Kupang (ANTARA) - Kuasa hukum Harvey Moeis Junaedi Saibih mengkritik putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey dan terdakwa lain dalam kasus dugaan korupsi timah. 

Dalam sidang putusan banding Kamis (13/2) di Jakarta, vonis Harvey diperberat dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun.

Dua terdakwa lain, yakni mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan pengusaha Helena Lim. Hakim menjatuhkan vonis penjara kepada Mochtar Riza 20 tahun penjara.

Sementara itu, Helena Lim vonisnya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara dan dihukum membayar uang pengganti Rp900 juta.

“Helena uang pengganti Rp900 juta. Barang yang disita melebihi nilainya, ini menyalahi kaidah hukum,” ujar Junaedi, Kamis 

Menurutnya, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menandakan wafatnya rule of laws di Indonesia atau prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan politis/pejabat. 

“Telah wafat rule of Laws pada hari Kamis, 13 Februari 2025 setelah rilisnya bocoran putusan Pengadilan Tinggi atas banding yang diajukan JPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat,” 

Junaedi menambahkan prinsip dan rasio hukum tidak boleh kalah oleh pertimbangan populisme yang membabi-buta.

“Mohon doanya agar Hukum dapat tegak kembali dan ratio legis tidak boleh kalah oleh ratio populis apalagi akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas,” paparnya. 

Baca juga: MA: Biar masyarakat yang nilai vonis Harvey yang diperberat
Baca juga: Kejagung menghormati vonis Harvey Moeis yang diperberat jadi 20 tahun

Hingga kini pengadilan belum dapat membuktikan kebenaran dari klaim kerugian lingkungan yang dimasukkan sebagai kerugian negara senilai Rp300 triliun, termasuk tidak ada temuan suap dan gratifikasi. 

Karena itu, Junaedi mempertanyakan pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun. 

Menanggapi dibebankannya denda sebesar denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan terhadap mantan Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi. Junaedi berpendapat, pengenaan pidana tambahan atau denda (uang pengganti) seharusnya berdasarkan perhitungan faktual alias nilai buku, dimana dihitung atas dasar besaran yang dinikmati Riza selama proses kerja sama smelter berlangsung.

Junaedi mencatat, BPKP tidak pernah melakukan perhitungan secara mendalam mengenai hal tersebut. Terlebih perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak didasarkan atas suatu neraca laba/rugi.

“Yang dihitung hanyalah besaran jumlah pengeluaran PT Timah dalam kerja sama smelter tanpa pernah menghitung berapa besaran jumlah yang dihasilkan dari penjualan timah hasil kerja sama smelter,” ungkapnya. 

Dalam laporan tahunan PT Timah, lanjut dia, secara sektoral dari kerja sama smelter membukukan keuntungan Rp233 miliar. 

“Lalu dari mana hitungan kerugian negara dihitungnya? Biar anak akuntansi semester 1 menjawab yang tahu cara membuat neraca laba/rugi,” ucap Junaedi


Pewarta : KK
Editor : Kornelis Aloysius Ileama Kaha
Copyright © ANTARA 2025