Jakarta (ANTARA) - Di atas meja-meja kayu usang terhampar beragam ikan hasil tangkapan para nelayan, mulai dari kakap merah, tongkol, hingga kerapu besar yang masih terlihat mengilap di bawah cahaya pagi. Sekitar pukul 08.30, sinar surya menyibak langit Kepulauan Maluku ketika riuh suara para pedagang di pasar mulai menggema. Aroma laut yang tajam bercampur dengan bau anyir ikan segar memenuhi udara sekitaran pasar yang terletak dekat pelabuhan Pulau Geser itu.
Aniyah (43), penjual ikan di pasar Geser tengah sibuk melayani salah satu pembeli. Ia menjual ikan asin kering kepada seorang pembeli, sementara konsumen itu menyerahkan dua lembar rupiah pecahan Rp20.000 yang tampak lusuh, namun masih cukup jelas menunjukkan wajah pahlawan nasional di atasnya.
Secara geografis, Pulau Geser merupakan salah satu pulau kecil di Kepulauan Maluku yang berjarak sekitar 180 kilometer (km) dengan Kota Ambon. Pulau ini dikenal sebagai salah satu penghasil tanaman pala dan cengkeh. Terletak strategis di antara jalur perdagangan rempah, Pulau Geser diuntungkan oleh tanah yang subur dan iklim tropis yang ideal untuk pertumbuhan tanaman rempah.
Sejak masa pendudukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17, Pulau Geser telah dikenal sebagai jalur rempah. Bahkan sampai saat ini, tradisi bercocok tanam masyarakat setempat diwariskan secara turun-temurun, menjadikan keberlanjutan budidaya rempah di Pulau Geser terus dipertahankan.
Namun, sulitnya akses menjadikan pulau ini termasuk dalam kategori wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T). Meskipun jaringan listrik dan internet sudah masuk, masyarakat kerap mengalami mati listrik hampir setiap hari.
“Di sini listrik hanya menyala malam sampai pagi, tapi siang sekitar jam 12-an, listrik mati,” kata Aniyah.
Pun juga dengan internet. Di sini, internet terbilang masih belum stabil walaupun sinyal sudah mencapai jaringan 4G. Untuk dapat mengakses layanan internet di siang hari, banyak warga menyewa koneksi internet dari alat pemancar yang hanya dimiliki oleh beberapa keluarga saja. Mereka perlu merogoh kocek sebesar Rp10 ribu untuk dapat mengakses jaringan internet seharian dari pemilik pemancar berbasis satelit itu.
Keterbatasan ini memengaruhi cara masyarakat bertransaksi sehari-hari. Masyarakat Pulau Geser masih belum tersentuh transaksi non-tunai, berbeda dengan penduduk di wilayah perkotaan atau pulau besar lainnya. Bahkan istilah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) masih asing di telinga mereka. Rupiah kartal masih jadi tulang punggung
Minimnya akses ke perbankan modern menjadi persoalan lain. Di Pulau Geser belum ada ATM satu pun. Masyarakat hanya bisa melakukan tarik tunai di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Maluku dan Maluku Utara yang berlokasi di depan kantor kecamatan. Di tengah keterbatasan jaringan internet dan akses perbankan, maka uang dalam bentuk kartal masih menjadi tulang punggung alias backbone roda perekonomian pulau.
Syahdan, ketergantungan pada uang kartal menghadirkan masalah lain: uang lusuh yang beredar sering kali dalam kondisi rusak.
Aniyah, misalnya, khawatir ketika menerima uang kartal yang sudah robek dari pembeli. Ia mengeluhkan kondisi uang-uang yang sudah tak layak edar, sambil memegang selembar uang kertas yang sudah terlipat-lipat dan sedikit robek.
"Uang-uang ini sudah banyak yang robek, kalau diberikan ke pelanggan, rasanya enggak enak. Kasihan juga mereka dapat kembalian seperti ini,” keluhnya sambil mengusap lembaran uang itu dengan jari-jarinya, mencoba meluruskan sudut-sudut yang terkoyak.
Tak heran uang lusuh lumrah beredar di sekitar. Dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat, rupiah kartal menjadi kebutuhan utama, sebuah kenyataan yang mendesak agar lembaran rupiah layak edar tetap tersedia di tangan mereka. Situasi ini yang mendorong Bank Indonesia (BI) dan TNI Angkatan Laut (TNI AL) menggelar Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) tahun 2024.
Tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat Bank Indonesia bekerja sama dengan TNI AL mengunjungi lima pulau di Provinsi Maluku, antara lain; Pulau Banda Neira, Pulau Gorom, Pulau Geser, Pulau Tifu, hingga Pulau Manipa pada 19 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2024. ANTARA/Bayu Saputra¹
Ketika Rabu pagi (23/10), masyarakat Pulau Geser menyambut kedatangan tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) tahun 2024 sebagai misi dari Bank Indonesia dan TNI AL untuk memastikan ketersediaan uang rupiah layak edar di pelosok negeri.
Mereka mendapati harapan baru ketika Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Lada 521 berlabuh membawa berbagai layanan; penukaran uang rupiah, sosialisasi Cinta, Bangga, Paham (CBP) rupiah, penyaluran bantuan sosial (bansos), serta layanan kesehatan gratis.
Bagi masyarakat sekitar yang kesehariannya bergantung pada transaksi tunai, mendapatkan rupiah dalam kondisi baik merupakan hal yang sangat berarti. Mereka berbondong-bondong menukarkan uang mereka ke layanan kasir Bank Indonesia yang digelar di kantor kecamatan. Mereka menukarkan uang-uang yang sudah lusuh, robek, dengan uang rupiah emisi terbaru. Bank Indonesia membawa uang sebesar Rp1,64 miliar dengan beragam nominal pecahan sebagai modal awal penukaran uang di Pulau Geser.
"Kami menyediakan uang yang berkualitas, dengan menarik uang yang lusuh, yang jelek, dengan mengganti uang yang baru atau clean money policy. Kegiatan ini sejatinya sudah kita mulai di 2012, tetapi baru kita membuat kegiatan yang terpola, terprogram itu sejak tahun 2021," jelas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim saat mendampingi Tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat.
Tatkala layanan penukaran rupiah sedang berlangsung, Saleman (53), seorang nelayan Pulau Geser terlihat menggenggam beberapa lembar uang usangnya sambil memilah sesuai dengan nominal pecahan untuk ditukarkan.
Dengan wajah penuh antusiasme, ia menukarkan uang-uang lamanya yang terkumpul dari hasil tangkap ikan. Total uang yang ia bawa mencapai Rp1.073.000, terdiri atas pecahan Rp1.000, Rp2.000, Rp10.000, dan Rp20.000. Sebagai nelayan, dirinya mengaku senang memegang uang baru karena lembaran uang yang ia simpan sebelumnya acap kali lusuh, robek hingga terkoyak karena melaut.
Sosok Aniyah dan Saleman ini menggambarkan bahwa situasi di tengah mata pencaharian masyarakat yang bergelut dengan laut dan ladang, uang kartal rupiah bukan sekadar alat tukar. Rupiah menjadi saksi yang menghubungkan kehidupan para nelayan, pedagang, dan petani dalam ritme perekonomian yang terus bergerak di negeri seribu rempah. Jaga kedaulatan negara lewat rupiah
Selama perjalanan Ekspedisi Rupiah Berdaulat di wilayah Maluku, setiap pulau mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Namun pulau-pulau tertinggal, terdepan, terluar (3T) di wilayah Maluku memiliki kesamaan dalam aspek transaksi sehari-hari, yakni uang rupiah logam dianggap sudah tidak berlaku.
Saat kapal bertolak ke Pulau Buru untuk melanjutkan ekspedisi ke Desa Tifu, Kabupaten Buru Selatan, tim ekspedisi menemukan bahwa uang logam sudah dianggap tidak berlaku sebagai alat pembayaran.
Mama Thea (60), salah satu pemilik toko kelontong di Desa Tifu mengeluh kesulitan menggunakan uang logam, khususnya ketika bertransaksi di pasar. Hampir semua warga di pulau ini mulai mengabaikan keberadaan uang logam dalam aktivitas jual-beli. Padahal, menurut aturan resmi dari Bank Indonesia (BI), uang logam pecahan Rp50 hingga Rp1.000 masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Fenomena ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang rupiah sebagai mata uang resmi yang berlaku.
Setelah mengikuti sosialisasi yang bertajuk ‘Cinta, Bangga, Paham (CBP) Rupiah’ dari Bank Indonesia, Mama Thea mengaku baru tahu jika uang logam ternyata masih bisa digunakan. Dirinya berharap setelah adanya sosialisasi tersebut, masyarakat sekitar mulai kembali menggunakan uang logam sebagai alat pembayaran sehari-hari.
“Selama ini (uang) logam hanya disimpan saja sebagai koleksi. Susah buat dibelanjakan di pasar karena tidak ada yang menerima,” ucapnya.
Dalam hal ini, sosialisasi dari Bank Indonesia mengisi celah ketidakpahaman masyarakat itu untuk menumbuhkan pemahaman utuh soal rupiah. Setelah mendapat banyak keluhan dan pertanyaan soal uang logam, Tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat selalu memberikan edukasi bahwa semua uang, baik kertas maupun logam, tetap sah selama belum ada pencabutan resmi. Hal ini menjadi sangat penting menimbang peran rupiah di pulau terluar yang bukan sekadar alat transaksi, melainkan simbol kedaulatan negara.
Selama masyarakat di wilayah 3T masih menggunakan rupiah, simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap terjaga di daerah tersebut.
Baca juga: Artikel - Mengais pundi-pundi rupiah dari tanaman rosella
Baca juga: Artikel - Saat mama-mama di Desa Oeseli memanen rupiah dari hasil laut
Ekspedisi Rupiah Berdaulat menjadi bukti kehadiran negara di batas terluar Indonesia, namun di balik itu, tersirat harapan bahwa suatu hari akses perbankan dan infrastruktur teknologi yang merata akan menjangkau mereka, menghubungkan masyarakat pulau dengan dunia yang lebih luas. Sampai saat itu tiba, masyarakat Pulau Geser, Pulau Buru dan pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku tetap setia pada rupiah kartal mereka, selembar demi selembar, sebagai simbol kedaulatan dan identitas bangsa di ujung timur Indonesia.
Baca juga: Artikel - Menerjang gelombang gemakan rupiah di pulau terluar
Bagi Bank Indonesia sendiri, memperkuat kesadaran cinta terhadap rupiah tidak hanya membantu memperlancar transaksi ekonomi, melainkan juga memperkokoh rasa kebanggaan dan persatuan nasional. Sementara bagi sosok seperti Aniyah, Saleman, dan Mama Thea lebih dari itu. Uang-uang rupiah memiliki nilai sentimental – hasil dari transaksi yang menghidupkan usahanya sekaligus menyambung kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengukir kedaulatan rupiah hingga pelosok Negeri Seribu Rempah
Aniyah (43), penjual ikan di pasar Geser tengah sibuk melayani salah satu pembeli. Ia menjual ikan asin kering kepada seorang pembeli, sementara konsumen itu menyerahkan dua lembar rupiah pecahan Rp20.000 yang tampak lusuh, namun masih cukup jelas menunjukkan wajah pahlawan nasional di atasnya.
Secara geografis, Pulau Geser merupakan salah satu pulau kecil di Kepulauan Maluku yang berjarak sekitar 180 kilometer (km) dengan Kota Ambon. Pulau ini dikenal sebagai salah satu penghasil tanaman pala dan cengkeh. Terletak strategis di antara jalur perdagangan rempah, Pulau Geser diuntungkan oleh tanah yang subur dan iklim tropis yang ideal untuk pertumbuhan tanaman rempah.
Sejak masa pendudukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17, Pulau Geser telah dikenal sebagai jalur rempah. Bahkan sampai saat ini, tradisi bercocok tanam masyarakat setempat diwariskan secara turun-temurun, menjadikan keberlanjutan budidaya rempah di Pulau Geser terus dipertahankan.
Namun, sulitnya akses menjadikan pulau ini termasuk dalam kategori wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T). Meskipun jaringan listrik dan internet sudah masuk, masyarakat kerap mengalami mati listrik hampir setiap hari.
“Di sini listrik hanya menyala malam sampai pagi, tapi siang sekitar jam 12-an, listrik mati,” kata Aniyah.
Pun juga dengan internet. Di sini, internet terbilang masih belum stabil walaupun sinyal sudah mencapai jaringan 4G. Untuk dapat mengakses layanan internet di siang hari, banyak warga menyewa koneksi internet dari alat pemancar yang hanya dimiliki oleh beberapa keluarga saja. Mereka perlu merogoh kocek sebesar Rp10 ribu untuk dapat mengakses jaringan internet seharian dari pemilik pemancar berbasis satelit itu.
Keterbatasan ini memengaruhi cara masyarakat bertransaksi sehari-hari. Masyarakat Pulau Geser masih belum tersentuh transaksi non-tunai, berbeda dengan penduduk di wilayah perkotaan atau pulau besar lainnya. Bahkan istilah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) masih asing di telinga mereka. Rupiah kartal masih jadi tulang punggung
Minimnya akses ke perbankan modern menjadi persoalan lain. Di Pulau Geser belum ada ATM satu pun. Masyarakat hanya bisa melakukan tarik tunai di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Maluku dan Maluku Utara yang berlokasi di depan kantor kecamatan. Di tengah keterbatasan jaringan internet dan akses perbankan, maka uang dalam bentuk kartal masih menjadi tulang punggung alias backbone roda perekonomian pulau.
Syahdan, ketergantungan pada uang kartal menghadirkan masalah lain: uang lusuh yang beredar sering kali dalam kondisi rusak.
Aniyah, misalnya, khawatir ketika menerima uang kartal yang sudah robek dari pembeli. Ia mengeluhkan kondisi uang-uang yang sudah tak layak edar, sambil memegang selembar uang kertas yang sudah terlipat-lipat dan sedikit robek.
"Uang-uang ini sudah banyak yang robek, kalau diberikan ke pelanggan, rasanya enggak enak. Kasihan juga mereka dapat kembalian seperti ini,” keluhnya sambil mengusap lembaran uang itu dengan jari-jarinya, mencoba meluruskan sudut-sudut yang terkoyak.
Tak heran uang lusuh lumrah beredar di sekitar. Dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat, rupiah kartal menjadi kebutuhan utama, sebuah kenyataan yang mendesak agar lembaran rupiah layak edar tetap tersedia di tangan mereka. Situasi ini yang mendorong Bank Indonesia (BI) dan TNI Angkatan Laut (TNI AL) menggelar Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) tahun 2024.
Ketika Rabu pagi (23/10), masyarakat Pulau Geser menyambut kedatangan tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) tahun 2024 sebagai misi dari Bank Indonesia dan TNI AL untuk memastikan ketersediaan uang rupiah layak edar di pelosok negeri.
Mereka mendapati harapan baru ketika Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Lada 521 berlabuh membawa berbagai layanan; penukaran uang rupiah, sosialisasi Cinta, Bangga, Paham (CBP) rupiah, penyaluran bantuan sosial (bansos), serta layanan kesehatan gratis.
Bagi masyarakat sekitar yang kesehariannya bergantung pada transaksi tunai, mendapatkan rupiah dalam kondisi baik merupakan hal yang sangat berarti. Mereka berbondong-bondong menukarkan uang mereka ke layanan kasir Bank Indonesia yang digelar di kantor kecamatan. Mereka menukarkan uang-uang yang sudah lusuh, robek, dengan uang rupiah emisi terbaru. Bank Indonesia membawa uang sebesar Rp1,64 miliar dengan beragam nominal pecahan sebagai modal awal penukaran uang di Pulau Geser.
"Kami menyediakan uang yang berkualitas, dengan menarik uang yang lusuh, yang jelek, dengan mengganti uang yang baru atau clean money policy. Kegiatan ini sejatinya sudah kita mulai di 2012, tetapi baru kita membuat kegiatan yang terpola, terprogram itu sejak tahun 2021," jelas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim saat mendampingi Tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat.
Tatkala layanan penukaran rupiah sedang berlangsung, Saleman (53), seorang nelayan Pulau Geser terlihat menggenggam beberapa lembar uang usangnya sambil memilah sesuai dengan nominal pecahan untuk ditukarkan.
Dengan wajah penuh antusiasme, ia menukarkan uang-uang lamanya yang terkumpul dari hasil tangkap ikan. Total uang yang ia bawa mencapai Rp1.073.000, terdiri atas pecahan Rp1.000, Rp2.000, Rp10.000, dan Rp20.000. Sebagai nelayan, dirinya mengaku senang memegang uang baru karena lembaran uang yang ia simpan sebelumnya acap kali lusuh, robek hingga terkoyak karena melaut.
Sosok Aniyah dan Saleman ini menggambarkan bahwa situasi di tengah mata pencaharian masyarakat yang bergelut dengan laut dan ladang, uang kartal rupiah bukan sekadar alat tukar. Rupiah menjadi saksi yang menghubungkan kehidupan para nelayan, pedagang, dan petani dalam ritme perekonomian yang terus bergerak di negeri seribu rempah. Jaga kedaulatan negara lewat rupiah
Selama perjalanan Ekspedisi Rupiah Berdaulat di wilayah Maluku, setiap pulau mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Namun pulau-pulau tertinggal, terdepan, terluar (3T) di wilayah Maluku memiliki kesamaan dalam aspek transaksi sehari-hari, yakni uang rupiah logam dianggap sudah tidak berlaku.
Saat kapal bertolak ke Pulau Buru untuk melanjutkan ekspedisi ke Desa Tifu, Kabupaten Buru Selatan, tim ekspedisi menemukan bahwa uang logam sudah dianggap tidak berlaku sebagai alat pembayaran.
Mama Thea (60), salah satu pemilik toko kelontong di Desa Tifu mengeluh kesulitan menggunakan uang logam, khususnya ketika bertransaksi di pasar. Hampir semua warga di pulau ini mulai mengabaikan keberadaan uang logam dalam aktivitas jual-beli. Padahal, menurut aturan resmi dari Bank Indonesia (BI), uang logam pecahan Rp50 hingga Rp1.000 masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Fenomena ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang rupiah sebagai mata uang resmi yang berlaku.
Setelah mengikuti sosialisasi yang bertajuk ‘Cinta, Bangga, Paham (CBP) Rupiah’ dari Bank Indonesia, Mama Thea mengaku baru tahu jika uang logam ternyata masih bisa digunakan. Dirinya berharap setelah adanya sosialisasi tersebut, masyarakat sekitar mulai kembali menggunakan uang logam sebagai alat pembayaran sehari-hari.
“Selama ini (uang) logam hanya disimpan saja sebagai koleksi. Susah buat dibelanjakan di pasar karena tidak ada yang menerima,” ucapnya.
Dalam hal ini, sosialisasi dari Bank Indonesia mengisi celah ketidakpahaman masyarakat itu untuk menumbuhkan pemahaman utuh soal rupiah. Setelah mendapat banyak keluhan dan pertanyaan soal uang logam, Tim Ekspedisi Rupiah Berdaulat selalu memberikan edukasi bahwa semua uang, baik kertas maupun logam, tetap sah selama belum ada pencabutan resmi. Hal ini menjadi sangat penting menimbang peran rupiah di pulau terluar yang bukan sekadar alat transaksi, melainkan simbol kedaulatan negara.
Selama masyarakat di wilayah 3T masih menggunakan rupiah, simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap terjaga di daerah tersebut.
Baca juga: Artikel - Mengais pundi-pundi rupiah dari tanaman rosella
Baca juga: Artikel - Saat mama-mama di Desa Oeseli memanen rupiah dari hasil laut
Ekspedisi Rupiah Berdaulat menjadi bukti kehadiran negara di batas terluar Indonesia, namun di balik itu, tersirat harapan bahwa suatu hari akses perbankan dan infrastruktur teknologi yang merata akan menjangkau mereka, menghubungkan masyarakat pulau dengan dunia yang lebih luas. Sampai saat itu tiba, masyarakat Pulau Geser, Pulau Buru dan pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku tetap setia pada rupiah kartal mereka, selembar demi selembar, sebagai simbol kedaulatan dan identitas bangsa di ujung timur Indonesia.
Baca juga: Artikel - Menerjang gelombang gemakan rupiah di pulau terluar
Bagi Bank Indonesia sendiri, memperkuat kesadaran cinta terhadap rupiah tidak hanya membantu memperlancar transaksi ekonomi, melainkan juga memperkokoh rasa kebanggaan dan persatuan nasional. Sementara bagi sosok seperti Aniyah, Saleman, dan Mama Thea lebih dari itu. Uang-uang rupiah memiliki nilai sentimental – hasil dari transaksi yang menghidupkan usahanya sekaligus menyambung kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengukir kedaulatan rupiah hingga pelosok Negeri Seribu Rempah