampai sekarang, para pemimpin Rusia, mulai dari Josef Stalin sampai Putin, tak pernah menyerang anggota NATO. Demikian pula NATO tak akan pernah menyerang Rusia," kata Michael McFaul, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, seperti dikutip Washington Post.
McFaul ada benarnya karena Rusia tidak menyerang Estonia dan Latvia yang seperti Ukraina berbatasan dengan Rusia.
Ini karena Estonia dan Latvia adalah anggota NATO yang terikat doktrin bahwa "serangan terhadap satu anggota sama dengan menyerang seluruh anggota NATO."
Padahal dari skala apa pun, kedua negara Baltik itu jauh lebih kecil dan lebih lemah dibandingkan dengan Ukraina, sehingga akan sangat mudah bagi Rusia untuk menduduki kedua negara ini.
Finlandia dan Swedia menangkap logika ini. Mereka membutuhkan payung keamanan seperti didapatkan Latvia dan Estonia yang jauh lebih kecil dan lebih lemah dari mereka.
Ini ditambah riwayat konflik yang lumayan panjang antara mereka dengan Rusia, yang terjadi pada masa imperium Rusia dan Uni Soviet. Finlandia, bahkan menjadi negara Eropa yang memiliki perbatasan darat paling panjang dengan Rusia.
Akibat langkah Finlandia dan Swedia ini, kekhawatiran Rusia bahwa Barat mengepung rapat mereka, justru mewujud lebih cepat dan lebih luas dari perkiraan.
Sulit untuk tak menyebut invasi ke Ukraina sebagai upaya Rusia menggertak negara-negara yang berusaha menjauhi Rusia, tetapi manuver ini juga menjadi bumerang karena sejumlah negara Eropa malah semakin ingin bergabung dengan NATO.
Baca juga: Artikel - 500 hari perang Ukraina-Rusia
Mungkin benar Barat telah licik kepada Rusia dalam kerangka perang Ukraina, tapi sangat disayangkan Rusia masuk perangkap Barat, sehingga NATO kini memiliki alasan untuk menyatakan diri masih relevan dan sah memperluas keanggotaan. Bahkan keyakinan NATO itu meluas ke lintas benua, terutama Asia Pasifik.
Buktinya bisa dilihat dari undangan NATO kepada Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, guna menghadiri KTT di Vilnius.
Menurut jejaring media EURACTIV, kehadiran empat negara Asia Pasifik itu dalam KTT NATO di Vilnius adalah bagian dari upaya organisasi pertahanan lintas Atlantik itu dalam menoleh ke Timur Jauh, guna menjawab apa yang mereka sebut dengan tantangan dan ancaman China.
Baca juga: Telaah - Memandang kerusuhan Sumgayit 1988
NATO dan keempat negara Asia Pasifik itu juga tengah menggodok sebuah rancangan program kemitraan pertahanan yang membuat mereka bisa meningkatkan level kerja sama di antara mereka.
Ini perkembangan yang tak begitu bagus bagi dunia, karena bisa memicu perlombaan senjata dan konfrontasi militer terbuka yang mengancam perdamaian global.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Invasi Rusia di Ukraina membuat NATO merasa kian relevan?
Tentu saja ini pandangan negara-negara Barat yang menjadi anggota NATO, bukan pandangan dunia. Namun, suka atau tidak suka, dunia harus mengakui bahwa fakta itu sudah menjadi realitas hubungan internasional saat ini.
Untuk pertama kali sejak digugat relevansinya dengan tatanan dunia setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet ambruk, NATO mendapatkan lagi pijakan untuk menyatakan diri tetap relevan dengan zaman.
Pijakan itu justru didapatkan, sebagian karena manuver yang agak gegabah dari salah satu negara yang menggugat relevansi NATO, yakni Rusia.
Invasi Rusia di Ukraina tepat menjawab hal yang amat ditakutkan Presiden Vladimir Putin, yakni kerja sama pertahanan yang kian erat antara negara-negara Barat, tulis Wall Street Journal dua hari menjelang KTT NATO digelar di Vilnius, Lithuania, pada 11 Juli 2023.
Bagaimana tidak, dulu saat Perang Dingin dan ekspansi pengaruh Uni Soviet mengharu biru dan Eropa selama puluhan tahun, negara-negara netral, seperti Swedia dan Finlandia, tak pernah terusik untuk ganti sikap.
Namun, justru akibat perang Ukraina-Rusia yang "baru" memasuki tahun kedua, Swedia dan Finlandia rela merobohkan benteng netralitas yang sudah mereka jaga bertahun-tahun.
Finlandia sudah diterima menjadi anggota ke-30 pakta pertahanan itu, sementara Swedia masih tergantung sikap Turki dan Hungaria.
Namun, beberapa saat sebelum KTT NATO di Vilnius mulai, Turki memberikan lampu hijau kepada Swedia untuk menjadi anggota NATO. Tak ada yang mengira begitu cepatnya NATO memperluas jangkauannya.
Bentuk awal NATO adalah perjanjian pertahanan antara Inggris dan Prancis pada 1947, yang setahun kemudian melibatkan negara-negara Benelux (Belgia, Belanda dan Luksemburg), dengan tujuan mencegah invasi Uni Soviet.
Setahun kemudian, Amerika Serikat bergabung, terutama setelah Presiden Harry Truman menyampaikan "Doktrin Truman" yang merupakan upaya Amerika Serikat dalam membendung komunisme internasional pimpinan Uni Soviet.
Pada 4 April 1949, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan tiga negara Benelux, ditambah Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, dan Islandia, memproklamasikan berdirinya NATO.
Enam tahun kemudian, Uni Soviet membentuk aliansi pertahanan tandingan bernama Pakta Warsawa pada 14 Mei 1955.
Segera setelah itu, dunia diselimuti perang terselubung yang tak menciptakan konfrontasi militer terbuka yang disebut kolumnis Walter Lippmann sebagai "Perang Dingin".
Berubah drastis
Selama separuh abad, dunia dihinggapi Perang Dingin. Negara-negara diharuskan memilih antara Blok Barat dan Blok Timur, sampai pada 1962 sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, membangun kekuatan alternatif, bernama Gerakan Non Blok.
Pada akhir 1990-an, peta geopolitik global berubah drastis, setelah Blok Timur ambruk pada Juli 1991, yang diawali oleh munculnya gerakan Solidaritas di Polandia dan runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989.
Empat bulan setelah Pakta Warsawa bubar, Uni Soviet bubar pada 26 Desember 1991. Seluruh dari 15 republik dalam Uni Soviet pun memerdekakan diri guna membentuk 15 negara merdeka, termasuk Ukraina.
Dua puluh tahun setelah itu, 13 negara eks Blok Timur, termasuk tiga negara pecahan Soviet (Estonia, Latvia dan Lithuania), bergabung dalam NATO.
Rusia yang dianggap "pewaris Uni Soviet" tak menerima kenyataan ini. Perasaan dikepung NATO membuncah, terutama sejak Vladimir Putin menjadi Presiden Rusia.
Putin merasa NATO telah mengkhianati komitmennya untuk tidak memperluas keanggotaan NATO ke timur Eropa.
Tiga tahun setelah tiga negara Baltik pecahan Soviet bergabung dalam NATO, pada Konferensi Keamanan Muenchen 2007, Putin pun terang-terangan menuding Barat telah ingkar janji. Sebaliknya, AS dan sekutu-sekutunya merasa tidak melanggar apa-apa.
Mereka berkilah, apa yang dijanjikan James Baker (saat itu menteri luar negeri AS) pada 9 Februari 1990 kepada pemimpin Soviet terakhir Mikhail Gorbachev, adalah hanya berkaitan dengan Jerman Timur yang waktu itu di ambang menyatu lagi dengan Jerman Barat.
Menurut Amelie Zima, doktor ilmu politik pada Thucydide Centre di Paris, ketika Baker menjanjikan hal itu, Uni Soviet dan Pakta Warsawa masih berdiri. Pakta Warsawa bubar pada Juli 1991.
"Kita tak dapat menyatakan ada pengkhianatan karena rangkaian peristiwa yang lalu menata ulang konfigurasi keamanan di Eropa belumlah terjadi," kata Zima seperti dikutip laman french24.
Dalam kata lain, saat Barat menjamin tak akan memperluas keanggotaan NATO ke timur, tidak ada orang yang mengira Soviet dan Pakta Warsawa bakal runtuh.
Oke, itu mungkin pembelaan Barat, dan Rusia berhak merasa dikepung Barat.
Tetapi, Barat juga berhak berpandangan bahwa adalah kepentingan nasional sebuah negara untuk bergabung dengan organisasi mana pun, termasuk NATO, walau NATO tak akan memberikan keanggotaan kepada negara yang sedang berkonflik wilayah dengan negara lain.
Pandangan ini yang membuat NATO menerima Finlandia dan Swedia yang melihat pakta pertahanan ini bisa memberikan payung keamanan yang bisa menangkal agresi dari negara lain.
Payung keamanan
"Sejak NATO didirikan sampai sekarang, para pemimpin Rusia, mulai dari Josef Stalin sampai Putin, tak pernah menyerang anggota NATO. Demikian pula NATO tak akan pernah menyerang Rusia," kata Michael McFaul, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, seperti dikutip Washington Post.
McFaul ada benarnya karena Rusia tidak menyerang Estonia dan Latvia yang seperti Ukraina berbatasan dengan Rusia.
Ini karena Estonia dan Latvia adalah anggota NATO yang terikat doktrin bahwa "serangan terhadap satu anggota sama dengan menyerang seluruh anggota NATO."
Padahal dari skala apa pun, kedua negara Baltik itu jauh lebih kecil dan lebih lemah dibandingkan dengan Ukraina, sehingga akan sangat mudah bagi Rusia untuk menduduki kedua negara ini.
Finlandia dan Swedia menangkap logika ini. Mereka membutuhkan payung keamanan seperti didapatkan Latvia dan Estonia yang jauh lebih kecil dan lebih lemah dari mereka.
Ini ditambah riwayat konflik yang lumayan panjang antara mereka dengan Rusia, yang terjadi pada masa imperium Rusia dan Uni Soviet. Finlandia, bahkan menjadi negara Eropa yang memiliki perbatasan darat paling panjang dengan Rusia.
Akibat langkah Finlandia dan Swedia ini, kekhawatiran Rusia bahwa Barat mengepung rapat mereka, justru mewujud lebih cepat dan lebih luas dari perkiraan.
Sulit untuk tak menyebut invasi ke Ukraina sebagai upaya Rusia menggertak negara-negara yang berusaha menjauhi Rusia, tetapi manuver ini juga menjadi bumerang karena sejumlah negara Eropa malah semakin ingin bergabung dengan NATO.
Baca juga: Artikel - 500 hari perang Ukraina-Rusia
Mungkin benar Barat telah licik kepada Rusia dalam kerangka perang Ukraina, tapi sangat disayangkan Rusia masuk perangkap Barat, sehingga NATO kini memiliki alasan untuk menyatakan diri masih relevan dan sah memperluas keanggotaan. Bahkan keyakinan NATO itu meluas ke lintas benua, terutama Asia Pasifik.
Buktinya bisa dilihat dari undangan NATO kepada Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, guna menghadiri KTT di Vilnius.
Menurut jejaring media EURACTIV, kehadiran empat negara Asia Pasifik itu dalam KTT NATO di Vilnius adalah bagian dari upaya organisasi pertahanan lintas Atlantik itu dalam menoleh ke Timur Jauh, guna menjawab apa yang mereka sebut dengan tantangan dan ancaman China.
Baca juga: Telaah - Memandang kerusuhan Sumgayit 1988
NATO dan keempat negara Asia Pasifik itu juga tengah menggodok sebuah rancangan program kemitraan pertahanan yang membuat mereka bisa meningkatkan level kerja sama di antara mereka.
Ini perkembangan yang tak begitu bagus bagi dunia, karena bisa memicu perlombaan senjata dan konfrontasi militer terbuka yang mengancam perdamaian global.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Invasi Rusia di Ukraina membuat NATO merasa kian relevan?