Kupang (ANTARA) - Mata Mariance Kabu (43), eks buruh migran asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu sesekali terpejam. Napasnya menjadi lebih berat saat mengingat peristiwa kelam yang dia alami sepuluh tahun lalu di Malaysia.
Berbagai siksaan dialami oleh Mariance selama bekerja sebagai pembantu rumah tangga dari majikannya, Ong Su Peng Serene dan Sang Yoke Leng, di Kuala Lumpur pada medio April--Desember 2014.
Dari gigi dicabut menggunakan tang, bibir dipukul sampai robek, hingga telinga dipukul dan ditarik telah dirasakan oleh Mariance dari tangan majikannya. Bahkan, lukanya membekas permanen hingga kini.
Ia akhirnya berhasil terbebas dari apartemen majikannya. Mariance menuliskan pesan di secarik kertas, “Tolong keluarkan saya dari sini. Saya hampir mati karena dianiaya majikan”. Kertas yang Mariance lempar keluar apartemen majikannya itu dibaca oleh salah seorang tetangga. Dengan bantuan tetangganya itulah Polisi Diraja Malaysia turun tangan membebaskan Mariance dari perlakuan kejam dari majikannya itu.
“Saya tak akan bisa melupakan peristiwa itu sampai mereka (majikan Mariance) dihukum setimpal dengan perbuatan mereka,” kata Mariance.
Titik balik
Sepuluh tahun berlalu. Kini di tengah penantian panjang pada akhir sidang kasus penganiayaan berat terhadap dirinya, Mariance berusaha bangkit.
Butuh waktu lama bagi ibu empat anak itu untuk keluar dari ruang gelap hidupnya. Selama 8 tahun, Mariance lebih banyak berdiam di rumah. Rasa kecewa, ketakutan, kurang percaya diri bercampur jadi satu membuat ia lebih memilih mengasingkan diri dari dunia luar.
Namun, sejak kasusnya kembali dibuka di Pengadilan Malaysia pada 2022, keberanian Mariance mencuat. Seolah mendapatkan bisikan dari Tuhan, dia bangkit keluar dari ruang gelap dengan membawa cahaya.
Sebuah kredo (keyakinan) Kristiani akan pengorbanan Yesus untuk manusia saat disiksa dan disalib, menuntun Mariance untuk berbuat lebih banyak bagi masyarakat, khususnya di daerah asalnya Nusa Tenggara Timur.
“Saya harus bersuara agar orang lain tidak mengalami seperti yang saya alami,” kata Mariance.
Sejak saat itu Mariance memilih aktif terlibat upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPP0) dan kekerasan terhadap buruh migran. Sudah 2 tahun terakhir ini, dia hadir di berbagai pertemuan dan forum diskusi untuk menceritakan pengalamannya saat menjadi korban TPPO dan kekerasan saat bekerja di Malaysia.
Melawan dengan tenun
Tak cukup dengan bersuara, Mariance pun juga berupaya pada pencegahan TPPO di daerahnya dengan memberikan pelatihan menenun khas NTT kepada kalangan perempuan. Dia secara berkala melakukannya di rumah Pendeta Emmy Sahertian, salah satu orang yang membantu mengadvokasi kasusnya.
Dengan memiliki ketrampilan Mariance berharap para perempuan di NTT bisa lebih mandiri dan tidak mudah tergoda bujuk rayu jaringan mafia TPPO.
Dari kegiatan tersebut pula Mariance juga telah menciptakan motif tenun mamuli sambung yang memiliki makna mendalam tentang perjuangannya menyuarakan perlawanan terhadap TPPO.
“Saya terinspirasi dengan motif mamuli khas Timor yang memiliki arti rahim ibu,” kata Mariance. Dua motif mamuli yang disambung itu memiliki arti para kaum perempuan yang bersatu untuk bersama melawan kejahatan TPPO yang marak terjadi di NTT maupun sejumlah daerah lain di Indonesia.
Kini Mariance pun tidak bersuara sendiri. Bahkan, dia memimpin komunitas Hanaf yang sebelumnya telah dibentuk oleh sejumlah aktivis pengadvokasi kasusnya.
Hanaf yang dalam bahasa Dawam (bahasa daerah asal Mariance di Timor Tengah Selatan) memiliki arti “suara”. Melalui komunitas ini ia menyuarakan gerakan perlawanannya terhadap TPPO bersama para aktivis yang peduli terhadap isu ini dan juga bersama para penyintas korban TPPO lainnya. “Saya berharap melalui komunitas ini suara perlawanan TPPO ini juga bisa tersebar lebih luas,” tutur Mariance.
Arti penting kebangkitan Mariance
Pendeta Emmy Sehertian yang lama mendampingi Mariance Kabu dalam advokasi kasus TPPO maupun kasus penganiayaan berat, mensyukuri atas kebangkitan Mariance dari keterpurukan itu.
Suara Mariance tidak hanya berkontribusi atas upaya Pemerintah dan para aktivis dalam membongkar konspirasi jaringan TPPO. "Aktifnya Mariance itu juga meningkatkan kesadaran para wanita di NTT untuk tidak mau dieksploitasi," kata Pendeta Emmy.
Apalagi, pelatihan tenun NTT yang dilakukan oleh Mariance juga mendorong para wanita di NTT untuk bisa lebih berdaulat secara ekonomi sehingga tidak mudah untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam jaringan mafia TPPO.
“Banyak dari kalangan wanita di NTT ini memiliki keterampilan menenun, tetapi banyak yang tidak dimaksimalkan sebagai sumber penghidupan mereka,” kata pendeta yang juga aktivis kemanusiaan tersebut.
Selain itu, pengalaman yang dibagikan Mariance melalui berbagai forum juga diharapkan dapat membuka mata para wanita di NTT maupun daerah lainnya untuk tidak mudah terpengaruh berbagai modus perekrutan tenaga kerja ke luar negeri dengan gaji tinggi.
“Kita harus waspada dengan modus-modus perekrutan melalui media sosial, lembaga yang tidak jelas perizinannya, orang tidak dikenal, maupun yang kita kenal,” kata Pendeta Emmy.
Apabila ditemukan adanya indikasi perekrutan yang tidak sesuai prosedur, ia mengajak warga segera melaporkan ke instansi terkait maupun aparat hukum.
Pada kesempatan lain, salah seorang penyintas korban TPPO lainnya, Emi Dezi mengatakan upaya Mariance Kabu dalam bersuara menentang TPPO menjadi penyeimbang dari banyaknya janji manis dari para agen yang secara aktif mencari tenaga kerja di NTT untuk bekerja di luar negeri.
“Padahal janji-janji manis dari para agen tidak sebanding dengan risiko dan bahaya yang kita tanggung saat bekerja di luar negeri sana,” kata Emi.
Semakin banyak yang bersuara menentang TPPO seperti Mariance, menurut eks buruh migran di Malaysia itu, bakal meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak mudah terbujuk rayuan bekerja di luar negeri, apalagi secara ilegal atau nonprosedural.
Para orang tua di NTT pun kini menjadi tidak mudah melepaskan anaknya kepada para agen penyalur.
Baca juga: Artikel - Mengenal cara kerja sindikat online scamming TPPO
Sebelumnya, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi, salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PPTPPO) Tahun 2020-2024. Salah satu strategi pencegahan dan penanganan TPPO adalah memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan termasuk TPPO.
Baca juga: Artikel - Memulihkan pekerja korban TPPO lewat pemberdayaan sosial
Semangat Mariance Kabu yang sejalan dengan RAN PPTPPO dari Pemerintah dapat meluas ke masyarakat lainnya sehingga angka TPPO dapat terus berkurang dan akhirnya hilang dari bumi Indonesia ini.
Baca juga: Artikel - Menghilangkan rasa dahaga di Malaka
Cukup sudah Mariance yang menjadi korban dari perdagangan orang.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mariance bangkit menjadi cahaya