Jakarta (ANTARA) - Konflik bersenjata memiliki dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa besar, mulai dari hilangnya nyawa, cedera massal, pengungsian paksa, hingga hancurnya infrastruktur dan menurunnya aktivitas ekonomi.

Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi yang efektif dapat memainkan peran penting dalam mencegah konflik bersenjata.

Berdasarkan penelitian terbaru Dana Moneter Internasional (IMF), kebijakan ekonomi yang tepat dapat mengurangi potensi konflik dengan meningkatkan stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.

Setiap 1 dolar yang diinvestasikan dalam upaya pencegahan dapat menghemat antara 26 hingga 103 dolar dalam biaya terkait konflik, termasuk biaya bantuan kemanusiaan serta hilangnya output ekonomi.

Temuan ini memiliki implikasi penting bagi Indonesia, negara dengan sejarah panjang tantangan konflik di berbagai daerah, seperti Aceh, Poso, dan Papua.

Konflik bersenjata tidak hanya menimbulkan korban jiwa tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Menurut laporan Bank Dunia, negara-negara yang mengalami konflik berkepanjangan kehilangan rata-rata 2–3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Contohnya, perang saudara di Suriah sejak 2011 telah menyebabkan kontraksi ekonomi lebih dari 60%, dengan kerugian mencapai 226 miliar dolar AS dalam satu dekade.

Di Indonesia, konflik di Aceh yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade menyebabkan perlambatan ekonomi, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut berada di bawah rata-rata nasional sebelum perjanjian damai Helsinki 2005.

Konflik di Poso pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an juga menyebabkan stagnasi ekonomi di Sulawesi Tengah, di mana investasi dan kegiatan ekonomi melambat drastis akibat ketidakstabilan.

Begitu pula di Papua, di mana ketegangan sosial dan separatisme telah menghambat pembangunan infrastruktur serta investasi sektor pertambangan dan energi. Tanpa kebijakan ekonomi yang tepat, daerah-daerah ini sulit untuk pulih dari konflik dan mencapai pertumbuhan yang inklusif.

Berdasarkan penelitian IMF, terdapat tiga area utama kebijakan makroekonomi yang terbukti efektif dalam menurunkan risiko konflik. Pertama, negara dengan pengelolaan fiskal yang baik cenderung memiliki tingkat konflik yang lebih rendah. Ketika pemerintah mampu mengumpulkan pendapatan pajak yang cukup dan mengalokasikan dana untuk pembangunan, masyarakat lebih sejahtera dan kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam kekerasan.

Data IMF menunjukkan bahwa negara dengan rasio pendapatan pajak terhadap PDB yang lebih tinggi memiliki peluang konflik 50% lebih rendah dibandingkan negara dengan basis pajak yang lemah.

Di Indonesia, peningkatan penerimaan pajak dapat berkontribusi pada penguatan kapasitas negara dalam menyediakan layanan publik dan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah rentan konflik.

Sebagai contoh, pada 2022, penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp2.034 triliun, namun rasio pajak terhadap PDB masih rendah, yaitu sekitar 9,1%, lebih kecil dibandingkan rata-rata negara berkembang yang berkisar 15–20%. Dengan meningkatkan efisiensi pajak dan memperkuat anggaran pembangunan, pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan yang menjadi pemicu ketegangan sosial.

Kedua, pasar tenaga kerja yang resilien untuk mengurangi ketegangan sosial sangat diperlukan. Hubungan antara pengangguran dan konflik telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi. Ketika tingkat pengangguran tinggi, terutama di kalangan pemuda, risiko kekerasan dan ketidakstabilan meningkat. Studi menunjukkan bahwa peningkatan 1% dalam tingkat pengangguran dapat meningkatkan kemungkinan konflik sebesar 5%.

Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka pada 2023 mencapai 5,32%, dengan jumlah pengangguran sekitar 7,86 juta orang. Wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi seperti Papua dan Maluku sering kali menghadapi risiko ketegangan sosial yang lebih besar.

Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja, seperti investasi di sektor padat karya, pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta program pelatihan vokasi dapat membantu mengurangi risiko konflik.

Program Kartu Prakerja yang telah menjangkau 17,2 juta penerima manfaat sejak 2020 adalah contoh kebijakan yang dapat diperluas untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Selain itu, peningkatan akses terhadap modal usaha bagi masyarakat di daerah konflik dapat memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial.

Ketiga, keterlibatan internasional untuk meningkatkan kapasitas negara diperlukan untuk memperoleh dukungan keuangan dan teknis dari lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia dapat membantu negara-negara yang rentan terhadap konflik untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Penelitian IMF menunjukkan bahwa bantuan keuangan dari IMF dikaitkan dengan penurunan kemungkinan kekerasan sebesar 1,5–4 persen.

Indonesia telah menerima berbagai bentuk bantuan internasional untuk mendukung stabilitas ekonomi dan pembangunan di daerah rentan konflik. Contohnya, proyek "Papua Resilience" yang didanai oleh Bank Dunia bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap layanan dasar dan peluang ekonomi bagi masyarakat di Papua.

Selain itu, pendanaan dari Asian Development Bank (ADB) untuk proyek infrastruktur di Indonesia bagian timur telah membantu mengurangi kesenjangan pembangunan yang sering menjadi akar konflik.

Implikasi Kebijakan

Berdasarkan temuan di atas, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan di Indonesia untuk mencegah konflik melalui kebijakan makroekonomi.

Pertama, reformasi pajak dan peningkatan anggaran pembangunan diperlukan untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan pajak, dan pengurangan kebocoran pajak. Perlu untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan di daerah rawan konflik.

Kedua, penguatan pasar tenaga kerja dan pemberdayaan ekonomi lokal dapat dilakukan dengan mengembangkan program pelatihan kerja berbasis industri di daerah dengan tingkat pengangguran tinggi, memberikan insentif investasi bagi sektor usaha yang menciptakan lapangan kerja di daerah rentan konflik dan memperkuat peran UMKM dalam pembangunan ekonomi lokal melalui akses modal yang lebih luas.

Ketiga, kerja sama internasional dapat dilakukan dengan memanfaatkan dukungan keuangan dari IMF, Bank Dunia, dan ADB untuk proyek pembangunan di daerah tertinggal dan mengembangkan program kemitraan antara pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta untuk meningkatkan kapasitas negara dalam menangani potensi konflik.

Dengan memperkuat kapasitas fiskal, menciptakan pasar tenaga kerja yang resilien, dan meningkatkan keterlibatan internasional, Indonesia dapat lebih efektif dalam mencegah konflik dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang kuat dapat menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi. Misalnya, Jerman telah berhasil mempertahankan ketahanan ekonominya dengan menerapkan kebijakan anggaran seimbang dan surplus fiskal yang memungkinkan respons cepat terhadap krisis keuangan.

Di sisi lain, negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura telah menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan berbasis keterampilan tinggi, yang memungkinkan ekonomi mereka beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan global dan mencegah pengangguran struktural.

Selain itu, peningkatan keterlibatan internasional telah terbukti memperkuat perekonomian berbagai negara. Uni Eropa, misalnya, telah menunjukkan bahwa integrasi ekonomi antarnegara dapat meningkatkan stabilitas dan daya saing kawasan. China juga berhasil memanfaatkan perdagangan internasional dan kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) untuk memperluas pengaruh ekonominya dan mempercepat pertumbuhan domestik.

Oleh karena itu, investasi dalam kebijakan ekonomi yang berpihak pada pembangunan berkelanjutan bukan hanya menjadi kebutuhan ekonomi, tetapi juga strategi vital untuk menjaga stabilitas nasional.

Dengan belajar dari praktik terbaik negara lain, Indonesia dapat memperkuat daya saingnya di kancah global, mengurangi risiko konflik sosial, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta berkelanjutan.

*) Dr Aswin Rivai SE MM adalah Pemerhati Ekonomi Dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengatasi konflik dengan kebijakan ekonomi


Pewarta : Dr Aswin Rivai SE MM *)
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025