Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur,  Dr Ahmad Atang, MSi mengatakan argumentasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno yang menolak membawa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena mereka telah mendegradasi lembaga hukum itu sendiri.

"Bahkan sikap tersebut justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Selasa (21/5), terkait sikap BPN yang menolak mengadukan sengketa Pilpres 2019 ke MK dengan alasan tidak mempercayai lagi lembaga hukum tersebut.

KPU RI pada Selasa (21/5) dini hari telah mengumumkan bahwa pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin meraih suara terbanyak sebagai calon presiden-wakil presiden dengan mengumpulkan 50,55 persen dari pasangan calon 02 Prabowo-Sandiaga 40,55 persen.

Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak untuk mengadu kecurangan Pilpres 2019 ke MK, dengan alasan lembaga peradilan pemilu itu dinilai sudah tidak adil dalam mengadili sengketa pemilu.

"Penolakan paslon 02 untuk tidak membawa masalah tersebut ke ranah hukum dengan argumen seperti tersebut di atas, patut disayangkan karena mereka telah mendegradasikan lembaga hukum dan justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri," katanya.

Ahmad Atang menambahkan, bentuk penolakan hasil Pilpres 2019 memang telah didengungkan jauh hari, namun kecurigaan dan kecurangan tersebut harus dibuktikan sehingga dapat diuji secara hukum.

Baca juga: KPU NTT: Kami siap hadapi gugatan di MK

Namun jika proses hukum dianggap tidak memadai maka dapat dipastikan bahwa 02 sesungguhnya tidak memiliki bukti yang kuat atas dugaan kecurangan. "Mereka hanya bisa berkoar-koar saja," katanya menegaskan.

"Atau paslon 02 sengaja menghindar dari proses hukum agar kekalahan beruntun yang dimulai dari hasil hitung cepat, perhitungan manual dan apabila kalah lagi melalui jalur hukum, membuat mereka malu tidak berkepanjangan," kata Ahmad Atang.

Sementara pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan mengatakan MK diadakan berdasarkan konstitusi yang dibentuk oleh lembaga politik dan hakimnya juga diseleksi oleh DPR memalui proses fit and proper test.

"Seharusnya politisi Gerindra Fadli Zon itu harus percaya bahwa MK yang dibentuk oleh mereka (DPR-RI) sendiri bisa bertindak adil dalam menyelesaikan sengketa pemilu, dengan catatan harus memiliki bukti-bukti kecurangan yang kuat. Mereka saja tidak percaya, bagaimana dengan kita," katanya.

Namun, Tuba Helan menambahkan ketidakpercayaan BPN Prabowo-Sandiaga terhadap MK itu hanya kamuflase politik belaka untuk menyembunyikan kelemahan mereka, karena mereka benar-benar tidak memiliki bukti kecurangan untuk disandingkan di MK sebagai sengketa Pilpres 2019.

Baca juga: Final Pilpres 2019: Jokowi 55,50 persen, Prabowo 44,50 persen
Baca juga: KPU segera tetapkan calon presiden-cawapres terpilih

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024