Jakarta (ANTARA) - Pada Maret 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai 16.379,80 IDR/USD, sebuah angka yang menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan masyarakat Indonesia.

Harga beras impor melonjak, minyak goreng menjadi semakin sulit dijangkau, dan perusahaan yang bergantung pada utang dalam dolar mulai terhimpit.

Pelemahan rupiah seolah menjadi cerita yang tidak pernah selesai dalam perjalanan ekonomi Indonesia, dengan tekanan yang kini kembali mengemuka pada Maret 2025.

Rupiah menghadapi tekanan dari dua arah besar, yaitu faktor eksternal dan internal. Dari sisi luar, kebijakan moneter Amerika Serikat menjadi pemicu utama. The Fed, bank sentral AS, menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi di negaranya, sehingga dolar menjadi lebih menarik bagi investor dunia.

Akibatnya, modal mengalir keluar dari Indonesia, melemahkan nilai tukar rupiah. Data dari Indonesia Investments mencatat bahwa kenaikan suku bunga The Fed secara konsisten memengaruhi mata uang negara berkembang, seperti Indonesia.

Ketidakpastian global juga memperburuk situasi ini. Perang dagang antara AS dan Kanada serta konflik geopolitik, seperti ketegangan Iran-Israel, mendorong investor mencari perlindungan di dolar sebagai aset aman, sebagaimana dilaporkan oleh Nikkei Asia. Rupiah pun menjadi korban dari gejolak dunia tersebut.

Dari dalam negeri, tantangan yang dihadapi juga tidak ringan. Indonesia masih sangat bergantung pada impor, khususnya minyak, gas, dan bahan baku industri. Meskipun neraca perdagangan mencatat surplus sebesar 3,12 miliar dolar AS pada Februari 2025,menurut Trading Economics, kebutuhan dolar untuk membayar impor tetap tinggi, sehingga menekan nilai rupiah.

Selain itu, pengelolaan fiskal yang kurang meyakinkan, seperti keterlambatan penyusunan APBN dan utang publik yang terus meningkat, mengurangi kepercayaan investor. Jurnal PMC menyebutkan bahwa ketidakpastian ini meningkatkan “‘premi risiko", yaitu biaya tambahan yang diminta investor akibat ketidakstabilan ekonomi.

Indonesia ibarat kapal yang menghadapi kebocoran di tengah gelombang besar, sehingga tanpa perbaikan menyeluruh, stabilitas sulit tercapai.

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) telah berupaya mengatasi situasi ini dengan menaikkan suku bunga dan mengalokasikan cadangan devisa -simpanan mata uang asing milik negara- ke pasar untuk menahan laju pelemahan rupiah.

Bank Indonesia (BI) berusaha mempertahankan rupiah dengan intervensi agresif, termasuk menjual 8 miliar dolar AS dari cadangan devisa dalam tiga bulan terakhir, menunjukkan upaya keras untuk mengendalikan volatilitas.

Kini, pada 2025, meskipun cadangan devisa mencapai 156,1 miliar dolar AS pada Januari, pelemahan rupiah tetap berlangsung di tengah likuiditas perbankan yang ketat, menegaskan bahwa solusi cepat tidak cukup.

Seperti menutup lubang kecil pada ban bocor dengan tambalan sementara, masalah hanya tertunda, bukan terselesaikan. Tanpa mengatasi akar permasalahan, seperti ketergantungan impor dan stabilitas fiskal, rupiah akan tetap rentan, terlebih dengan munculnya ancaman baru, seperti tren penggunaan kripto yang mulai menggoyang mata uang tradisional.

Lalu, langkah apa yang dapat diambil? Ada tiga solusi mendasar yang dapat dipahami oleh masyarakat luas, ditambah satu usulan tambahan untuk masa depan.

Pertama, meningkatkan kepemilikan cadangan emas nasional menjadi prioritas. Negara-negara dengan mata uang kuat, seperti Amerika Serikat dengan cadangan lebih dari 8 ribu ton emas atau Swiss dengan 1.040 ton, memiliki simpanan emas besar sebagai penyangga saat ekonomi global bergejolak.

Emas tetap bernilai, meskipun harganya fluktuatif. Dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, contohnya Jerman yang menerbitkan surat utang 500 miliar dolar AS pada 2025 untuk memperkuat pertahanan, Indonesia perlu memperbanyak cadangan emas.

Produksi emas kita mencapai 110 ton pada 2023,menurut Mining Technology, dan smelter Freeport di Gresik menambah 50 ton per tahun. Jika diperluas melalui tambang baru di Papua, cadangan ini bisa menjadi benteng melawan krisis, seperti yang dilakukan Rusia pada 2022 saat menghadapi sanksi ekonomi.

Kedua, mengembalikan fungsi bank sebagai perantara sejati dapat dilakukan dengan menghapus bunga dan menerapkan peran murni sebagai pengelola titipan serta wakil pemilik dana.

Bank Syariah Indonesia (BSI), dengan 99 persen sahamnya dimiliki bank-bank BUMN, seperti Mandiri dan BNI, memiliki posisi kuat untuk memulai langkah ini.

Dalam sistem ini, bank tidak perlu menyertakan modalnya sendiri atau menanggung risiko bisnis, melainkan menawarkan dua akad.

Pertama, akad titipan, sehingga nasabah membayar biaya kecil, misalnya Rp5.000 per bulan, untuk simpanan aman, tanpa bunga.

Kedua, akad wakalah bil ujrah, di mana bank sebagai wakil menyalurkan dana nasabah ke pengelola usaha riil, seperti UMKM dan mengawasi penggunaannya, dengan menerima upah atas jasanya.

Pengelola bisnis menjalankan usaha dan membagi hasil langsung kepada nasabah sesuai keuntungan riil. Pendekatan ini membebaskan bank dari biaya bunga, menghilangkan biaya dana secara langsung, dan menggerakkan ekonomi melalui dukungan kepada sektor riil.

Usulan tambahan adalah memperkuat ketahanan pangan langsung dari rumah tangga. Ketegangan geopolitik yang tidak terprediksi dapat memicu lonjakan harga pangan dunia.

Menanam sayuran, seperti kangkung atau bayam menggunakan hidroponik dalam polibek (wadah plastik bekas yang murah) dapat menjadi solusi praktis. Di teras atau halaman rumah, panen dapat diperoleh dalam sebulan, menghemat pengeluaran ratusan ribu per keluarga.

Jika 10 juta rumah tangga menerapkannya, ketergantungan pada impor pangan berkurang, inflasi terkendali, dan rupiah mendapat dukungan tambahan.

Menurut Trading Economics, impor pangan Indonesia masih tinggi, dan langkah ini melengkapi program pemerintah, seperti food estate yang sedang dikembangkan.

Jadi, solusi cepat, seperti suntik devisa atau menaikkan suku bunga hanya menunda masalah, ibarat obat sakit kepala tanpa menyembuhkan penyebabnya. Fokus pada perbaikan fundamental yang efisien terbukti lebih efektif daripada mengejar pertumbuhan, tanpa arah jelas.

Dengan memperbanyak cadangan emas, mengembalikan fungsi bank, memanfaatkan UMKM, dan memulai ketahanan pangan dari rumah, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh.

Dalam tiga tahun, jika semua pihak bekerja sama, rupiah dapat lebih kuat, pertumbuhan ekonomi 8 persen dapat lebih dekat untuk dicapai, dan manfaatnya dirasakan masyarakat luas.

Kini, saatnya bertindak, dukung produk lokal, mulailah menanam di halaman rumah, dan bersama kita wujudkan perubahan nyata untuk masa depan yang lebih stabil.

*) Baratadewa Sakti P adalah praktisi keuangan keluarga & pendamping keuangan bisnis UMKM

Editor: Masuki M Astro

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Langkah konkret menguatkan rupiah secara fundamental


Pewarta : Baratadewa Sakti Perdana *)
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025