Medan (ANTARA) - Atlet binaraga Indonesia Willi Ramadhita harus rela mengembalikan medali poin dan hadiah yang telah dikumpulkannya sejak 19 Januari 2022 setelah dinyatakan positif menggunakan doping oleh Organisasi Anti-Doping Indonesia (IADO).
Dalam pemeriksaan sampel yang dilakukan di Bangkok, Wili dituntut karena diketahui terdapat zat S1.1 Anabolic Androgenic Steroids (ASS) dan S4.4 Metabolic Modulators pada 7 Desember 2023.
Dia mengakui penggunaan zat terlarang tersebut tanpa konsultasi dengan dokter maupun pelatihnya, dengan tujuan menurunkan berat badan karena akan mengikuti suatu pentas tertentu.
Willi kemudian dilarang ikut serta dalam kegiatan olahraga selama tiga tahun (19 Januari 2024-18 Januari 2027).
Kemudian pada ajang PON Papua 2020, IADO pun kembali merilis kasus doping empat atlet binaraga Indonesia yakni Jodie Jaya Kusuma, Misnadi, Agung Budi Laksono, dan Benny Michael Kaunang yang dinyatakan melanggar aturan anti-doping.
Kasus doping memang menjadi momok dalam perhelatan olahraga. Bahkan dalam setiap even akbar, doping menjadi isu yang menarik untuk dikulik, mengingat jeratan obat terlarang itu tidak hanya melibatkan atlet amatir, tetapi juga atlet kenamaan.
Sebut saja Diego Maradona, Kolo Toure, hingga Paul Pogba yang harus dihukum karena kedapatan menggunakan doping. Bahkan Pogba dilarang bermain selama empat tahun atas kasus tersebut.
Saat ajang Olimpiade pun tak luput dari kasus doping. Sejumlah atlet dituntut karena positif menggunakan doping entah disengaja maupun tidak. Namun jelas Organisasi Anti-Doping Dunia (WADA) telah mengeluarkan pedoman-pedoman untuk ditaati, sehingga jika masih ditemukan berarti sudah masuk dalam unsur 'kesengajaan'.
Doping tidak bisa dianggap sebelah mana. Kehadirannya tidak bisa dipisahkan dari legitimasi terhadap prestasi atlet. Nilai sportivitas menuntut sikap dan perilaku atlet yang menunjukkan penghormatan terhadap aturan dan penghormatan terhadap lawan.
Karena muara dari semua keikutsertaan dalam ajang olahraga adalah mengibarkan bendera negara/daerah sebagai bentuk nasionalisme atau kebanggaan primordial.
Buat sebagian orang mungkin itu sepele, tetapi bagi atlet itu perkara sangat penting. Bagi mereka, itu bukan sekadar momen besar, namun juga soal citra kolektif yang bersih.
Sertifikat IDEL
Kasus yang menjerat Willi dan empat atlet binaraga dalam skandal doping membuat Komite Olahraga Nasional (KONI) geram. Mereka awalnya akan mencabut kepesertaan binaraga dalam ajang multieven nasional, salah satunya PON.
Sempat gonjang-ganjing apakah akan dipertandingkan dalam PON XXI Aceh-Sumatera Utara, Komite Olahraga Nasional (KONI) akhirnya memutuskan cabang binaraga bisa dihelat pada ajang multieven empat tahunan tersebut.
Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KONI Tahun 2022 dengan peserta perwakilan 34 KONI Provinsi, 70 induk cabang olahraga, 6 organisasi fungsional, dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) pada 14 September 2022.
Tak tanggung-tanggung, apabila masih ditemukan atlet yang menggunakan zat terlarang, KONI bisa mendegradasi organisasi binaraga dari keanggotaan.
Sebenarnya, ancaman pencabutan keikutsertaan cabang olahraga dari ajang bergengsi juga pernah melanda angkat besi. Pada Olimpiade Paris 2024 angkat besi terancam tidak bisa dipertandingkan karena skandal doping berkepanjangan.
Ancaman dari KONI langsung disambut oleh Pengurus Pusat Persatuan Binaraga dan Fitnes Indonesia (PP PBFI). Mereka langsung bergerak melakukan edukasi dan sosialisasi anti-doping ke setiap daerah.
PBFI juga memberlakukan kewajiban sertifikat anti-doping Education and Learning (ADEL) bagi atlet binaraga di PON Aceh-Sumut. Seluruh atlet wajib memiliki sertifikat tersebut sebagai tanda bahwa mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang anti-doping.
Kendati demikian, ADEL bukan berarti jaminan bahwa atlet tersebut bebas doping. Tapi setidaknya ADEL memberikan ruang kepada atlet untuk lebih punya pengetahuan tentang doping karena banyak kasus doping di beberapa PON sebelumnya terjadi akibat ketidaktahuan
"Kami cabang olahraga pertama yang memelopori bahwa semua peserta PON wajib mempunyai sertifikat anti-doping," demikian kata Ketua Umum PP PBFI Irwan Alwi.
Jika saat pertandingan nanti masih ditemukan adanya atlet yang menggunakan doping, maka PP PBFI bisa langsung menunjuk muka bahwa itu adalah sebuah kesengajaan.
Irwan Alwi pun mewanti-wanti agar atlet, pelatih, dan ofisial menaati aturan anti-doping. Karena bukan tidak mungkin ancaman dari KONI dapat berlaku pada PON edisi berikutnya.
Pro-Kontra
Ancaman tidak dipertandingkannya binaraga dari PON jika ditemukan atlet menggunakan doping mendapat reaksi beragam. Ada yang setuju ada pula yang menolak keras.
Salah satu yang menolak yakni dari Ketua Umum PBFI DKI Jakarta Estepanus Tengko. Ia menyebut bahwa Pengprov selalu mengedukasi dan mengontrol atletnya secara ketat agar terbebas dari doping.
Namun jika atlet tetap nakal, maka itu di luar kewenangan pengurus. Ia menekankan bahwa yang seharusnya mendapat sanksi yakni atlet yang bersangkutan bukan organisasi. Karena bagi dia tidak fair jika atlet terlibat, imbasnya ke organisasi yang sudah berjuang keras memerangi doping.
Begitu juga dengan PBFI Papua. Sekretaris Umum PBFI Papua Billy P. Watori menyebut sanksi yang diberikan haruslah kepada Pengprov dan atlet. Organisasi induk tak bosan-bosan mengingatkan untuk bebas dari doping.
PP PBFI sejauh ini sudah proaktif dengan IADO agar olahraga ini bebas dari penggunaan zat terlarang. Tinggal bagaimana atlet dan Pengprov berkomitmen terhadap aturan tersebut.
Hati-hati
Ketatnya mengenai aturan doping membuat atlet mesti berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan atau minuman. Atlet harus menjaga asupan gizi dan nutrisi dengan tidak mengkonsumsi makanan maupun minuman secara sembarangan.
Hal tersebut yang dilakukan atlet binaraga Jawa Barat, Satria Dewandi. Atlet yang akan turun di nomor 85kg itu selalu mengonsultasikan asupan gizi dengan dokter khusus. Ia tidak mau apa yang ia konsumsi malah mencelakakan dirinya.
Tak hanya makanan dan minuman, Obat-obatan pun harus atas rekomendasi dokter. Di samping itu, pola diet juga diperhatikan betul. Bahkan ia telah melakukannya berbulan-bulan lamanya.
Baca juga: Artikel - Satu poin yang membangkitkan optimisme
Begitu juga dengan atlet binaraga Aceh. Segala asupan gizi, nutrisi, dan mineral dijaga ketat oleh ofisial tim. Mereka tak ingin doping mencoreng nama kontingen Aceh dalam PON, apalagi kali ini bertindak sebagai tuan rumah.
Baca juga: Artikel - Perburuan medali emas berbalut nuansa sejarah dan politik
Doping bagi kontingen Aceh tidak hanya merusak nilai-nilai sportivitas dan penghormatan kepada lawan, juga menjadi catatan buruk di hadapan publik sendiri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Upaya menghapus doping dari wajah binaraga
Dalam pemeriksaan sampel yang dilakukan di Bangkok, Wili dituntut karena diketahui terdapat zat S1.1 Anabolic Androgenic Steroids (ASS) dan S4.4 Metabolic Modulators pada 7 Desember 2023.
Dia mengakui penggunaan zat terlarang tersebut tanpa konsultasi dengan dokter maupun pelatihnya, dengan tujuan menurunkan berat badan karena akan mengikuti suatu pentas tertentu.
Willi kemudian dilarang ikut serta dalam kegiatan olahraga selama tiga tahun (19 Januari 2024-18 Januari 2027).
Kemudian pada ajang PON Papua 2020, IADO pun kembali merilis kasus doping empat atlet binaraga Indonesia yakni Jodie Jaya Kusuma, Misnadi, Agung Budi Laksono, dan Benny Michael Kaunang yang dinyatakan melanggar aturan anti-doping.
Kasus doping memang menjadi momok dalam perhelatan olahraga. Bahkan dalam setiap even akbar, doping menjadi isu yang menarik untuk dikulik, mengingat jeratan obat terlarang itu tidak hanya melibatkan atlet amatir, tetapi juga atlet kenamaan.
Sebut saja Diego Maradona, Kolo Toure, hingga Paul Pogba yang harus dihukum karena kedapatan menggunakan doping. Bahkan Pogba dilarang bermain selama empat tahun atas kasus tersebut.
Saat ajang Olimpiade pun tak luput dari kasus doping. Sejumlah atlet dituntut karena positif menggunakan doping entah disengaja maupun tidak. Namun jelas Organisasi Anti-Doping Dunia (WADA) telah mengeluarkan pedoman-pedoman untuk ditaati, sehingga jika masih ditemukan berarti sudah masuk dalam unsur 'kesengajaan'.
Doping tidak bisa dianggap sebelah mana. Kehadirannya tidak bisa dipisahkan dari legitimasi terhadap prestasi atlet. Nilai sportivitas menuntut sikap dan perilaku atlet yang menunjukkan penghormatan terhadap aturan dan penghormatan terhadap lawan.
Karena muara dari semua keikutsertaan dalam ajang olahraga adalah mengibarkan bendera negara/daerah sebagai bentuk nasionalisme atau kebanggaan primordial.
Buat sebagian orang mungkin itu sepele, tetapi bagi atlet itu perkara sangat penting. Bagi mereka, itu bukan sekadar momen besar, namun juga soal citra kolektif yang bersih.
Sertifikat IDEL
Kasus yang menjerat Willi dan empat atlet binaraga dalam skandal doping membuat Komite Olahraga Nasional (KONI) geram. Mereka awalnya akan mencabut kepesertaan binaraga dalam ajang multieven nasional, salah satunya PON.
Sempat gonjang-ganjing apakah akan dipertandingkan dalam PON XXI Aceh-Sumatera Utara, Komite Olahraga Nasional (KONI) akhirnya memutuskan cabang binaraga bisa dihelat pada ajang multieven empat tahunan tersebut.
Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KONI Tahun 2022 dengan peserta perwakilan 34 KONI Provinsi, 70 induk cabang olahraga, 6 organisasi fungsional, dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) pada 14 September 2022.
Tak tanggung-tanggung, apabila masih ditemukan atlet yang menggunakan zat terlarang, KONI bisa mendegradasi organisasi binaraga dari keanggotaan.
Sebenarnya, ancaman pencabutan keikutsertaan cabang olahraga dari ajang bergengsi juga pernah melanda angkat besi. Pada Olimpiade Paris 2024 angkat besi terancam tidak bisa dipertandingkan karena skandal doping berkepanjangan.
Ancaman dari KONI langsung disambut oleh Pengurus Pusat Persatuan Binaraga dan Fitnes Indonesia (PP PBFI). Mereka langsung bergerak melakukan edukasi dan sosialisasi anti-doping ke setiap daerah.
PBFI juga memberlakukan kewajiban sertifikat anti-doping Education and Learning (ADEL) bagi atlet binaraga di PON Aceh-Sumut. Seluruh atlet wajib memiliki sertifikat tersebut sebagai tanda bahwa mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang anti-doping.
Kendati demikian, ADEL bukan berarti jaminan bahwa atlet tersebut bebas doping. Tapi setidaknya ADEL memberikan ruang kepada atlet untuk lebih punya pengetahuan tentang doping karena banyak kasus doping di beberapa PON sebelumnya terjadi akibat ketidaktahuan
"Kami cabang olahraga pertama yang memelopori bahwa semua peserta PON wajib mempunyai sertifikat anti-doping," demikian kata Ketua Umum PP PBFI Irwan Alwi.
Jika saat pertandingan nanti masih ditemukan adanya atlet yang menggunakan doping, maka PP PBFI bisa langsung menunjuk muka bahwa itu adalah sebuah kesengajaan.
Irwan Alwi pun mewanti-wanti agar atlet, pelatih, dan ofisial menaati aturan anti-doping. Karena bukan tidak mungkin ancaman dari KONI dapat berlaku pada PON edisi berikutnya.
Pro-Kontra
Ancaman tidak dipertandingkannya binaraga dari PON jika ditemukan atlet menggunakan doping mendapat reaksi beragam. Ada yang setuju ada pula yang menolak keras.
Salah satu yang menolak yakni dari Ketua Umum PBFI DKI Jakarta Estepanus Tengko. Ia menyebut bahwa Pengprov selalu mengedukasi dan mengontrol atletnya secara ketat agar terbebas dari doping.
Namun jika atlet tetap nakal, maka itu di luar kewenangan pengurus. Ia menekankan bahwa yang seharusnya mendapat sanksi yakni atlet yang bersangkutan bukan organisasi. Karena bagi dia tidak fair jika atlet terlibat, imbasnya ke organisasi yang sudah berjuang keras memerangi doping.
Begitu juga dengan PBFI Papua. Sekretaris Umum PBFI Papua Billy P. Watori menyebut sanksi yang diberikan haruslah kepada Pengprov dan atlet. Organisasi induk tak bosan-bosan mengingatkan untuk bebas dari doping.
PP PBFI sejauh ini sudah proaktif dengan IADO agar olahraga ini bebas dari penggunaan zat terlarang. Tinggal bagaimana atlet dan Pengprov berkomitmen terhadap aturan tersebut.
Hati-hati
Ketatnya mengenai aturan doping membuat atlet mesti berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan atau minuman. Atlet harus menjaga asupan gizi dan nutrisi dengan tidak mengkonsumsi makanan maupun minuman secara sembarangan.
Hal tersebut yang dilakukan atlet binaraga Jawa Barat, Satria Dewandi. Atlet yang akan turun di nomor 85kg itu selalu mengonsultasikan asupan gizi dengan dokter khusus. Ia tidak mau apa yang ia konsumsi malah mencelakakan dirinya.
Tak hanya makanan dan minuman, Obat-obatan pun harus atas rekomendasi dokter. Di samping itu, pola diet juga diperhatikan betul. Bahkan ia telah melakukannya berbulan-bulan lamanya.
Baca juga: Artikel - Satu poin yang membangkitkan optimisme
Begitu juga dengan atlet binaraga Aceh. Segala asupan gizi, nutrisi, dan mineral dijaga ketat oleh ofisial tim. Mereka tak ingin doping mencoreng nama kontingen Aceh dalam PON, apalagi kali ini bertindak sebagai tuan rumah.
Baca juga: Artikel - Perburuan medali emas berbalut nuansa sejarah dan politik
Doping bagi kontingen Aceh tidak hanya merusak nilai-nilai sportivitas dan penghormatan kepada lawan, juga menjadi catatan buruk di hadapan publik sendiri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Upaya menghapus doping dari wajah binaraga