Manggarai Barat, NTT (ANTARA) - Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah berakhir pada Mei 2023. Kota yang setiap sudutnya indah dan terdiri dari pulau-pulauaini kini punya harapan baru karena dilirik oleh para investor kelas dunia.
Di balik suksesnya negara menyelenggarakan KTT ASEAN 2023, Labuan Bajo tidak lupa berjuang untuk menekan angka stunting. Berdasarkan data dari Studi Survei Gizi Indonesia (SSGI), di tahun 2021, NTT dinobatkan sebagai provinsi dengan penyumbang angka stunting tertinggi di Indonesia, yakni 37,8 persen.
Di sudut-sudut wilayah Nggorang, di balik lampu-lampu tenaga surya dan mobil-mobil listrik canggih yang sudah berseliweran di Labuan Bajo, masih ada keluarga yang percaya mitos bahwa kopi bisa menguatkan jantung, bahkan menyeduhnya untuk dicampur dengan nasi dan disuapkan pada anak-anak untuk sarapan pagi.
Adalah sosok Caecilia Tyas Wurina, atau yang dikenal oleh masyarakat Labuan Bajo sebagai Bidan Rina, yang berdedikasi tinggi untuk menekan stunting dan mengurai permasalahan tingginya angka stunting di Labuan Bajo. Datang dari rumah ke rumah, dengan sabar dan konsisten dan sepenuh hati mendengar, mengedukasi, dan menepis anggapan masyarakat bahwa kopi bukanlah solusi untuk membuat jantung anak menjadi lebih kuat.
“Ada kepercayaan dari nenek moyang kalau kopi itu bikin kuat jantung, pernah dicocol air susu ibu (ASI) dengan kopi, itu di bawah enam bulan, sudah turun-menurun percaya kalau kopi itu bikin kuat jantung. Itu yang harus kita kikis pelan-pelan,” kata Rina.
Merasa bahwa Labuan Bajo adalah rumah, dan seluruh masyarakatnya adalah keluarga, Rina menguatkan hatinya untuk terus berjuang demi mengentaskan anak-anak dari stunting.
Melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), ia berupaya untuk menggandeng dan menguatkan kader-kader yang ada di setiap wilayah Labuan Bajo, bahkan juga pulau-pulau lain di sekitarnya untuk pelan-pelan mengubah pola hidup, dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
“Selalu kami kasih contoh, pernah tidak kalau dari posyandu atau saat terima PMT itu dapat kopi? Mereka jawab tidak pernah. Lalu kami jelaskan, berarti itu tidak ada di buku pink (buku panduan balita saat ke posyandu), tidak pernah diajarkan, berarti itu bukan makanan yang bagus untuk bayi,” lanjutnya.
Sebagai ahli gizi desa yang menjadi tumpuan masyarakat untuk berkeluh kesah tentang masalah kesehatan di tingkat rumah tangga, Rina merasa memiliki tanggung jawab besar untuk terus mendampingi para orang tua agar memberikan nutrisi yang benar untuk anak-anaknya.
Seluruh kerja keras yang ia lakukan tak sia-sia, karena berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, UPTD Puskesmas Labuan Bajo, untuk wilayah Labuan Bajo sendiri angka stunting per Februari 2023 sudah di angka tujuh persen.
Sekarang masyarakat sudah mau makan dengan sayur kelor, karena sudah petugas selalu menjelaskan kalau di rumah ada tanaman kelor harus dimanfaatkan. Rina, pelan-pelan menyosialisasikan juga, kalau misalnya sehari si bapak membeli rokok Rp18.000, bisa dikurangi menjadi Rp15.000 saja, sedangkan yang Rp3.000 sisakan untuk membeli satu telur. Rina bersyukur karena sudah banyak keluarga yang mau seperti itu.
Meskipun demikian, Rina merasa perjuangannya tidak cukup sampai di situ. Masih ada pulau-pulau yang menjadi wilayah tanggung jawab Puskesmas Labuan Bajo dengan angka stunting yang masih tinggi. Papagarang, misalnya, dengan prevalensi ketengkesan yang masih tinggi, yakni 39,6 persen.
Rina bukan sekadar bidan desa biasa. Sebagai seorang petugas gizi atau nutrisionis sejak tahun 2009 dengan gelar sarjana dari Universitas Respati, Yogyakarta, ia menganalisis data penyebab stunting, dan membuat rencana aksi bersama Puskesmas Labuan Bajo.
Kepemilikan jamban menyumbang persentase 80 persen, karena rata-rata di pulau itu belum memiliki jamban sehat. Faktor lain yang paling berpengaruh adalah keluarga balita yang merokok di dalam rumah sebesar 82 persen, sehingga balita di pulau banyak yang suspek menderita tuberkulosis (TB), karena di pulau-pulau tersebut, ibu hamil dan ibu menyusui rata-rata juga merokok.
Setelah mendapatkan data stunting, Puskesmas Labuan Bajo membuat Rencana Tindak Lanjut dengan tim yang sudah mendapatkan surat keputusan (SK) dari kepala puskesmas, kemudian mereka yang akan bergerak dari pintu ke pintu untuk mencari faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab masalah stunting, dengan acuan elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dari Kementerian Kesehatan.
Rina menemukan bahwa faktor dominan yang paling banyak mempengaruhi stunting di Labuan Bajo adalah riwayat ASI eksklusif, cacingan, kurang gizi saat hamil, dan riwayat keluarga atau tetangga yang terkena TB.
Selain itu, prioritas alokasi keuangan juga masih menjadi faktor penentu, karena kebiasaan merokok dan kopi dari orang tua, sehingga uang yang seharusnya bisa untuk dibelikan bahan makanan sehat, menjadi berkurang untuk membeli kopi dan rokok.
Paham bahwa tangan kecilnya tak akan sanggup menanggung beban ini sendiri, Rina pun banyak berkolaborasi, baik dengan pemerintah, swasta, hingga lembaga nirlaba Yayasan Seribu Cita Bangsa atau 1000 Days Fund.
Puskesmas Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Dukungan pemda
Dalam bertugas untuk masyarakat, Rina merasa sangat terbantu dengan dukungan dari Kepala Puskesmas Labuan Bajo Vinsensius Paul dan juga Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Peran Vinsen cukup berpengaruh dalam peningkatan kapasitas bidan dan kader, sesuai dengan motto hidup yang selalu ditekankan kepada staf puskesmas, yakni bekerja terlebih dahulu, maka uang pasti akan mengikuti.
Kalau masalah gizi, Vinsen selalu menekankan kepada stafnya untuk terus lenting, artinya bergerak dinamis, dan terus berusaha keras agar angka stunting di Labuan Bajo turun.
Terkait dengan fasilitas kesehatan dan penunjang pola asuh, balita yang mempunyai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa BPJS juga sudah bisa mendapat perawatan, yang alokasi dananya dari Pemkab Manggarai Barat.
Apabila ada warga yang belum menikah, kini juga tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan kartu keluarga (KK) tunggal, sehingga bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak, baik melalui puskesmas maupun rumah sakit.
Saat ini, apabila ada keluarga yang memiliki tunggakan, juga sudah ditanggung melalui BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sekarang Rina dan teman-teman sudah bisa dengan mudah, kalau ada tunggakan langsung diambil alih ke PBI, tidak perlu ke intansi, karena sudah cukup mudah pelayanannya.
Kolaborasi
Rina mengaku pertama kali bertemu dengan Founder 1000 Days Fund Zack Petersen pada tahun 2018. Saat itu, ia merasa bahwa misi yang dibawa yayasan ini sama dengan misi pemerintah untuk menekan angka stunting sejak 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Dulu dia masih mengalami masa transisi dari tugas belajar, diberi poster untuk alat ukur. Dia menyampaikan bahwa itu bukan alat ukur yang benar, tetapi ternyata itu hanya media untuk edukasi. Seperti itulah prosesnya, sama-sama saling belajar.
Misi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan kader kesehatan adalah cara yang tepat untuk mengatasi stunting, mengingat masyarakat Labuan Bajo lebih percaya dengan apa yang disampaikan oleh kader kesehatan karena merasa bahwa mereka adalah keluarga sendiri.
Sejak 2018 hingga 2023, ia datang mengetuk pintu-pintu rumah warga, dengan sabar memberi penjelasan pada ibu hamil dan orang tua yang memiliki anak usia di bawah dua tahun (baduta) melalui poster pintar, dengan penjelasan pada gambar-gambar yang mengingatkan para ibu hamil untuk minum tablet tambah darah, rajin mencuci tangan, hingga makan makanan bergizi yang tinggi protein.
Sadar bahwa pemerintah tak bisa bergerak sendiri karena keterbatasan biaya, ia pun merasa terbantu dengan hadirnya yayasan ini, yang bisa memberi penguatan pada garda terdepan pelayanan kesehatan primer, mulai dari posyandu, puskesmas pembantu (pustu), hingga puskesmas pusat.
Rina menyadari masih terkendala masalah transportasi, misalnya kapal. Dengan adanya yayasan ini, tim langsung ke pulau, dari pintu ke pintu mereka membantu warga.
Baca juga: Hiburan - Tidak perlu menolak tua, Anda bisa bahagia di segala usia
Ahli gizi yang berjuang di desa, seperti Rina, mengajarkan satu hal penting ketika bekerja untuk masyarakat, yakni ketulusan dan kegigihan serta siap untuk terus mencoba lagi, meskipun dinamika masyarakat terus berubah setiap hari.
Baca juga: Karkhas - Kisah orang-orang yang melawan keinginan untuk tidur
Dalam bekerja, Rina tidak pernah mengharapkan apa-apa, selain masyarakat Labuan Bajo menjadi lebih sehat, dan bisa meningkat kualitas hidupnya, karena dengan begitu berarti masyarakat bisa memiliki banyak kesempatan untuk bersaing dengan dunia luar.
Puskesmas dan posyandu sebagai layanan kesehatan primer perlu mempertimbangkan untuk investasi pada bidan-bidan desa maupun kader yang memiliki semangat dan tekad yang kuat seperti Rina, karena investasi pada sumber daya manusia berarti investasi juga pada masa depan generasi bangsa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dedikasi Rina tekan stunting, tak ada lagi yang makan dengan lauk kopi
Di balik suksesnya negara menyelenggarakan KTT ASEAN 2023, Labuan Bajo tidak lupa berjuang untuk menekan angka stunting. Berdasarkan data dari Studi Survei Gizi Indonesia (SSGI), di tahun 2021, NTT dinobatkan sebagai provinsi dengan penyumbang angka stunting tertinggi di Indonesia, yakni 37,8 persen.
Di sudut-sudut wilayah Nggorang, di balik lampu-lampu tenaga surya dan mobil-mobil listrik canggih yang sudah berseliweran di Labuan Bajo, masih ada keluarga yang percaya mitos bahwa kopi bisa menguatkan jantung, bahkan menyeduhnya untuk dicampur dengan nasi dan disuapkan pada anak-anak untuk sarapan pagi.
Adalah sosok Caecilia Tyas Wurina, atau yang dikenal oleh masyarakat Labuan Bajo sebagai Bidan Rina, yang berdedikasi tinggi untuk menekan stunting dan mengurai permasalahan tingginya angka stunting di Labuan Bajo. Datang dari rumah ke rumah, dengan sabar dan konsisten dan sepenuh hati mendengar, mengedukasi, dan menepis anggapan masyarakat bahwa kopi bukanlah solusi untuk membuat jantung anak menjadi lebih kuat.
“Ada kepercayaan dari nenek moyang kalau kopi itu bikin kuat jantung, pernah dicocol air susu ibu (ASI) dengan kopi, itu di bawah enam bulan, sudah turun-menurun percaya kalau kopi itu bikin kuat jantung. Itu yang harus kita kikis pelan-pelan,” kata Rina.
Merasa bahwa Labuan Bajo adalah rumah, dan seluruh masyarakatnya adalah keluarga, Rina menguatkan hatinya untuk terus berjuang demi mengentaskan anak-anak dari stunting.
Melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), ia berupaya untuk menggandeng dan menguatkan kader-kader yang ada di setiap wilayah Labuan Bajo, bahkan juga pulau-pulau lain di sekitarnya untuk pelan-pelan mengubah pola hidup, dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
“Selalu kami kasih contoh, pernah tidak kalau dari posyandu atau saat terima PMT itu dapat kopi? Mereka jawab tidak pernah. Lalu kami jelaskan, berarti itu tidak ada di buku pink (buku panduan balita saat ke posyandu), tidak pernah diajarkan, berarti itu bukan makanan yang bagus untuk bayi,” lanjutnya.
Sebagai ahli gizi desa yang menjadi tumpuan masyarakat untuk berkeluh kesah tentang masalah kesehatan di tingkat rumah tangga, Rina merasa memiliki tanggung jawab besar untuk terus mendampingi para orang tua agar memberikan nutrisi yang benar untuk anak-anaknya.
Seluruh kerja keras yang ia lakukan tak sia-sia, karena berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, UPTD Puskesmas Labuan Bajo, untuk wilayah Labuan Bajo sendiri angka stunting per Februari 2023 sudah di angka tujuh persen.
Sekarang masyarakat sudah mau makan dengan sayur kelor, karena sudah petugas selalu menjelaskan kalau di rumah ada tanaman kelor harus dimanfaatkan. Rina, pelan-pelan menyosialisasikan juga, kalau misalnya sehari si bapak membeli rokok Rp18.000, bisa dikurangi menjadi Rp15.000 saja, sedangkan yang Rp3.000 sisakan untuk membeli satu telur. Rina bersyukur karena sudah banyak keluarga yang mau seperti itu.
Meskipun demikian, Rina merasa perjuangannya tidak cukup sampai di situ. Masih ada pulau-pulau yang menjadi wilayah tanggung jawab Puskesmas Labuan Bajo dengan angka stunting yang masih tinggi. Papagarang, misalnya, dengan prevalensi ketengkesan yang masih tinggi, yakni 39,6 persen.
Rina bukan sekadar bidan desa biasa. Sebagai seorang petugas gizi atau nutrisionis sejak tahun 2009 dengan gelar sarjana dari Universitas Respati, Yogyakarta, ia menganalisis data penyebab stunting, dan membuat rencana aksi bersama Puskesmas Labuan Bajo.
Kepemilikan jamban menyumbang persentase 80 persen, karena rata-rata di pulau itu belum memiliki jamban sehat. Faktor lain yang paling berpengaruh adalah keluarga balita yang merokok di dalam rumah sebesar 82 persen, sehingga balita di pulau banyak yang suspek menderita tuberkulosis (TB), karena di pulau-pulau tersebut, ibu hamil dan ibu menyusui rata-rata juga merokok.
Setelah mendapatkan data stunting, Puskesmas Labuan Bajo membuat Rencana Tindak Lanjut dengan tim yang sudah mendapatkan surat keputusan (SK) dari kepala puskesmas, kemudian mereka yang akan bergerak dari pintu ke pintu untuk mencari faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab masalah stunting, dengan acuan elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dari Kementerian Kesehatan.
Rina menemukan bahwa faktor dominan yang paling banyak mempengaruhi stunting di Labuan Bajo adalah riwayat ASI eksklusif, cacingan, kurang gizi saat hamil, dan riwayat keluarga atau tetangga yang terkena TB.
Selain itu, prioritas alokasi keuangan juga masih menjadi faktor penentu, karena kebiasaan merokok dan kopi dari orang tua, sehingga uang yang seharusnya bisa untuk dibelikan bahan makanan sehat, menjadi berkurang untuk membeli kopi dan rokok.
Paham bahwa tangan kecilnya tak akan sanggup menanggung beban ini sendiri, Rina pun banyak berkolaborasi, baik dengan pemerintah, swasta, hingga lembaga nirlaba Yayasan Seribu Cita Bangsa atau 1000 Days Fund.
Dukungan pemda
Dalam bertugas untuk masyarakat, Rina merasa sangat terbantu dengan dukungan dari Kepala Puskesmas Labuan Bajo Vinsensius Paul dan juga Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Peran Vinsen cukup berpengaruh dalam peningkatan kapasitas bidan dan kader, sesuai dengan motto hidup yang selalu ditekankan kepada staf puskesmas, yakni bekerja terlebih dahulu, maka uang pasti akan mengikuti.
Kalau masalah gizi, Vinsen selalu menekankan kepada stafnya untuk terus lenting, artinya bergerak dinamis, dan terus berusaha keras agar angka stunting di Labuan Bajo turun.
Terkait dengan fasilitas kesehatan dan penunjang pola asuh, balita yang mempunyai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa BPJS juga sudah bisa mendapat perawatan, yang alokasi dananya dari Pemkab Manggarai Barat.
Apabila ada warga yang belum menikah, kini juga tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan kartu keluarga (KK) tunggal, sehingga bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak, baik melalui puskesmas maupun rumah sakit.
Saat ini, apabila ada keluarga yang memiliki tunggakan, juga sudah ditanggung melalui BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sekarang Rina dan teman-teman sudah bisa dengan mudah, kalau ada tunggakan langsung diambil alih ke PBI, tidak perlu ke intansi, karena sudah cukup mudah pelayanannya.
Kolaborasi
Rina mengaku pertama kali bertemu dengan Founder 1000 Days Fund Zack Petersen pada tahun 2018. Saat itu, ia merasa bahwa misi yang dibawa yayasan ini sama dengan misi pemerintah untuk menekan angka stunting sejak 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Dulu dia masih mengalami masa transisi dari tugas belajar, diberi poster untuk alat ukur. Dia menyampaikan bahwa itu bukan alat ukur yang benar, tetapi ternyata itu hanya media untuk edukasi. Seperti itulah prosesnya, sama-sama saling belajar.
Misi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan kader kesehatan adalah cara yang tepat untuk mengatasi stunting, mengingat masyarakat Labuan Bajo lebih percaya dengan apa yang disampaikan oleh kader kesehatan karena merasa bahwa mereka adalah keluarga sendiri.
Sejak 2018 hingga 2023, ia datang mengetuk pintu-pintu rumah warga, dengan sabar memberi penjelasan pada ibu hamil dan orang tua yang memiliki anak usia di bawah dua tahun (baduta) melalui poster pintar, dengan penjelasan pada gambar-gambar yang mengingatkan para ibu hamil untuk minum tablet tambah darah, rajin mencuci tangan, hingga makan makanan bergizi yang tinggi protein.
Sadar bahwa pemerintah tak bisa bergerak sendiri karena keterbatasan biaya, ia pun merasa terbantu dengan hadirnya yayasan ini, yang bisa memberi penguatan pada garda terdepan pelayanan kesehatan primer, mulai dari posyandu, puskesmas pembantu (pustu), hingga puskesmas pusat.
Rina menyadari masih terkendala masalah transportasi, misalnya kapal. Dengan adanya yayasan ini, tim langsung ke pulau, dari pintu ke pintu mereka membantu warga.
Baca juga: Hiburan - Tidak perlu menolak tua, Anda bisa bahagia di segala usia
Ahli gizi yang berjuang di desa, seperti Rina, mengajarkan satu hal penting ketika bekerja untuk masyarakat, yakni ketulusan dan kegigihan serta siap untuk terus mencoba lagi, meskipun dinamika masyarakat terus berubah setiap hari.
Baca juga: Karkhas - Kisah orang-orang yang melawan keinginan untuk tidur
Dalam bekerja, Rina tidak pernah mengharapkan apa-apa, selain masyarakat Labuan Bajo menjadi lebih sehat, dan bisa meningkat kualitas hidupnya, karena dengan begitu berarti masyarakat bisa memiliki banyak kesempatan untuk bersaing dengan dunia luar.
Puskesmas dan posyandu sebagai layanan kesehatan primer perlu mempertimbangkan untuk investasi pada bidan-bidan desa maupun kader yang memiliki semangat dan tekad yang kuat seperti Rina, karena investasi pada sumber daya manusia berarti investasi juga pada masa depan generasi bangsa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dedikasi Rina tekan stunting, tak ada lagi yang makan dengan lauk kopi