Kupang (Antara NTT) - Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur dr Kornelis Kodi Mete mengatakan dokter spesialis enggan bertugas di daerah tertinggal, terpencil serta di pulau-pulau terluar Nusa Tenggara Timur untuk melayani masyarakat setempat.
"Mereka selalu menolak jika ditempatkan di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan terluar (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), sehingga masih terjadi kepincangan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan," katanya di Kupang, Kamis.
Mantan Bupati Sumba Barat Daya mengatakan hal tersebut ketika ditanya soal pemerataaan pelayanan kesehatan melalui program kerja Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) pada 124 puskesmas di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur.
"Mereka selalu menolak jika ditempatkan di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan terluar (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), sehingga masih terjadi kepincangan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan," katanya di Kupang, Kamis.
Mantan Bupati Sumba Barat Daya mengatakan hal tersebut ketika ditanya soal pemerataaan pelayanan kesehatan melalui program kerja Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) pada 124 puskesmas di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur.
"Seharusnya, para dokter spesialis itu siap menerima penugasan tersebut dimana ia ditempatkan dalam wilayah NKRI," katanya menambahkan.
Menurut dia, meskipun ada yang menolak, namun ada pula dokter spesialis yang menerima dan ikhlas melaksanakan tugas serta pengabdian di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) yang berbatasan dengan negara tetangga.
"Keengganan tenaga medis itulah yang mengakibatkan dokter-dokter spesialis menumpuk di wilayah perkotaan yang kemudian memicu terjadinya kekurangan tenaga dokter spesialis di daerah 3T," ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya akan terus berupaya untuk memenuhi pelayanan medis spesialis di pulau terluar, terpencil, dan terdepan (3T) dengan tetap menempatkan para dokter spesialis.
Dia mengakui resistensi dokter spesialis yang bekerja di pulau terluar sangat rendah. Kalaupun ada dokter spesialis yang berkenan bekerja di daerah itu, jangka waktunya sangat singkat.
Akibatnya tenaga kesehatan masih menumpuk di perkotaan, karena kebijakan distribusi tenaga kesehatan masih mengunakan pendekatan satu kebijakan untuk semua daerah.
"Padahal situasi di tempat terpencil sangat berbeda dengan daerah lainnya," katanya dan mengharapkan pemerintah daerah ikut bersinergi dalam upaya peningkatan minat dokter spesialis agar bersedia ditempatkan di daerah-daerah 3T.
Ia mengakui bahwa stadar ideal pelayanan para medis, terutama dokter umum maupun spesialis bagi masyarakat NTT masih jauh dari harapan.
"Idealnya harus ada 40 dokter umum, 11 dokter gigi, dan sembilan dokter spesialis per 100.000 penduduk, sedang perawat dan bidan, masing-masing 117 dan 75 per 100.000 penduduk, namun kuota tersebut belum juga dipenuhi oleh NTT, karena berbagai keterbatasan.
Menurut dia, meskipun ada yang menolak, namun ada pula dokter spesialis yang menerima dan ikhlas melaksanakan tugas serta pengabdian di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) yang berbatasan dengan negara tetangga.
"Keengganan tenaga medis itulah yang mengakibatkan dokter-dokter spesialis menumpuk di wilayah perkotaan yang kemudian memicu terjadinya kekurangan tenaga dokter spesialis di daerah 3T," ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya akan terus berupaya untuk memenuhi pelayanan medis spesialis di pulau terluar, terpencil, dan terdepan (3T) dengan tetap menempatkan para dokter spesialis.
Dia mengakui resistensi dokter spesialis yang bekerja di pulau terluar sangat rendah. Kalaupun ada dokter spesialis yang berkenan bekerja di daerah itu, jangka waktunya sangat singkat.
Akibatnya tenaga kesehatan masih menumpuk di perkotaan, karena kebijakan distribusi tenaga kesehatan masih mengunakan pendekatan satu kebijakan untuk semua daerah.
"Padahal situasi di tempat terpencil sangat berbeda dengan daerah lainnya," katanya dan mengharapkan pemerintah daerah ikut bersinergi dalam upaya peningkatan minat dokter spesialis agar bersedia ditempatkan di daerah-daerah 3T.
Ia mengakui bahwa stadar ideal pelayanan para medis, terutama dokter umum maupun spesialis bagi masyarakat NTT masih jauh dari harapan.
"Idealnya harus ada 40 dokter umum, 11 dokter gigi, dan sembilan dokter spesialis per 100.000 penduduk, sedang perawat dan bidan, masing-masing 117 dan 75 per 100.000 penduduk, namun kuota tersebut belum juga dipenuhi oleh NTT, karena berbagai keterbatasan.