Jakarta (ANTARA) - Pemilu Legislatif 2019 menghasilkan lima partai politik dengan perolehan suara terbanyak yaitu PDI Perjuangan (27 juta), Partai Gerindra(17,5 juta), Partai Golkar (17,2 juta), PKB (13,5 juta), dan Partai Nasdem (12,6 juta).
Dari kelima partai tersebut, hanya Gerindra yang bukan parta pengusung dan pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf di Pemilu Presiden 2019, namun perolehan suaranya signifikan sehingga memiliki posisi tawar yang tinggi. Perolehan suara Gerindra sebesar 17,5 juta, setara dengan 78 kursi di DPR RI atau menguasai 13,6 persen kursi di parlemen.
Karena itu peluang Gerindra masuk dalam kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ataupun ikut berkoalisi di parlemen, sangat besar, karena partai tersebut memiliki suara yang patut diperhitungkan.
Tentu saja langkah awal yang harus dilakukan elite politik pasca-Pemilu adalah melakukan komunikasi yang intensif, itu tidak bisa terjadi secara terbuka karena masih kuatnya polarisasi di masyarakat sehingga digagas ide atau wacana rekonsiliasi kedua kubu.
Puncak rekonsiliasi dari dua kubu yang ikut kontestasi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, dilakukan dengan pertemuan antara Presiden terpilih Joko Widodo dengan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tentu saja pertemuan tersebut menandakan secara terbuka kepada masyarakat bahwa komunikasi politik kedua pihak yang pernah berseteru di Pilpres 2019, tidak ada masalah.
Pertemuan tersebut berlangsung pada Sabtu (13/7) di Stasiun MRT, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan bisa disebut mendadak karena Prabowo memberitahukan pimpinan partai politik yang dulu pernah bergabung dalam koalisi Indonesia Adil Makmur, melalui sepucuk surat yang dikirimkan pada Jumat (12/7) malam.
Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Pilpres 2019 telah usai, sehingga polarisasi dan pembelahan di masyarakat harus segera diakhiri. Karena itu tidak ada lagi penyebutan istilah "cebong" bagi pendukung Jokowi, dan "kampret" bagi pendukung Prabowo.
Pertemuan itu menjadi simbol yang ditunjukkan elit politik bahwa polarisasi yang kuat di masyarakat harus segera diakhiri, dan pertemuan tersebut menjadi langkah penjajakan, apakah Gerindra gabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) di dalam kabinet atau berkoalisi di parlemen.
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan tidak cukup satu pertemuan seremonial yang sudah dilaksanakan antara Presiden terpilih Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, sehingga akan ada pertemuan lanjutan kedua tokoh tersebut.
Satu pertemuan tersebut dianggapnya belum cukup menurunkan tensi politik yang terjadi di akar rumput sehingga harus dilakukan dua-tiga kali pertemuan lagi diantara kedua tokoh tersebut.
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pernyataan pers bersama di stasiun kereta MRT di Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Kedua kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 lalu ini bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan selanjutnya naik MRT bersama-sama. (ANTARA/Desca Lidya Natalia/pri)
Tentu saja rencana pertemuan selanjutnya itu tidak bisa dimaknai hanya sebagai seremonial yang menunjukkan bahwa sudah tidak ada lagi permusuhan di antara anak bangsa, namun yang terpenting adalah akan adanya pembicaraan lebih dalam terkait peta politik ke depan.
Andre mengatakan tidak tertutup kemungkinan di pertemuan lanjutan itu akan membahas seperti misalnya Jokowi bertanya kepada Prabowo apa masukannya, dan akan disampaikan program Indonesia Maju dan Indonesia Bangkit untuk menuju Indonesia adil dan makmur.
Menurut dia, kalau Jokowi bisa mengadopsi, mengambil, dan memasukan program Gerindra, itu langkah yang baik dan selama ini Prabowo dalam kampanyenya di Pilpres menargetkan dalam 100 hari akan turunkan harga listrik, harga daging sehingga kalau diadopsi Jokowi, menjadi hal baik.
Andre mengatakan, mengadopsi visi-misi dan program, tidak mengharuskan Gerindra masuk dalam kabinet namun bisa dengan bertemu dan berdiskusi mengenai ide-ide yang baik.
Wujudkan Rekonsiliasi
Pertemuan lanjutan tersebut tampaknya akan terwujud pada Rabu (24/7) ini, yaitu direncanakan Prabowo akan bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputeri di kediaman Presiden Kelima RI tersebut di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Prabowo-Megawati sama-sama merupakan tokoh yang memiliki basis pendukung yang banyak sehingga pertemuan itu bisa dijadikan simbol bahwa antar-elite politik tidak terjadi perpecahan.
Meskipun pertemuan Megawati-Prabowo tersebut diperkirakan tanpa dihadiri Presiden terpilih Jokowi, namun pertemuan kedua tokoh tersebut layak disimak, karena menyangkut konstelasi politik ke depan seperti penentuan kursi pimpinan MPR RI dan kursi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin menilai peluang Gerindra masuk dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf sangat besar, namun itu tergantung pada upaya rekonsiliasi yang di dalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan politik.
Dia menilai meskipun KIK sudah "gemuk", namun Jokowi butuh Gerindra karena kalau rekonsiliasi gagal, maka polarisasi di masyarakat akan semakin kuat dan melebar, serta akan banyak masyarakat yang benci terhadap pemerintah, dan tidak bisa teratasi.
Lalu bagaimana dengan parpol yang sudah berada di KIK sejak lama? Tentu saja mereka harus berbagi dengan parpol yang akan bergabung meskipun jatah kursi menteri dikurangi. Ujang menilai koalisi yang utama yaitu berada di pemerintahan dan power sharing di legislatif merupakan tujuan yang kedua.
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) saat pertemuan di FX Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Kedua kontestan Pilpres 2019 itu sepakat untuk menjaga kesatuan dan persatuan di Indonesia. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj).
Kursi pimpinan MPR RI berdasarkan UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menggunakan sistem paket, berbeda dengan kursi pimpinan DPR yang ditentukan jumlah perolehan suara partai.
Sistem paket dalam pemilihan pimpinan MPR itu membuka peluang terjadinya komunikasi dan kesepakatan lintas koalisi, dan itu sangat terbuka sehingga dua kubu koalisi sama-sama mengincar posisi tersebut.
Kursi Ketua MPR memang dalam dua kali periode ditempati partai oposisi, yaitu di periode 2009-2014 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Ketua MPR RI ditempati kader PDI Perjuangan yaitu Taufiq Kiemas dan Sidarto Danusubroto.
Lalu di periode 2014-2019 di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, PAN menempati posisi Ketua MPR yaitu Zulkifli Hasan. Ujang menilai koalisi di parleman, khususnya permintaan Gerindra yang ingin mengambil Ketua MPR RI, akan terganjal oleh partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf yang juga mengincar jabatan Ketua MPR RI tersebut.
Ujang mengingatkan saat ini sulit bagi partai oposisi mengulang sejarah yaitu menguasai Pimpinan MPR RI karena koalisi Jokowi menguasai lebih dari 60 persen kekuatan politik di parlemen.
Masyarakat harus melihat secara komprehensif, bahwa oposisi menang dan menguasai kursi di pimpinan MPR RI periode 2014-2019 karena saat itu Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai mayoritas parlemen. Kondisi itu berbeda saat ini, karena partai pendukung Jokowi di parlemen yang menguasai lebih dari 60 persen.
Partai Gerindra sudah menyiapkan beberapa kadernya sebagai calon Ketua MPR RI periode 2019-2024 salah satunya adalah Ahmad Muzani, yang saat ini menjabat Wakil Ketua MPR RI dan juga Sekretaris Jenderal Partai Gerindra.
Ketua DPP Partai Gerindra Fary Djemy Francis menilai Ahmad Muzani dapat terima semua fraksi di parlemen sehingga layak menempati posisi tersebut. Namun tentu saja keputusan akhir ada pada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menentukan siapa yang akan menjadi Ketua MPR dan langkah politik untuk meraih posisi tersebut.
Namun bukan hanya Gerindra saja, hampir semua partai politik sudah menyiapkan kadernya untuk menjadi Ketua MPR RI periode 2019-2024, karena posisi tersebut sangat strategis sebagai pimpinan lembaga negara dan semua partai memiliki peluang yang sama.
Karena itu, hasil pertemuan antara Prabowo dengan Megawati pada Rabu (24/7) sangat ditunggu masyarakat, apakah terjadi kesepakatan politik di tingkat pemerintahan atau di parlemen, bahkan bisa saja di keduanya.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri (kanan) dan Wakil Dewan Pengarah BPIP Try Sutrisno (kiri) menyampaikan keterangan usai pertemuan tertutup di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (21/5/19). Dalam kesempatan tersebut, Megawati dan Try Sutrisno mengucapkan selamat atas hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah diumumkan KPU. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj).
Dari kelima partai tersebut, hanya Gerindra yang bukan parta pengusung dan pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf di Pemilu Presiden 2019, namun perolehan suaranya signifikan sehingga memiliki posisi tawar yang tinggi. Perolehan suara Gerindra sebesar 17,5 juta, setara dengan 78 kursi di DPR RI atau menguasai 13,6 persen kursi di parlemen.
Karena itu peluang Gerindra masuk dalam kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ataupun ikut berkoalisi di parlemen, sangat besar, karena partai tersebut memiliki suara yang patut diperhitungkan.
Tentu saja langkah awal yang harus dilakukan elite politik pasca-Pemilu adalah melakukan komunikasi yang intensif, itu tidak bisa terjadi secara terbuka karena masih kuatnya polarisasi di masyarakat sehingga digagas ide atau wacana rekonsiliasi kedua kubu.
Puncak rekonsiliasi dari dua kubu yang ikut kontestasi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, dilakukan dengan pertemuan antara Presiden terpilih Joko Widodo dengan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tentu saja pertemuan tersebut menandakan secara terbuka kepada masyarakat bahwa komunikasi politik kedua pihak yang pernah berseteru di Pilpres 2019, tidak ada masalah.
Pertemuan tersebut berlangsung pada Sabtu (13/7) di Stasiun MRT, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan bisa disebut mendadak karena Prabowo memberitahukan pimpinan partai politik yang dulu pernah bergabung dalam koalisi Indonesia Adil Makmur, melalui sepucuk surat yang dikirimkan pada Jumat (12/7) malam.
Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa Pilpres 2019 telah usai, sehingga polarisasi dan pembelahan di masyarakat harus segera diakhiri. Karena itu tidak ada lagi penyebutan istilah "cebong" bagi pendukung Jokowi, dan "kampret" bagi pendukung Prabowo.
Pertemuan itu menjadi simbol yang ditunjukkan elit politik bahwa polarisasi yang kuat di masyarakat harus segera diakhiri, dan pertemuan tersebut menjadi langkah penjajakan, apakah Gerindra gabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) di dalam kabinet atau berkoalisi di parlemen.
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan tidak cukup satu pertemuan seremonial yang sudah dilaksanakan antara Presiden terpilih Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, sehingga akan ada pertemuan lanjutan kedua tokoh tersebut.
Satu pertemuan tersebut dianggapnya belum cukup menurunkan tensi politik yang terjadi di akar rumput sehingga harus dilakukan dua-tiga kali pertemuan lagi diantara kedua tokoh tersebut.
Andre mengatakan tidak tertutup kemungkinan di pertemuan lanjutan itu akan membahas seperti misalnya Jokowi bertanya kepada Prabowo apa masukannya, dan akan disampaikan program Indonesia Maju dan Indonesia Bangkit untuk menuju Indonesia adil dan makmur.
Menurut dia, kalau Jokowi bisa mengadopsi, mengambil, dan memasukan program Gerindra, itu langkah yang baik dan selama ini Prabowo dalam kampanyenya di Pilpres menargetkan dalam 100 hari akan turunkan harga listrik, harga daging sehingga kalau diadopsi Jokowi, menjadi hal baik.
Andre mengatakan, mengadopsi visi-misi dan program, tidak mengharuskan Gerindra masuk dalam kabinet namun bisa dengan bertemu dan berdiskusi mengenai ide-ide yang baik.
Wujudkan Rekonsiliasi
Pertemuan lanjutan tersebut tampaknya akan terwujud pada Rabu (24/7) ini, yaitu direncanakan Prabowo akan bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputeri di kediaman Presiden Kelima RI tersebut di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Prabowo-Megawati sama-sama merupakan tokoh yang memiliki basis pendukung yang banyak sehingga pertemuan itu bisa dijadikan simbol bahwa antar-elite politik tidak terjadi perpecahan.
Meskipun pertemuan Megawati-Prabowo tersebut diperkirakan tanpa dihadiri Presiden terpilih Jokowi, namun pertemuan kedua tokoh tersebut layak disimak, karena menyangkut konstelasi politik ke depan seperti penentuan kursi pimpinan MPR RI dan kursi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin menilai peluang Gerindra masuk dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf sangat besar, namun itu tergantung pada upaya rekonsiliasi yang di dalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan politik.
Dia menilai meskipun KIK sudah "gemuk", namun Jokowi butuh Gerindra karena kalau rekonsiliasi gagal, maka polarisasi di masyarakat akan semakin kuat dan melebar, serta akan banyak masyarakat yang benci terhadap pemerintah, dan tidak bisa teratasi.
Lalu bagaimana dengan parpol yang sudah berada di KIK sejak lama? Tentu saja mereka harus berbagi dengan parpol yang akan bergabung meskipun jatah kursi menteri dikurangi. Ujang menilai koalisi yang utama yaitu berada di pemerintahan dan power sharing di legislatif merupakan tujuan yang kedua.
Sistem paket dalam pemilihan pimpinan MPR itu membuka peluang terjadinya komunikasi dan kesepakatan lintas koalisi, dan itu sangat terbuka sehingga dua kubu koalisi sama-sama mengincar posisi tersebut.
Kursi Ketua MPR memang dalam dua kali periode ditempati partai oposisi, yaitu di periode 2009-2014 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Ketua MPR RI ditempati kader PDI Perjuangan yaitu Taufiq Kiemas dan Sidarto Danusubroto.
Lalu di periode 2014-2019 di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, PAN menempati posisi Ketua MPR yaitu Zulkifli Hasan. Ujang menilai koalisi di parleman, khususnya permintaan Gerindra yang ingin mengambil Ketua MPR RI, akan terganjal oleh partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf yang juga mengincar jabatan Ketua MPR RI tersebut.
Ujang mengingatkan saat ini sulit bagi partai oposisi mengulang sejarah yaitu menguasai Pimpinan MPR RI karena koalisi Jokowi menguasai lebih dari 60 persen kekuatan politik di parlemen.
Masyarakat harus melihat secara komprehensif, bahwa oposisi menang dan menguasai kursi di pimpinan MPR RI periode 2014-2019 karena saat itu Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai mayoritas parlemen. Kondisi itu berbeda saat ini, karena partai pendukung Jokowi di parlemen yang menguasai lebih dari 60 persen.
Partai Gerindra sudah menyiapkan beberapa kadernya sebagai calon Ketua MPR RI periode 2019-2024 salah satunya adalah Ahmad Muzani, yang saat ini menjabat Wakil Ketua MPR RI dan juga Sekretaris Jenderal Partai Gerindra.
Ketua DPP Partai Gerindra Fary Djemy Francis menilai Ahmad Muzani dapat terima semua fraksi di parlemen sehingga layak menempati posisi tersebut. Namun tentu saja keputusan akhir ada pada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menentukan siapa yang akan menjadi Ketua MPR dan langkah politik untuk meraih posisi tersebut.
Namun bukan hanya Gerindra saja, hampir semua partai politik sudah menyiapkan kadernya untuk menjadi Ketua MPR RI periode 2019-2024, karena posisi tersebut sangat strategis sebagai pimpinan lembaga negara dan semua partai memiliki peluang yang sama.
Karena itu, hasil pertemuan antara Prabowo dengan Megawati pada Rabu (24/7) sangat ditunggu masyarakat, apakah terjadi kesepakatan politik di tingkat pemerintahan atau di parlemen, bahkan bisa saja di keduanya.