Kupang (Antara NTT) - Masyarakat Nusa Tenggara Timur diterpa duka karena kehilangan sosok sastrawan besar, berhati bening, dan terkenal tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional, Gerson Poyk..
"Jujur saya belum pernah bertemu langsung dengan sosok Gerson Poyk, namun saya sangat tahu tentang sepak terjangnya di dunia sastra Indonesia. Secara pribadi saya merasa sangat kehilangan sekaligus bangga," kata mantan jurnalis Kompas Frans Sarong saat dihubungi di Kupang, Jumat.
Frans Sarong memberikan pendapatnya tentang sosok Gerson Poyk, sastrawan asal NTT yang dipanggil Tuhan, Jumat, di RS Hermina Depok, Jawa Barat.
Menurut dia, NTT di tengah kedukaannya akan tetap berbangga memiliki seorang sastrawan yang memiliki kelas yang disebutnya sebagai luar biasa dan tidak tertandingi. "Tidak hanya secara nasional di Indonesia, katanya, tetapi juga di dunia internasional," katanya..
Sederert karyanya yang memukau dan memberikan inspirasi hidup dunia sastra nasional, telah menobatkannya sebagai satu-satunya sastrawan yang langka dan penuh dengan daya tarik.
"Dia (Gerson Poyk, red.) sangat memiliki nilai dan ide bersastra yang bernilai dan matang," katanya.
Di tengah duka dan kehilangan itu, Frans Sarong berharap akan ada lagi dan terlahir di "Bumi Flobamora" itu, Gerson Poyk yang baru untuk bisa menghiasi etalase sastra dengan sederet karya yang bernilai dan berkelas, sama seperti almarhum.
Komunitas sastra NTT agar bisa belajar dari sosok Gerson Poyk untuk terus memajukan sastra di provinsi selaksa nusa itu.
"Berdiskusilah dan belajarlah dari sederet karya Om Gerson agar bisa tercipta Gerson Poyk baru di NTT ini," kata Frans Sarong.
Senada dengan Frans Sarong, Ketua PWI Nusa Tenggara Timur Dion DB Putra menyampaikan duka citanya mendalam atas kepergian Gerson Poyk, sastrawan asal Pulau Rote itu.
Pemimpin redaksi Harian Umum Pos Kupang ini mengaku bangga memiliki seorang satrawan yang terkenal dan menjadi satu-satunya sastrawan NTT yang memiliki sederet karya yang patut dibanggakan.
Seluruh karyanya, kata Dion, juga menjadi bagian dalam sumber diskusi mahasiswa di seantero dunia ini.
"Saya bahkan punya pengalaman melihat langsung bagaimana mahasiswa sastra di Australia mendiskusikan karya Om Gerson berjudul `Poli Wolo` dalam perkuliahannya. Ini sangat membanggakan kita," katanya.
Menurut Dion, NTT belum pernah mencetak sosok sastrawan yang sekaliber Gerson Poyk dalam perjalanan sastra di daerah itu dan secara nasional. "Dialah satu-satunya sastrawan yang berkelas dan tidak ada lainnya," katanya.
Kendati demikian, sebagai generasi baru, diharap dengan jalan yang telah dirintis Gerson Poyk, akan ada dan akan lahir sejumlah Gerson Poyk baru untuk tetap mengawal karya sastra di daerah itu dan Indonesia pada umumnya.
"Saya sangat bangga memiliki tokoh dan senior seorang sastrawan yang sangat berkelas dan memiliki kemampuan mendunia," kata Dion Putra. Gerson Poyk lahir di Namodele Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT pada 16 Juni 1931.
Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya yang dimuat di media massa dan dijadikan rujukan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Dia mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1950 dan atas prestasinya, ia menerima banyak penghargaan, baik sebagai sastrawan maupun wartawan.
Pendidikan terakhirnya SGA Kristen Surabaya, 1956 dan pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) sert Bima, Sumbawa (1958).
Dia juga pernah menjadi wartawan Sinar Harapan (1962-1970) dan selanjutnya pada 1970-1971, dia menerima beasiswa untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, serta sempat mengikuti seminar sastra di India pada 1982.
Suami dari Atoneta Saba dengan lima anak itu, sepanjang hidupnya menghasilkan sederet karya sastra yang antara lain berjudul Hari-Hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Rajagukguk (1975), serta Nostalgia Nusa Tenggara (1976).
Selain itu, Jerat (1978), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requim Untuk Seorang Perempuan (1981), Mutiara di Tengah Sawah (1984), Impian Nyoman Sulastri (1988), Hanibal (1988), serta Poli Woli (1988), dan sederet penghargaan atas karya-karyanya.
Gerson Poyk mengembuskan nafas terakhir di RS Hermina Depok, Jawa Barat, pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya dirawat intensif atas sejumlah penyakit yang dideritanya. Jenazah akan diterbangkan ke Kota Kupang pada Sabtu (25/2).
"Jujur saya belum pernah bertemu langsung dengan sosok Gerson Poyk, namun saya sangat tahu tentang sepak terjangnya di dunia sastra Indonesia. Secara pribadi saya merasa sangat kehilangan sekaligus bangga," kata mantan jurnalis Kompas Frans Sarong saat dihubungi di Kupang, Jumat.
Frans Sarong memberikan pendapatnya tentang sosok Gerson Poyk, sastrawan asal NTT yang dipanggil Tuhan, Jumat, di RS Hermina Depok, Jawa Barat.
Menurut dia, NTT di tengah kedukaannya akan tetap berbangga memiliki seorang sastrawan yang memiliki kelas yang disebutnya sebagai luar biasa dan tidak tertandingi. "Tidak hanya secara nasional di Indonesia, katanya, tetapi juga di dunia internasional," katanya..
Sederert karyanya yang memukau dan memberikan inspirasi hidup dunia sastra nasional, telah menobatkannya sebagai satu-satunya sastrawan yang langka dan penuh dengan daya tarik.
"Dia (Gerson Poyk, red.) sangat memiliki nilai dan ide bersastra yang bernilai dan matang," katanya.
Di tengah duka dan kehilangan itu, Frans Sarong berharap akan ada lagi dan terlahir di "Bumi Flobamora" itu, Gerson Poyk yang baru untuk bisa menghiasi etalase sastra dengan sederet karya yang bernilai dan berkelas, sama seperti almarhum.
Komunitas sastra NTT agar bisa belajar dari sosok Gerson Poyk untuk terus memajukan sastra di provinsi selaksa nusa itu.
"Berdiskusilah dan belajarlah dari sederet karya Om Gerson agar bisa tercipta Gerson Poyk baru di NTT ini," kata Frans Sarong.
Senada dengan Frans Sarong, Ketua PWI Nusa Tenggara Timur Dion DB Putra menyampaikan duka citanya mendalam atas kepergian Gerson Poyk, sastrawan asal Pulau Rote itu.
Pemimpin redaksi Harian Umum Pos Kupang ini mengaku bangga memiliki seorang satrawan yang terkenal dan menjadi satu-satunya sastrawan NTT yang memiliki sederet karya yang patut dibanggakan.
Seluruh karyanya, kata Dion, juga menjadi bagian dalam sumber diskusi mahasiswa di seantero dunia ini.
"Saya bahkan punya pengalaman melihat langsung bagaimana mahasiswa sastra di Australia mendiskusikan karya Om Gerson berjudul `Poli Wolo` dalam perkuliahannya. Ini sangat membanggakan kita," katanya.
Menurut Dion, NTT belum pernah mencetak sosok sastrawan yang sekaliber Gerson Poyk dalam perjalanan sastra di daerah itu dan secara nasional. "Dialah satu-satunya sastrawan yang berkelas dan tidak ada lainnya," katanya.
Kendati demikian, sebagai generasi baru, diharap dengan jalan yang telah dirintis Gerson Poyk, akan ada dan akan lahir sejumlah Gerson Poyk baru untuk tetap mengawal karya sastra di daerah itu dan Indonesia pada umumnya.
"Saya sangat bangga memiliki tokoh dan senior seorang sastrawan yang sangat berkelas dan memiliki kemampuan mendunia," kata Dion Putra. Gerson Poyk lahir di Namodele Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT pada 16 Juni 1931.
Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya yang dimuat di media massa dan dijadikan rujukan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Dia mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1950 dan atas prestasinya, ia menerima banyak penghargaan, baik sebagai sastrawan maupun wartawan.
Pendidikan terakhirnya SGA Kristen Surabaya, 1956 dan pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) sert Bima, Sumbawa (1958).
Dia juga pernah menjadi wartawan Sinar Harapan (1962-1970) dan selanjutnya pada 1970-1971, dia menerima beasiswa untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, serta sempat mengikuti seminar sastra di India pada 1982.
Suami dari Atoneta Saba dengan lima anak itu, sepanjang hidupnya menghasilkan sederet karya sastra yang antara lain berjudul Hari-Hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Rajagukguk (1975), serta Nostalgia Nusa Tenggara (1976).
Selain itu, Jerat (1978), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requim Untuk Seorang Perempuan (1981), Mutiara di Tengah Sawah (1984), Impian Nyoman Sulastri (1988), Hanibal (1988), serta Poli Woli (1988), dan sederet penghargaan atas karya-karyanya.
Gerson Poyk mengembuskan nafas terakhir di RS Hermina Depok, Jawa Barat, pukul 11.00 WIB setelah sebelumnya dirawat intensif atas sejumlah penyakit yang dideritanya. Jenazah akan diterbangkan ke Kota Kupang pada Sabtu (25/2).