Kupang (Antara NTT) - Ketegasan pemerintah terhadap perusahaan raksasa PT Freeport Indonesia, hendaknya juga diberlakukan kepada PTTEP Australasia, dimana perusahaan asing asal Thailand ini lari dari tanggungjawabnya terhadap kasus pencemaran minyak di Laut Timor, akibat meledaknya kilang minyak Montara.
"Apa yang dilakukan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia itu, seharusnya menjadi contoh dalam upaya negosiasi dengan sejumlah perusahaan asing lain di Indonesia, seperti dalam kasus PTTEP Australasia itu," kata Direktur Ocean Watch Indonesia Herman Jaya kepada pers di Kupang, Kamis.
Ia mengatakan kasus pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat pada 21 Agustus 2009 itu, telah membuat sebagian besar petani rumput laut di wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur telah kehilangan mata pencaharian.
Menurut dia, hampir 90 persen wilayah perairan Laut Timor sudah tercemar minyak mentah (crude oil) serta bahan beracun lainnya, sehingga wilayah perairan budidaya menjadi sumber kehidupan petani rumput laut selama ini, tidak bisa berproduksi secara maksimal dan akhirnya ditinggalkan oleh pemiliknya.
Herman Jaya mengatakan, ketegasan pemerintah Indonesia terhadap PT Freeport Indonesia itu semata-mata untuk menegakkan aturan dan kedaulatan RI atas sumber daya alam yang dimilikinya.
Ia mengatakan salah satu perusahaan asing yang dinilai melanggar aturan itu adalah PTTEP Australasia yang merupakan anak usaha dari PTTEP yang berbasis di Bangkok, Thailand.
PTTEP merupakan badan usaha milik negara Thailand yang banyak berinvestasi minyak dan gas bumi di dalam dan luar negeri, di antaranya memiliki 4 blok migas di perairan Sulawesi bekerja sama dengan PT Pertamina.
"Kalau pemerintah mulai tegas terhadap Freeport, maka tidak ada kesulitan untuk mendesak PTTEP untuk bertanggungjawab atas kasus pencemaran minyak di Laut Timor tersebut," katanya.
Ia menjelaskan salah satu dampak pencemaran tersebut telah mengakibatkan komoditas rumput laut yang menjadi andalan nelayan selama ini, gagal total dibudidaya serta hasil tangkapan nelayan pun turun hingga 80 persen akibat menghilangnya ikan-ikan dasar di Laut Timor.
"Itu baru dua komponen yang merasakan langsung dari dampak pencemaran tersebut, padahal masih ada dampak ikutan lainnya seperti ekologis, kesehatan, dan kerugian ekonomi lainnya," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Korban Petaka Tupahan Minyak Montara Ferdi Tanoni ketika dihubungi, sedang berada di Darwin, Australia Utara guna membahas kasus pencemaran Laut Timor dengan Pemerintahan Australia Utara.
"Saya pada prinsipnya sepakat dengan pak Herman Jaya, dan sebagai rakyat Indonesia saya mengacungi jempol kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah bersikap tegas kepada PT Freeport Indonesia, meskipun perusahaan tersebut milik Amerika Serikat," katanya.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menyampaikan terima kasihnya kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang sudah memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson.
"Pemanggilan terhadap Dubes Grigson itu guna pertanggungjawaban tragedi Montara di Laut Timor, namun sejak akhir Desember 2016 hingga kini, Dubes Australia tetap menghindar untuk memberikan jawaban kepada Pemerintah Indonesia," ujar mantan agen imigrasi Australia itu.
Tanoni menilai sikap tegas yang ditunjukkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap PT Freeport Indonesia itu sama seperti yang tunjukkan mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama terhadap British Petroleum (BP) milik Inggris atas kasus meledaknya anjungan minyak lepas pantai di Teluk Mexico 2010.
"Inggris merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat, namun kasus Teluk Mexico merupakan masalah kemanusiaan dan lingkungan sehingga membuat Presiden Obama bersikap sangat tegas atas kejadian itu," katanya menambahkan.
Menurut dia, seharusnya pemerintah juga tidak membedakan perlakuan terhadap PT Freeport Indonesia dengan PTTEP yang telah melakukan kejahatan maha dahsyat di Laut Timor dengan mengorbankan lebih 100.000 masyarakat kecil wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Tanoni, peraih tunggal Australian Lawyers Alliance Civil Justice Award 2013 ini juga meminta Presiden Joko Widodo bersikap tegas terhadap Pemerintah Australia yang hingga saat ini masih terus melindungi PTTEP untuk bertanggung jawab atas tragedi pencemaran tersebut.
"Pemerintah Australia memilih cuci tangan dari kasus Montara, padahal di antara kedua pemerintahan (Indonesia-Australia) terdapat berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan tumpahan minyak di laut," ujar Tanoni.
Kesepakatan tersebut menyangkut MoU 1996--Minutes of Meeting--yang diteken Duta Besar Australia Greg Moriarty dan Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi pada 2010, Surat Menteri Perindustrian Australia Ian McFarlane dan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop atas nama PM Australia.
Surat dari PM Australia itu ditujuhkan kepada rakyat Nusa Tenggara Timur yang menyatakan kesediaan Australia untuk membantu, namun semuanya ini mubazir karena tidak pernah direalisasi dengan berbagai alasan yang tidak rasional.
"Apa yang dilakukan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia itu, seharusnya menjadi contoh dalam upaya negosiasi dengan sejumlah perusahaan asing lain di Indonesia, seperti dalam kasus PTTEP Australasia itu," kata Direktur Ocean Watch Indonesia Herman Jaya kepada pers di Kupang, Kamis.
Ia mengatakan kasus pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat pada 21 Agustus 2009 itu, telah membuat sebagian besar petani rumput laut di wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur telah kehilangan mata pencaharian.
Menurut dia, hampir 90 persen wilayah perairan Laut Timor sudah tercemar minyak mentah (crude oil) serta bahan beracun lainnya, sehingga wilayah perairan budidaya menjadi sumber kehidupan petani rumput laut selama ini, tidak bisa berproduksi secara maksimal dan akhirnya ditinggalkan oleh pemiliknya.
Herman Jaya mengatakan, ketegasan pemerintah Indonesia terhadap PT Freeport Indonesia itu semata-mata untuk menegakkan aturan dan kedaulatan RI atas sumber daya alam yang dimilikinya.
Ia mengatakan salah satu perusahaan asing yang dinilai melanggar aturan itu adalah PTTEP Australasia yang merupakan anak usaha dari PTTEP yang berbasis di Bangkok, Thailand.
PTTEP merupakan badan usaha milik negara Thailand yang banyak berinvestasi minyak dan gas bumi di dalam dan luar negeri, di antaranya memiliki 4 blok migas di perairan Sulawesi bekerja sama dengan PT Pertamina.
"Kalau pemerintah mulai tegas terhadap Freeport, maka tidak ada kesulitan untuk mendesak PTTEP untuk bertanggungjawab atas kasus pencemaran minyak di Laut Timor tersebut," katanya.
Ia menjelaskan salah satu dampak pencemaran tersebut telah mengakibatkan komoditas rumput laut yang menjadi andalan nelayan selama ini, gagal total dibudidaya serta hasil tangkapan nelayan pun turun hingga 80 persen akibat menghilangnya ikan-ikan dasar di Laut Timor.
"Itu baru dua komponen yang merasakan langsung dari dampak pencemaran tersebut, padahal masih ada dampak ikutan lainnya seperti ekologis, kesehatan, dan kerugian ekonomi lainnya," katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Korban Petaka Tupahan Minyak Montara Ferdi Tanoni ketika dihubungi, sedang berada di Darwin, Australia Utara guna membahas kasus pencemaran Laut Timor dengan Pemerintahan Australia Utara.
"Saya pada prinsipnya sepakat dengan pak Herman Jaya, dan sebagai rakyat Indonesia saya mengacungi jempol kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah bersikap tegas kepada PT Freeport Indonesia, meskipun perusahaan tersebut milik Amerika Serikat," katanya.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menyampaikan terima kasihnya kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang sudah memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson.
"Pemanggilan terhadap Dubes Grigson itu guna pertanggungjawaban tragedi Montara di Laut Timor, namun sejak akhir Desember 2016 hingga kini, Dubes Australia tetap menghindar untuk memberikan jawaban kepada Pemerintah Indonesia," ujar mantan agen imigrasi Australia itu.
Tanoni menilai sikap tegas yang ditunjukkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap PT Freeport Indonesia itu sama seperti yang tunjukkan mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama terhadap British Petroleum (BP) milik Inggris atas kasus meledaknya anjungan minyak lepas pantai di Teluk Mexico 2010.
"Inggris merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat, namun kasus Teluk Mexico merupakan masalah kemanusiaan dan lingkungan sehingga membuat Presiden Obama bersikap sangat tegas atas kejadian itu," katanya menambahkan.
Menurut dia, seharusnya pemerintah juga tidak membedakan perlakuan terhadap PT Freeport Indonesia dengan PTTEP yang telah melakukan kejahatan maha dahsyat di Laut Timor dengan mengorbankan lebih 100.000 masyarakat kecil wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Tanoni, peraih tunggal Australian Lawyers Alliance Civil Justice Award 2013 ini juga meminta Presiden Joko Widodo bersikap tegas terhadap Pemerintah Australia yang hingga saat ini masih terus melindungi PTTEP untuk bertanggung jawab atas tragedi pencemaran tersebut.
"Pemerintah Australia memilih cuci tangan dari kasus Montara, padahal di antara kedua pemerintahan (Indonesia-Australia) terdapat berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan tumpahan minyak di laut," ujar Tanoni.
Kesepakatan tersebut menyangkut MoU 1996--Minutes of Meeting--yang diteken Duta Besar Australia Greg Moriarty dan Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi pada 2010, Surat Menteri Perindustrian Australia Ian McFarlane dan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop atas nama PM Australia.
Surat dari PM Australia itu ditujuhkan kepada rakyat Nusa Tenggara Timur yang menyatakan kesediaan Australia untuk membantu, namun semuanya ini mubazir karena tidak pernah direalisasi dengan berbagai alasan yang tidak rasional.