Jakarta (ANTARA) - Angin muson timur yang berembus kencang mengibas-ngibaskan puluhan tenda yang berdiri kokoh di Bukit Mantar, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
sampai satu jam perjalanan.
Sejauh mata memandang tampak gugusan pulau-pulau kecil Gili Balu dengan latar belakang Gunung Rinjani yang menjulang setinggi 3.726 meter di Pulau Lombok.
Desa budaya
Arena paralayang
2017.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Semburat emas di Mantar
Sekelompok wisatawan duduk membentuk formasi lingkaran sembari menyesap kopi dan mengudap mi rebus untuk menghangatkan tubuh. Mereka menanti surya terbit yang muncul dari balik punggung perbukitan karst.
Pesona dan eksotisme lanskap pesisir barat Pulau Sumbawa yang awalnya gelap gulita itu pun perlahan mulai tersingkap berkat semburat emas matahari pagi yang memantulkan warna-warni permukaan Bumi.
"Selamat datang! Salam dari Mantar, desa di atas awan yang ada di Sumbawa Barat," kata Atun Juniadi (43), warga lokal yang berprofesi sebagai penjual makanan-minuman, saat ditemui di Bukit Mantar, pada pertengahan Juli 2023.
Mantar memiliki ketinggian 630 meter di atas permukaan laut yang berada tak jauh dari Pelabuhan Poto Tano. Bahkan, gumpalan awan bisa terlihat jelas, saking tingginya desa tersebut.
Apabila memakai panduan peta digital, tertulis jarak 22 kilometer yang bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat ataupun roda dua dalam waktu tak
Sejauh mata memandang tampak gugusan pulau-pulau kecil Gili Balu dengan latar belakang Gunung Rinjani yang menjulang setinggi 3.726 meter di Pulau Lombok.
Bulir-bulir embun masih melekat pada rerumputan, lalu perlahan menguap ke udara. Desa Mantar adalah desa tertinggi di Sumbawa Barat.
Jika musim kemarau, keindahan alam tropis berupa gunung, lahan persawahan, perbukitan, laut, kapal-kapal penyeberangan, dan gugusan pulau-pulau kecil dapat terlihat jelas karena tak ada awan yang menutupi pandangan mata.
Awan putih yang berbentuk gumpalan kapas acapkali muncul saat musim hujan di bawah lereng perbukitan bagian timur. Itulah waktu paling pas jika ingin merasakan sensasi bermukim di atas awan.
Bila ingin bermalam di Bukit Mantar, penduduk setempat menyediakan fasilitas penyewaan tenda seharga Rp50 ribu per unit. Selain tenda, rumah-rumah penduduk juga bisa disewa menjadi homestay untuk bermalam, dengan tarif mulai dari Rp150 ribu per orang.
Penginapan homestay menyediakan makan pagi dan makan malam, dengan menu lokal, di antaranya sepat dan singang yang berbahan utama ikan.
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat mencatat ada lebih dari 50 orang berkemah di Bukit Mantar, dan sekitar 300 wisatawan berkunjung pada setiap akhir pekan.
Atun bercerita sejumlah wisatawan dari Iran, Papua, Singapura, hingga Prancis pernah menginap di rumahnya untuk menikmati keindahan Bukit Mantar saat pagi tiba.
Permukiman penduduk hanya berjarak sekitar 500 meter dari puncak bukit. Selepas subuh, wisatawan yang bermalam di homestay biasanya langsung bergerak naik ke Bukit Mantar dan wisatawan yang berkemah hanya perlu membuka pintu tenda untuk bisa menikmati keindahan Matahari terbit.
Desa budaya
Tiga anak kecil tertawa riang saat duduk di atas dipan kayu penjemuran. Cahaya Matahari pagi menembus masuk ke dalam pupil mereka dan udara pagi yang dingin perlahan mulai menghangat.
Pada 2013, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat telah menetapkan Desa Mantar sebagai desa budaya. Penetapan itu sebagai upaya untuk melindungi budaya dan tradisi yang kental.
Rumah-rumah panggung berbahan kayu menjadi pemandangan yang dominan di Desa Mantar. Arsitektur tradisional menambah aura kuat status desa budaya.
Rumah panggung itu memiliki bentuk dan ukuran seragam yang diwariskan secara turun-temurun.
Meski demikian, beberapa rumah juga ada yang telah berubah permanen karena pemiliknya punya kemampuan finansial untuk merenovasi.
Jalan aspal hotmix yang dibangun pemerintah beberapa tahun lalu telah memudahkan warga untuk merenovasi rumah panggung menjadi rumah permanen.
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sumbawa Barat Burhanuddin mengatakan status desa budaya menjadi payung bagi pemerintah untuk mempertahankan kearifan lokal di sana.
"Mantar ditetapkan sebagai desa budaya pada tahun 2013. Kami tetap pertahankan supaya budaya terus berlanjut. Makanya mereka bisa bertahan dengan kondisi tidak terlalu berubah," kata Burhanuddin.
Berbagai nilai sosial masih mengakar di dalam diri warga Desa Mantar. Meski digempur rayuan modernisasi, mereka dapat mempertahankan serta menjaga karya-karya budaya, seperti arsitektur tradisional.
Pemerintah berkomitmen proses pembangunan infrastruktur tidak sampai merusak kebudayaan yang telah melekat kuat di Desa Mantar.
Rasa percaya diri warga perlu dibangun agar bisa mengelola identitas budaya untuk meningkatkan kesejahteraan, karena rumah-rumah panggung berbahan kayu sudah jarang berdiri di kota-kota.
Ciri khas itu bisa menjadi daya tarik yang unik bagi para wisatawan untuk bermalam, mencicipi makanan lokal, atau sekadar menyelami keseharian warga Desa Mantar sebagai petani dan peternak.
Selain memiliki banyak rumah panggung, Desa Mantar juga punya tradisi unik yang dilakoni oleh para penduduknya, yaitu sedekah orong dan karavan ayam.
Sedekah orong digelar usai panen padi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan berkah melimpah atas hasil Bumi. Setiap rumah wajib menyumbang masakan untuk ritual adat tersebut.
Salah satu kuliner khas yang selalu ada dalam sedekah orong adalah pesar yang melambangkan kemakmuran. Makanan itu bersumber dari hasil Bumi andalan desa yang terbuat dari beras ketan dan parutan kelapa yang dibungkus daun kelapa.
Mata pencarian utama penduduk desa adalah petani dan peternak. Itulah yang membuat tradisi-budaya selalu lestari dan punya pewaris di Desa Mantar.
Arena paralayang
Pemerintah pusat telah menunjuk Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebagai tuan rumah bersama pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXII pada tahun 2028.
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menetapkan arena paralayang di Desa Mantar, sekaligus sebagai upaya memperkenalkan potensi pariwisata pesisir.
Desa Mantar yang memiliki jumlah penduduk 1.300-an jiwa, pernah beberapa kali menjadi lokasi perlombaan paralayang internasional, yakni pada tahun 2015 dan
Puncak Mantar berada pada areal seluas 2.000 meter persegi dan dikembangkan menjadi 7.000 meter persegi untuk mengakomodir kebutuhan olahraga serta wisata.
Baca juga: Artikel - Meramu budaya dari Kampung Tradisional Bena
Baca juga: Artikel - Meramu budaya dari Kampung Tradisional Bena
Para penerbang paralayang bisa lepas landas dengan parasut setinggi 3.000 kaki dan kecepatan angin kurang dari 15 kilometer per jam. Angin yang dipergunakan sebagai sumber daya angkat bisa melayangkan sayap kain sekitar 15 menit.
Sejumlah fasilitas sudah tersedia di Bukit Mantar, di antaranya area parkir kendaraan, gazebo, toilet, dan landasan terbang. Pemerintah setempat menyatakan hal yang kini dibutuhkan hanya penataan agar kawasan itu menjadi ideal sebagai arena olahraga ekstrem.
Baca juga: Artikel - Eksotisme savana di ujung Bendungan Praya
Baca juga: Artikel - Eksotisme savana di ujung Bendungan Praya
Dari Mantar, desa di atas awan, masa lalu dan masa depan itu menyatu dalam bingkai panorama pesisir dan olahraga yang terbalut keramahan penduduk lokal.
"Terbanglah terbang raihlah mimpi. Jangan berhenti terbanglah serdadu kumbang," demikian penggalan lirik lagu musisi Ipang Lazuardi, berjudul Serdadu Kumbang yang menceritakan kisah tiga bocah dari Desa Mantar.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Semburat emas di Mantar