Kupang (Antara NTT) - Dekan Fakultas Ilmu Pemerintahan (Fisip) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Marianus Kleden mengatakan, perubahan sistem pemilu bukan solusi untuk menghindari politik uang dalam pemilu.
"Sistem pemilu itu apakah proprosional terbuka atau tertutup tidak bisa menghindari politik uang," kata Marianus Kleden kepada Antara di Kupang, Senin terkait wacana perubahan sistem pemilu dalam rancangan RRU Pemilu yang akan dibahas pemerintah dan DPR.
Partai Golkar mengusulkan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2019 karena melihat maraknya politik uang dalam pemilu-pemilu sebelumnya, kata anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian
Menurut dia, sebagus apapun sistem pemilu yang digunakan di Indonesia, jika budaya politik masih tidak beradab, maka politik uang tetap saja akan terjadi.
Dosen Antropologi Politik pada FISIP Unwira ini mengusulkan agar pemerintah harus melakukan audit terhadap partai politik pada pra maupun pascapemilu.
Kekayaan para pengurus partai politik harus dilaporkan dan pendaftaran secara online dan bisa diketahui publik.
Bahkan kalau ada sumbangan untuk partai maka jumlahnya harus diumumkan dan uangnya harus masuk ke rekening partai, bukan kepada pengurus partai yang bisa dimanfaatkan untuk membeli suara dalam setiap pemilu, katanya.
"Kalau kita persalahkan sistem. Di dunia ini tidak ada sistem pemilu yang betul-betul sempurna," katanya.
Pandangan sedikit berbeda disampaikan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang yang berpendapat, sehebat apapun sistem pemilu yang dianut bangsa ini, tidak akan mengubah perilaku politik para politisi.
"Bagi saya, apapun sistem pemilunya, jika budaya politik kita masih tidak beradab, maka sehebat apapun sistem tidak akan mengubah perilaku politik para politisi kita," katanya.
Menurut Ahmad Atang, hal yang paling dibutuhkan rakyat saat ini adalah bukan merubah sistem tapi merubah mental politisi yang tidak berbudaya menjadi politisi yang berbudaya dalam memperoleh kekuasaan.
"Sistem pemilu itu apakah proprosional terbuka atau tertutup tidak bisa menghindari politik uang," kata Marianus Kleden kepada Antara di Kupang, Senin terkait wacana perubahan sistem pemilu dalam rancangan RRU Pemilu yang akan dibahas pemerintah dan DPR.
Partai Golkar mengusulkan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2019 karena melihat maraknya politik uang dalam pemilu-pemilu sebelumnya, kata anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dari Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian
Menurut dia, sebagus apapun sistem pemilu yang digunakan di Indonesia, jika budaya politik masih tidak beradab, maka politik uang tetap saja akan terjadi.
Dosen Antropologi Politik pada FISIP Unwira ini mengusulkan agar pemerintah harus melakukan audit terhadap partai politik pada pra maupun pascapemilu.
Kekayaan para pengurus partai politik harus dilaporkan dan pendaftaran secara online dan bisa diketahui publik.
Bahkan kalau ada sumbangan untuk partai maka jumlahnya harus diumumkan dan uangnya harus masuk ke rekening partai, bukan kepada pengurus partai yang bisa dimanfaatkan untuk membeli suara dalam setiap pemilu, katanya.
"Kalau kita persalahkan sistem. Di dunia ini tidak ada sistem pemilu yang betul-betul sempurna," katanya.
Pandangan sedikit berbeda disampaikan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang yang berpendapat, sehebat apapun sistem pemilu yang dianut bangsa ini, tidak akan mengubah perilaku politik para politisi.
"Bagi saya, apapun sistem pemilunya, jika budaya politik kita masih tidak beradab, maka sehebat apapun sistem tidak akan mengubah perilaku politik para politisi kita," katanya.
Menurut Ahmad Atang, hal yang paling dibutuhkan rakyat saat ini adalah bukan merubah sistem tapi merubah mental politisi yang tidak berbudaya menjadi politisi yang berbudaya dalam memperoleh kekuasaan.