Jakarta (ANTARA) - Dalamnya mencapai 30-70 meter, sedangkan panjang keseluruhan sekitar 500 kilometer. Itulah terowongan bawah tanah Jalur Gaza.
Awalnya berfungsi sebagai kanal transaksi ekonomi terselubung, tapi karena serangan militer Israel kian ganas, terowongan ini akhirnya juga menjadi jalur memasukkan dan menyimpan senjata, bahkan merancang perang, seperti diketahui berbagai kalangan internasional.
Israel yakin terowongan itu berada di bawah bangunan-bangunan sipil, termasuk rumah sakit. Untuk itulah, dua hari lalu Israel menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa karena diyakini menjadi pos militer Hamas.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sendiri mengungkapkan tentara Israel menggeledah Al-Shifa karena di bawah rumah sakit itulah 200-an orang disandera Hamas.
Seharusnya Israel tidak heran pada adanya gedung sipil yang berada di bawah terowongan bawah tanah bertahun-tahun dibangun oleh warga Gaza.
Total panjang dan lebar Jalur Gaza adalah 41 dan 12 km. Artinya, luas kantong Palestina itu adalah 365 km persegi.
Wilayah sebesar itu kalah panjang dari bentangan terowongan Gaza yang mencapai 500 km. Dengan panjang sejauh ini, mungkin tak ada tanah Gaza yang tak dilalui terowongan bawah tanah.
Ketika Israel mengaku menemukan senjata di bawah RS Al-Shifa, pengelola rumah sakit ini membantah. Pihak rumah sakit tak mau dituding sebagai basis militer Hamas.
Kenyataannya, saat Israel merazia Al-Shifa banyak saksi mata yang mengaku tak mendengar bunyi tembakan, karena memang tak ada baku tembak. Artinya, tak ada orang bersenjata di dalam rumah sakit tersebut.
Seorang dokter di RS Al-Shifa, Ahmed Mokhallalati, berkata kepada BBC bahwa hanya ada warga sipil di dalam rumah sakitnya.
Mokhallalati menandaskan memang semua gedung di Gaza, termasuk RS Al-Shifa, berada di atas terowongan bawah tanah. Untuk itu, Israel tak bisa menggeneralisasi gedung-gedung sipil sebagai pos Hamas.
Jika mencermati riwayat konflik Israel-Palestina, yang membuat Gaza dipenuhi terowongan bawah tanah justru karena kebijakan Israel dan Barat.
Terowongan itu memang sudah ada sejak awal 1980-an setelah kota Rafah dibagi dua; satu menjadi bagian Mesir, satu lagi menjadi bagian Palestina yang waktu itu masih diduduki Israel.
Pembagian Rafah adalah buah dari Perjanjian Camp David 1979 antara Mesir dan Israel yang mengakhiri permusuhan dan membuka jalan bagi pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dan Mesir.
Mulanya jumlah terowongan itu sedikit, hanya sekitaran Rafah.
Namun, setelah Israel memblokade Gaza pada 2007 yang diikuti sanksi Barat, satu tahun setelah Hamas memenangkan pemilu Palestina 2006. Blokade itu membuat pangan, sandang, BBM, dan semua barang ekonomi yang dibutuhkan rakyat Gaza tak bisa lagi didapatkan dari perdagangan normal.
Malah diblokade
Gaza sebenarnya memiliki pantai, tapi perairannya diblokade angkatan laut Israel. Alhasil, pintu Gaza ke dunia luar hanya perbatasan Gaza-Mesir di Rafah.
Karena dikurung dari segala sisi, warga Gaza lalu menggali terowongan hingga perbatasan Mesir-Gaza untuk mendapatkan kebutuhan mereka.
Israel memblokade Gaza untuk melemahkan Hamas sehingga rakyat Gaza kecewa untuk kemudian menjauhi Hamas. Padahal, Hamas berkuasa dari proses politik yang dianjurkan Barat, yakni Pemilu.
Tetapi Israel dan Barat khawatir oleh doktrin Hamas yang tak mau mengakui Israel.
Padahal, pandangan politik Hamas itu adalah antitesis dari kemandulan Barat dan kebebalan Israel dalam mengimplementasikan komitmen-komitmen internasional, termasuk Perjanjian Oslo 1993.
Perjanjian 1993 itu mengakhiri gerakan perlawanan bersenjata Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Melalui perjanjian itu, PLO mengakui eksistensi Israel, dan sebaliknya semua pihak sepakat membentuk Negara Palestina merdeka di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, pada 1999.
Ternyata sampai tahun 1999, negara Palestina tak kunjung berdiri. Sampai pemimpin PLO, Yasser Arafat, wafat pada 2004, negara Palestina tak berhasil diwujudkan.
Wajar jika rakyat Palestina kecewa berat, termasuk warga Gaza. Sikap mereka semakin keras, sampai menentang eksistensi Israel.
Gerakan Intifada adalah embrio yang membesarkan Hamas. Dan ketika pengaruh Hamas kian besar, Israel dan Barat merancang cara melenyapkannya dari proses politik, lewat pemilu 2006. Ironisnya, Hamas malah memenangkan pemilu itu.
Begitu menang pemilu, Hamas langsung diisolasi Israel. Setahun kemudian Jalur Gaza diblokade, setelah Fatah yang menjadi "sangat Hamas" terusir dari Gaza, dan kemudian memusatkan kekuasaan di Tepi Barat.
Blokade itu memaksa Hamas mencari cara untuk menunjukkan kepada warga Gaza bahwa mereka mampu memerintah Gaza. Bawah tanah pun menjadi pilihan. Sejak itu terowongan bawah tanah dibangun besar-besaran di Gaza.
Gaza pun lambat laun bisa membangun diri. Hamas menjadi kian populer, sampai Tepi Barat. Mereka dinilai efektif menjalankan pemerintahan Palestina di Gaza.
Perkembangan ini mencemaskan Israel karena Hamas yang berhasil membangun Gaza adalah ancaman bagi mereka. Israel juga tak mau "rumput di halaman depannya kian tinggi dan merambat liar ke mana-mana".
Untuk itulah, secara berkala Israel melancarkan operasi militer di Gaza bagai ritual "memotong rumput".
Dengan cara seperti itu, Hamas dipaksa terus memulai segala sesuatu dari bawah. Situasi itu juga membuat Hamas intensif merangkul perlawanan bersenjata. Mereka kian agresif melakukannya karena prilaku buruk pemukim Yahudi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Tak tahu pasti
Selama periode itu, blokade Gaza tak pernah dicabut. Tapi sejak itu pula fungsi terowongan bawah tanah menjadi tak lagi sekedar kanal ekonomi, karena juga menjadi jalur memasukkan senjata dan tempat menghindari bombardemen Israel.
Bom konvensional hanya bisa menembus tanah sampai kedalaman 20 meter, sedangkan kedalaman terowongan Gaza mencapai 30-70 meter. Ini membuat terowongan menjadi sangat strategis secara politik dan militer bagi banyak kelompok perlawanan Palestina, khususnya Hamas.
Setelah Hamas mempermalukan Israel pada 7 Oktober yang di antaranya dengan memanfaatkan terowongan-terowongan itu, Israel menjadi tak punya opsi selain menghancurleburkan Hamas.
Tak lagi hanya menyerang Gaza dari udara dan laut, Israel pun melancarkan serangan dari darat.
Keberhasilan misi darat ini sendiri disebut-sebut tergantung kepada kemampuan Israel dalam menghancurkan jaringan terowongan tanah Gaza.
Seorang menteri Israel keceplosan mengatakan bom nuklir harus digunakan di Gaza.
Pernyataan sang menteri melukiskan situasi berat yang dihadapi Israel, walau media massa mereka gencar menyatakan operasi militer di Gaza berjalan mulus.
Operasi militer itu sendiri sudah merenggut belasan ribu warga sipil Gaza, yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Namun Israel percaya diri meneruskan operasinya karena tahu "advokat-advokat" mereka, khususnya Amerika Serikat, siap mementahkan suara kritis dunia.
"Advokat-advokat itu" membuat Israel tak akan bisa diadili karena melakukan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang, seperti didakwakan kepada Rusia di Ukraina, kendati bombardemen dan blokade Gaza telah merenggut belasan ribu nyawa warga sipil Gaza dan menyengsarakan 2,3 juta penduduk kantong Palestina itu.
Apakah manuver Israel akan mulus di Gaza? Pakar militer dari Kings College di Inggris, Mike Martin, meragukan hal itu.
Martin menunjuk kegagalan Israel mendeteksi serangan skala besar Hamas pada 7 Oktober yang menunjukkan Israel kehilangan ketajamannya dalam mendeteksi rencana lawan.
"Saya melihat ada pertanyaan besar seputar apa yang diketahui dan tidak diketahui Israel," kata Martin seperti dikutip CBS News.
Martin ingin mengatakan Israel tak tahu pasti apa yang sedang direncanakan Hamas di Jalur Gaza, padahal mengetahui rencana musuh adalah bagian penting dalam memenangkan perang.
Baca juga: Artikel - Ukraina dan perang menegaskan identitas nasional
Sejak Hamas berkuasa di Gaza pada 2007, berbagai pemimpin Israel, termasuk Netanyahu, selalu bersumpah melenyapkan Hamas, tapi kelompok perlawanan Palestina yang mengakar kuat dalam masyarakat Gaza itu tetap ada.
Baca juga: Artikel - Konflik Myanmar dan tawaran solusi damai ASEAN
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terowongan Gaza jadi aspek vital dalam konflik Palestina-Israel
Awalnya berfungsi sebagai kanal transaksi ekonomi terselubung, tapi karena serangan militer Israel kian ganas, terowongan ini akhirnya juga menjadi jalur memasukkan dan menyimpan senjata, bahkan merancang perang, seperti diketahui berbagai kalangan internasional.
Israel yakin terowongan itu berada di bawah bangunan-bangunan sipil, termasuk rumah sakit. Untuk itulah, dua hari lalu Israel menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa karena diyakini menjadi pos militer Hamas.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sendiri mengungkapkan tentara Israel menggeledah Al-Shifa karena di bawah rumah sakit itulah 200-an orang disandera Hamas.
Seharusnya Israel tidak heran pada adanya gedung sipil yang berada di bawah terowongan bawah tanah bertahun-tahun dibangun oleh warga Gaza.
Total panjang dan lebar Jalur Gaza adalah 41 dan 12 km. Artinya, luas kantong Palestina itu adalah 365 km persegi.
Wilayah sebesar itu kalah panjang dari bentangan terowongan Gaza yang mencapai 500 km. Dengan panjang sejauh ini, mungkin tak ada tanah Gaza yang tak dilalui terowongan bawah tanah.
Ketika Israel mengaku menemukan senjata di bawah RS Al-Shifa, pengelola rumah sakit ini membantah. Pihak rumah sakit tak mau dituding sebagai basis militer Hamas.
Kenyataannya, saat Israel merazia Al-Shifa banyak saksi mata yang mengaku tak mendengar bunyi tembakan, karena memang tak ada baku tembak. Artinya, tak ada orang bersenjata di dalam rumah sakit tersebut.
Seorang dokter di RS Al-Shifa, Ahmed Mokhallalati, berkata kepada BBC bahwa hanya ada warga sipil di dalam rumah sakitnya.
Mokhallalati menandaskan memang semua gedung di Gaza, termasuk RS Al-Shifa, berada di atas terowongan bawah tanah. Untuk itu, Israel tak bisa menggeneralisasi gedung-gedung sipil sebagai pos Hamas.
Jika mencermati riwayat konflik Israel-Palestina, yang membuat Gaza dipenuhi terowongan bawah tanah justru karena kebijakan Israel dan Barat.
Terowongan itu memang sudah ada sejak awal 1980-an setelah kota Rafah dibagi dua; satu menjadi bagian Mesir, satu lagi menjadi bagian Palestina yang waktu itu masih diduduki Israel.
Pembagian Rafah adalah buah dari Perjanjian Camp David 1979 antara Mesir dan Israel yang mengakhiri permusuhan dan membuka jalan bagi pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dan Mesir.
Mulanya jumlah terowongan itu sedikit, hanya sekitaran Rafah.
Namun, setelah Israel memblokade Gaza pada 2007 yang diikuti sanksi Barat, satu tahun setelah Hamas memenangkan pemilu Palestina 2006. Blokade itu membuat pangan, sandang, BBM, dan semua barang ekonomi yang dibutuhkan rakyat Gaza tak bisa lagi didapatkan dari perdagangan normal.
Malah diblokade
Gaza sebenarnya memiliki pantai, tapi perairannya diblokade angkatan laut Israel. Alhasil, pintu Gaza ke dunia luar hanya perbatasan Gaza-Mesir di Rafah.
Karena dikurung dari segala sisi, warga Gaza lalu menggali terowongan hingga perbatasan Mesir-Gaza untuk mendapatkan kebutuhan mereka.
Israel memblokade Gaza untuk melemahkan Hamas sehingga rakyat Gaza kecewa untuk kemudian menjauhi Hamas. Padahal, Hamas berkuasa dari proses politik yang dianjurkan Barat, yakni Pemilu.
Tetapi Israel dan Barat khawatir oleh doktrin Hamas yang tak mau mengakui Israel.
Padahal, pandangan politik Hamas itu adalah antitesis dari kemandulan Barat dan kebebalan Israel dalam mengimplementasikan komitmen-komitmen internasional, termasuk Perjanjian Oslo 1993.
Perjanjian 1993 itu mengakhiri gerakan perlawanan bersenjata Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Melalui perjanjian itu, PLO mengakui eksistensi Israel, dan sebaliknya semua pihak sepakat membentuk Negara Palestina merdeka di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, pada 1999.
Ternyata sampai tahun 1999, negara Palestina tak kunjung berdiri. Sampai pemimpin PLO, Yasser Arafat, wafat pada 2004, negara Palestina tak berhasil diwujudkan.
Wajar jika rakyat Palestina kecewa berat, termasuk warga Gaza. Sikap mereka semakin keras, sampai menentang eksistensi Israel.
Gerakan Intifada adalah embrio yang membesarkan Hamas. Dan ketika pengaruh Hamas kian besar, Israel dan Barat merancang cara melenyapkannya dari proses politik, lewat pemilu 2006. Ironisnya, Hamas malah memenangkan pemilu itu.
Begitu menang pemilu, Hamas langsung diisolasi Israel. Setahun kemudian Jalur Gaza diblokade, setelah Fatah yang menjadi "sangat Hamas" terusir dari Gaza, dan kemudian memusatkan kekuasaan di Tepi Barat.
Blokade itu memaksa Hamas mencari cara untuk menunjukkan kepada warga Gaza bahwa mereka mampu memerintah Gaza. Bawah tanah pun menjadi pilihan. Sejak itu terowongan bawah tanah dibangun besar-besaran di Gaza.
Gaza pun lambat laun bisa membangun diri. Hamas menjadi kian populer, sampai Tepi Barat. Mereka dinilai efektif menjalankan pemerintahan Palestina di Gaza.
Perkembangan ini mencemaskan Israel karena Hamas yang berhasil membangun Gaza adalah ancaman bagi mereka. Israel juga tak mau "rumput di halaman depannya kian tinggi dan merambat liar ke mana-mana".
Untuk itulah, secara berkala Israel melancarkan operasi militer di Gaza bagai ritual "memotong rumput".
Dengan cara seperti itu, Hamas dipaksa terus memulai segala sesuatu dari bawah. Situasi itu juga membuat Hamas intensif merangkul perlawanan bersenjata. Mereka kian agresif melakukannya karena prilaku buruk pemukim Yahudi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Tak tahu pasti
Selama periode itu, blokade Gaza tak pernah dicabut. Tapi sejak itu pula fungsi terowongan bawah tanah menjadi tak lagi sekedar kanal ekonomi, karena juga menjadi jalur memasukkan senjata dan tempat menghindari bombardemen Israel.
Bom konvensional hanya bisa menembus tanah sampai kedalaman 20 meter, sedangkan kedalaman terowongan Gaza mencapai 30-70 meter. Ini membuat terowongan menjadi sangat strategis secara politik dan militer bagi banyak kelompok perlawanan Palestina, khususnya Hamas.
Setelah Hamas mempermalukan Israel pada 7 Oktober yang di antaranya dengan memanfaatkan terowongan-terowongan itu, Israel menjadi tak punya opsi selain menghancurleburkan Hamas.
Tak lagi hanya menyerang Gaza dari udara dan laut, Israel pun melancarkan serangan dari darat.
Keberhasilan misi darat ini sendiri disebut-sebut tergantung kepada kemampuan Israel dalam menghancurkan jaringan terowongan tanah Gaza.
Seorang menteri Israel keceplosan mengatakan bom nuklir harus digunakan di Gaza.
Pernyataan sang menteri melukiskan situasi berat yang dihadapi Israel, walau media massa mereka gencar menyatakan operasi militer di Gaza berjalan mulus.
Operasi militer itu sendiri sudah merenggut belasan ribu warga sipil Gaza, yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Namun Israel percaya diri meneruskan operasinya karena tahu "advokat-advokat" mereka, khususnya Amerika Serikat, siap mementahkan suara kritis dunia.
"Advokat-advokat itu" membuat Israel tak akan bisa diadili karena melakukan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang, seperti didakwakan kepada Rusia di Ukraina, kendati bombardemen dan blokade Gaza telah merenggut belasan ribu nyawa warga sipil Gaza dan menyengsarakan 2,3 juta penduduk kantong Palestina itu.
Apakah manuver Israel akan mulus di Gaza? Pakar militer dari Kings College di Inggris, Mike Martin, meragukan hal itu.
Martin menunjuk kegagalan Israel mendeteksi serangan skala besar Hamas pada 7 Oktober yang menunjukkan Israel kehilangan ketajamannya dalam mendeteksi rencana lawan.
"Saya melihat ada pertanyaan besar seputar apa yang diketahui dan tidak diketahui Israel," kata Martin seperti dikutip CBS News.
Martin ingin mengatakan Israel tak tahu pasti apa yang sedang direncanakan Hamas di Jalur Gaza, padahal mengetahui rencana musuh adalah bagian penting dalam memenangkan perang.
Baca juga: Artikel - Ukraina dan perang menegaskan identitas nasional
Sejak Hamas berkuasa di Gaza pada 2007, berbagai pemimpin Israel, termasuk Netanyahu, selalu bersumpah melenyapkan Hamas, tapi kelompok perlawanan Palestina yang mengakar kuat dalam masyarakat Gaza itu tetap ada.
Baca juga: Artikel - Konflik Myanmar dan tawaran solusi damai ASEAN
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terowongan Gaza jadi aspek vital dalam konflik Palestina-Israel