Kupang (Antara NTT) - Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Stanis Tefa, mendukung rencana dihidupkan kembali Badan Produktifitas Nasional (BPN).
BPN untuk membantu pengusaha dalam menghitung kinerja dan produktifitas buruh guna memperbaiki kesejahteraan buruh.
"K-SPSI mendukung wacana pembentukan kembali badan tersebut, namun harus diikuti dengan kamauan baik dari pengusaha untuk mewujudkan dan merealisasikan besaran upah minimum provinsi yang ditetapkan setiap tahun," katanya di Kupang, Minggu.
Diharapkan kehadiran kembali BPN dan adanya kemauan baik pengusaha, sehingga kesejahteraan buruh terpenuhi sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Stanis Tefa yang juga anggota DPRD NTT itu mengatakan hal tersebut terkait tuntutan buruh atas upah minimum provinsi (UMP) dan fasilitas lainnyaperlu ditingkatkan dan lebih dari itu perlu direalisasikan dalam prakteknya, sehingga kehadiran BPN itu semakin membantu menyelesaikan persoalan yang selama ini dihadapi pengusaha dan pekerja seperti UMP yang belum dibayarkan sesuai ketentuan yang ditetapkan Dewan Pengupahan dan ditetapkan dengan SK Gubernur setempat.
Menurut Ketua Komisi yang membidangi keuangan di DPRD NTT ini, persoalan pelik yang terjadi di NTT selama ini antara pengusah dan pekerja adalah komitmen dari pengusaha untuk membayar upah buruh sesuai dengan UMP tahun berjalan, sehingga berdampak langsung terhadap produktifitas pekerja dan menjadi beban bagi pengusaha.
Ia menyebut contoh kasus yang hampir 90 persen terjadi di NTT adalah para pengusaha belum merealisasikan besaran UMP yang harus dibayarkan kepada para buruh di perusahaan.
"Bayangkan hingga saat ini UMP para pekerja di NTT masih berkisar antara Rp250 ribu hingga Rp500 ribu rupiah, sekalipun telah bekerja pada perusahaan itu 15-20 tahun, hanya dihargai setiap bulan paling maksimal Rp500.000," katanya.
Padahal Upah Minimum Provinsi NTT 2013 sebesar Rp1.010.000 atau bertambah Rp85.000 dari 2012 sebesar Rp925.000. Sehingga dipertanyakan sejauh mana pengawasan dari pihak yang berkompeten untuk membantu para buruh.
"Bagaimana mungkin pengawas melaksanakan tugasnya ke perusahaan-perusahaan tertentu, akalu dari Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) tidak mengusulkan alokasi dana untuk tim pengawas," katanya.
Untuk diketahui, berbagai aspirasi mendesak Pemerintah perlu kembali membentuk badan penghitung produktivitas buruh. Hal itu diperlukan untuk membantu pemerintah dalam menetapkan upah minimum yang saat ini menjadi polemik antara buruh dan pengusaha.
"Mungkin tidak perlu membentuk badan tersendiri, tapi ada di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Badan itu akan menghitung berapa produktivitas (buruh) pada industri-industri," kata pengamat ekonomi dari INDEF Aviliani pada forum diskusi tentang prediksi isu ekonomi yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di Jakarta.
Ia mengatakan dulu pernah ada Badan Produktivitas Nasional yang melakukan penghitungan produktivitas setiap industri di dalam negeri, sehingga ada ukuran produktivitas dalam penetapan upah buruh.
"Oleh karena sekarang tidak ada ukuran (produktivitas) dalam penetapan upah, maka antara pengusaha dan buruh saling tawar menawar (upah)," ujar anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) itu.
Sementara itu pengamat ekonomi lainnya, A Prasetyantoko dari Atma Jaya dan Latif Adam dari LIPI menilai para buruh wajar meminta kenaikan UMR, di tengah pertumbuhan ekononomi nasional dan naiknya jumlah kelas menengah di Indonesia.
Namun, kedua pengamat itu sepakat harus ada ukuran produktivitas dalam penetapan UMR. "Tidak hanya produktivitas buruh yang dihitung, tapi juga produktivitas ekonomi secara menyeluruh, termasuk infrastruktur," papar Prasetyantoko yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat itu.
Hal senada dikemukakan Latif Adam yang menilai lembaga pengukur produktivitas sangat penting. China pun memilikinya. Menurut dia, saat ini produktivitas buruh di Indonesia semakin menurun bila dibandingkan dengan China.
Pada tahun 1990-an produktivitas buruh di Indonesia mencapai 75 persen dari buruh di China. Namun pada 2010, kata dia, produktivitas buruh Indonesia turun menjadi 65 persen dari produktivitas buruh di China. "Jadi kalau buruh mau minta kenaikan upah, juga harus diimbangi kenaikan produktivitas," katanya, menegaskan.
BPN untuk membantu pengusaha dalam menghitung kinerja dan produktifitas buruh guna memperbaiki kesejahteraan buruh.
"K-SPSI mendukung wacana pembentukan kembali badan tersebut, namun harus diikuti dengan kamauan baik dari pengusaha untuk mewujudkan dan merealisasikan besaran upah minimum provinsi yang ditetapkan setiap tahun," katanya di Kupang, Minggu.
Diharapkan kehadiran kembali BPN dan adanya kemauan baik pengusaha, sehingga kesejahteraan buruh terpenuhi sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Stanis Tefa yang juga anggota DPRD NTT itu mengatakan hal tersebut terkait tuntutan buruh atas upah minimum provinsi (UMP) dan fasilitas lainnyaperlu ditingkatkan dan lebih dari itu perlu direalisasikan dalam prakteknya, sehingga kehadiran BPN itu semakin membantu menyelesaikan persoalan yang selama ini dihadapi pengusaha dan pekerja seperti UMP yang belum dibayarkan sesuai ketentuan yang ditetapkan Dewan Pengupahan dan ditetapkan dengan SK Gubernur setempat.
Menurut Ketua Komisi yang membidangi keuangan di DPRD NTT ini, persoalan pelik yang terjadi di NTT selama ini antara pengusah dan pekerja adalah komitmen dari pengusaha untuk membayar upah buruh sesuai dengan UMP tahun berjalan, sehingga berdampak langsung terhadap produktifitas pekerja dan menjadi beban bagi pengusaha.
Ia menyebut contoh kasus yang hampir 90 persen terjadi di NTT adalah para pengusaha belum merealisasikan besaran UMP yang harus dibayarkan kepada para buruh di perusahaan.
"Bayangkan hingga saat ini UMP para pekerja di NTT masih berkisar antara Rp250 ribu hingga Rp500 ribu rupiah, sekalipun telah bekerja pada perusahaan itu 15-20 tahun, hanya dihargai setiap bulan paling maksimal Rp500.000," katanya.
Padahal Upah Minimum Provinsi NTT 2013 sebesar Rp1.010.000 atau bertambah Rp85.000 dari 2012 sebesar Rp925.000. Sehingga dipertanyakan sejauh mana pengawasan dari pihak yang berkompeten untuk membantu para buruh.
"Bagaimana mungkin pengawas melaksanakan tugasnya ke perusahaan-perusahaan tertentu, akalu dari Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) tidak mengusulkan alokasi dana untuk tim pengawas," katanya.
Untuk diketahui, berbagai aspirasi mendesak Pemerintah perlu kembali membentuk badan penghitung produktivitas buruh. Hal itu diperlukan untuk membantu pemerintah dalam menetapkan upah minimum yang saat ini menjadi polemik antara buruh dan pengusaha.
"Mungkin tidak perlu membentuk badan tersendiri, tapi ada di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Badan itu akan menghitung berapa produktivitas (buruh) pada industri-industri," kata pengamat ekonomi dari INDEF Aviliani pada forum diskusi tentang prediksi isu ekonomi yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di Jakarta.
Ia mengatakan dulu pernah ada Badan Produktivitas Nasional yang melakukan penghitungan produktivitas setiap industri di dalam negeri, sehingga ada ukuran produktivitas dalam penetapan upah buruh.
"Oleh karena sekarang tidak ada ukuran (produktivitas) dalam penetapan upah, maka antara pengusaha dan buruh saling tawar menawar (upah)," ujar anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) itu.
Sementara itu pengamat ekonomi lainnya, A Prasetyantoko dari Atma Jaya dan Latif Adam dari LIPI menilai para buruh wajar meminta kenaikan UMR, di tengah pertumbuhan ekononomi nasional dan naiknya jumlah kelas menengah di Indonesia.
Namun, kedua pengamat itu sepakat harus ada ukuran produktivitas dalam penetapan UMR. "Tidak hanya produktivitas buruh yang dihitung, tapi juga produktivitas ekonomi secara menyeluruh, termasuk infrastruktur," papar Prasetyantoko yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat itu.
Hal senada dikemukakan Latif Adam yang menilai lembaga pengukur produktivitas sangat penting. China pun memilikinya. Menurut dia, saat ini produktivitas buruh di Indonesia semakin menurun bila dibandingkan dengan China.
Pada tahun 1990-an produktivitas buruh di Indonesia mencapai 75 persen dari buruh di China. Namun pada 2010, kata dia, produktivitas buruh Indonesia turun menjadi 65 persen dari produktivitas buruh di China. "Jadi kalau buruh mau minta kenaikan upah, juga harus diimbangi kenaikan produktivitas," katanya, menegaskan.