Jakarta (ANTARA) - Transformasi pertanian merupakan proses perubahan yang bertujuan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas sektor pertanian di Indonesia.
Perubahan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari penggunaan teknologi modern, pengembangan varietas tanaman unggul, pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, hingga peningkatan kapasitas petani dan penguatan pasar produk pertanian.
Pada akhirnya, transformasi ini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjamin ketersediaan produk pertanian yang berkualitas dan berkelanjutan.
Dalam konteks kebijakan pertanian, tujuan transformasi ini meliputi peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas produk, serta peningkatan pendapatan petani dan ketahanan pangan.
Transformasi ini juga harus mampu menjawab tantangan perubahan iklim, yang kian nyata dengan semakin seringnya terjadi fenomena cuaca ekstrem seperti El Niño.
Pengalaman El Niño dua tahun lalu seharusnya menjadi momentum bagi para pemangku kebijakan untuk segera mendorong transformasi pertanian yang lebih adaptif dan tangguh.
Sayangnya, respons bangsa ini terhadap dampak El Niño banyak yang berpendapat masih jauh dari optimal.
Pertanyaan besar pun muncul, mengapa bangsa ini seperti tak berdaya menghadapi fenomena yang sebenarnya bukan hal baru? Mengapa langkah antisipatif terkesan minim, hingga kondisi darurat beras tak terhindarkan?
Dampak El Niño benar-benar menghantam sektor pertanian, khususnya produksi beras nasional. Produksi beras mengalami penurunan signifikan, menyebabkan harga melambung tinggi dan memicu gelombang protes masyarakat.
Yang lebih ironis, ketergantungan terhadap impor beras semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa lebih dari 4 juta ton beras harus diimpor dari Thailand, Vietnam, India, Myanmar, dan negara lainnya.
Dengan tingkat impor yang melebihi 10 persen dari produksi domestik, Indonesia kehilangan status negara dengan swasembada beras menurut standar badan pangan dunia FAO.
Penurunan produksi beras nasional semakin terlihat dalam angka yang dirilis BPS. Pada 2024, produksi beras tercatat sebesar 30,41 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 31,10 juta ton.
Selisih sekitar 700 ribu ton ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi dampak El Niño secara efektif.
Hingga kini, respons masyarakat di tanah air masih sebatas menyalahkan El Niño sebagai penyebab utama, dan belum ada solusi konkret yang menjanjikan perubahan untuk sektor pertanian secara umum. Padahal ini adalah masalah bersama yang menyangkut hajat pangan orang banyak.
Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus tergantung pada impor pangan. Ketergantungan ini bukan hanya membahayakan stabilitas harga di pasar domestik, tetapi juga menjadikan Indonesia rentan terhadap gejolak global.
Harga pangan dunia yang fluktuatif dan kebijakan proteksionisme dari negara-negara produsen beras dapat semakin memperburuk situasi jika Indonesia tidak memiliki strategi mandiri untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam jangka panjang, ketidakmampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim juga akan berdampak pada kesejahteraan petani. Saat produksi menurun, harga pupuk naik, dan distribusi tidak efisien, petani semakin terhimpit dan kehilangan daya saing.
Transformasi pertanian bukan hanya soal teknologi atau modernisasi alat produksi, tetapi juga soal keberpihakan pada petani kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Langkah strategis
Dihadapkan pada kenyataan ini, transformasi pertanian yang berkualitas harus segera diwujudkan dengan langkah-langkah strategis yang mencakup berbagai aspek krusial.
Peningkatan produktivitas harus dilakukan melalui penerapan teknologi pertanian modern, penguatan kualitas benih, dan pemanfaatan pupuk yang lebih efektif.
Diversifikasi tanaman juga perlu didorong agar ketergantungan terhadap satu komoditas dapat dikurangi, sehingga pendapatan petani lebih stabil.
Selain itu, riset dan inovasi dalam bidang pertanian harus lebih mendapat perhatian. Negara-negara seperti China, India, dan Brasil telah membuktikan bahwa investasi besar dalam riset pertanian berkontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi pangan mereka.
Indonesia harus memperkuat lembaga penelitian dan mendorong sinergi antara akademisi, industri, dan petani agar inovasi bisa langsung diterapkan di lapangan.
Pengembangan sistem irigasi menjadi faktor penting dalam menjaga efisiensi penggunaan air dan meningkatkan produktivitas.
Dalam konteks ini, teknologi irigasi presisi seperti drip irrigation dan smart irrigation system yang berbasis sensor harus mulai diterapkan di berbagai daerah untuk mengurangi pemborosan air dan meningkatkan efisiensi pertanian.
Selain itu, sistem pemasaran produk pertanian perlu diperkuat agar petani mendapatkan harga yang lebih menguntungkan dan masyarakat memperoleh produk berkualitas dengan harga yang stabil.
Di sisi lain, keberlanjutan ekosistem pertanian juga harus menjadi perhatian utama. Deforestasi yang dilakukan untuk perluasan lahan pertanian tanpa pengelolaan yang tepat justru dapat memperburuk dampak perubahan iklim.
Praktik agroforestry yang menggabungkan pertanian dengan kehutanan harus mulai dikembangkan lebih luas sebagai solusi untuk menjaga keseimbangan ekologi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan.
Peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan, pendampingan, serta akses terhadap informasi dan teknologi harus menjadi prioritas dalam kebijakan pertanian ke depan.
Di era digital, pemanfaatan teknologi informasi dalam sektor pertanian menjadi keharusan. Teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi produksi, distribusi, hingga pemasaran produk pertanian.
Kerja sama antara pemerintah, petani, dan pemangku kepentingan lainnya juga harus diperkuat agar kebijakan yang diterapkan benar-benar berdampak positif bagi sektor pertanian secara luas.
Logistik pertanian adalah aspek lain yang belum mendapat perhatian serius dari semua kalangan yang terkait termasuk pemerintah.
Padahal, sistem logistik yang efisien akan memastikan distribusi hasil pertanian lebih cepat dan merata, mengurangi potensi pemborosan, serta meningkatkan daya saing produk pertanian di pasar domestik dan internasional.
Di tengah ancaman perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi global, ketahanan pangan harus menjadi prioritas nasional yang tidak bisa ditunda.
Transformasi pertanian bukan sekadar wacana, tetapi sebuah keharusan. Jika tidak segera dilakukan dengan langkah nyata dan terukur, sektor pertanian Indonesia akan terus berada dalam posisi rentan terhadap guncangan eksternal.
Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi negara agraris yang kuat, tetapi tanpa strategi yang tepat dan kebijakan yang berpihak pada petani serta riset pertanian yang maju, negara ini akan terus menghadapi krisis pangan yang berulang.
Saatnya semua pihak termasuk pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat bersinergi untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih adaptif, produktif, dan berkelanjutan.
Semoga ini menjadi refleksi bersama demi masa depan pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Quo vadis transformasi pertanian Indonesia?