Lima orang wanita berpenampilan resik bersama beberapa orang pria dewasa melangkah sambil menutup hidung ketika melintas di sebuah gudang penampungan ikan di kawasan Pelabuhan Pendaratan Ikan di kawasan Tenau Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat (14/12).
Mereka seakan tak peduli dengan suasana pelabuhan yang selalu memancarkan aroma tak sedap itu. Meski panas mentari membakar kulit mereka, lima orang wanita berusia di atas 40-an tahun bersama rekan-rekan pria tersebut terus melangkah untuk melihat aktivitas para nelayan di siang bolong itu.
Di antara puluhan nelayan yang bertampang sangar dan terkesan suka usil kepada setiap wanita yang lewat, kelima wanita bersama rekan-rekan pria, berhasil menemukan seorang rekan seangkatan mereka ketika sama-sama duduk di bangku SMA Katolik Giovanni Kupang.
Dialah Abdul Wahab Sidin (45), satu di antara sekian banyak nelayan yang mencari nafkah hidup di pelabuhan pendaratan ikan Tenau Kupang yang berbatasan langsung dengan Pelabuhan Peti Kemas milik PT Pelindo III.
Sudah hampir 26 tahun lamanya mereka berpisah setelah menyelesaikan studi pada 1986. Tak di sangka dan tak diduga, pertemanan di antara mereka kembali bersemi seperti ketika masih duduk di bangku sekolah.
Abdul Wahab Sidin pun tak sungkan-sungkan menyuguhkan ikan bakar di siang hari itu untuk menjamu rekan seangkatannya yang sudah 26 tahun berpisah sejak meninggalkan bangku sekolah di SMA Katolik Giovanni Kupang.
"Setelah tamat SMA, saya langsung memilih jalan menjadi nelayan. Ini sebuah panggilan profesi, karena orangtua saya pun berlatar belakang sebagai nelayan, sehingga tidak ada niat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi," kata ayah tiga orang putri itu.
Sudah lebih dari 20 tahun, Wahab bergelut dengan gelombang dan angin kencang ketika mencari ikan di wilayah perairan sekitar Laut Timor, Laut Flores dan sampai tak sengaja memasuki wilayah perairan Australia.
"Saya sudah dua kali saya ditangkap patroli pengamanan pantai Australia atas tuduhan memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal untuk mencari ikan dan biota laut lainnya seperti teripang dan lola," ujarnya.
"Australia sangat memperhatikan para nelayan Indonesia yang ditangkap, selama menjalani pemeriksaan di Brisbane dan Darwin. Mereka sangat manusiawi sampai memulangkan kami ke Kupang dengan pesawat terbang," tambahnya.
Menurut dia, masa yang paling suram dan menjadi kegelisahan semua nelayan adalah ketika memasuki musim barat. Semua nelayan seakan "tiarap" karena tidak berani melaut akibat cuaca buruk.
Nelayan yang memiliki kapal-kapal besar masih berani untuk melaut, namun hasil panenan mereka juga tidak seimbang dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
"Setiap kali beroperasi, kami membutuhkan sekitar 5-6 drum solar berkapasitas 200 ton/drum untuk bahan bakar kapal. Solar yang kami beli di pelabuhan perikanan mencapai Rp1,2 juta/drum," ujarnya.
Artinya, sekali beroperasi membutuhkan biaya operasional mendekati Rp10 juta, termasuk di antaranya untuk membeli umpan ikan. Dalam keadaan normal, biaya operasional tersebut langsung ditutupi dengan hasil tangkapan ikan yang bisa mencapai 10 ton dalam sehari.
"Jika musim barat tiba, hasil tangkapan hanya bisa mencapai enam ton, sehingga semua nelayan memilih melabuhkan kapalnya di pangkalan. Inilah potret kegelisahan para nelayan jika musim barat sudah tiba," kata Wahab Sidin.
Berdasarkan pengalaman mereka melaut selama ini, ketika memasuki pertengahan hingga menjelang akhir Desember, wilayah perairan yang menjadi lokasi tangkapan nelayan, seperti di Laut Timor dan Laut Flores, sudah mulai dilanda cuaca buruk.
Gelombang dan angin kencang seakan tak berhenti sepanjang musim barat. Kapal-kapal nelayan pun dilabuhkan di sepanjang pantai. Mereka akan kembali beroperasi setelah bulan Maret, karena wilayah perairan sudah mulai bersahabat dengan kapal-kapal nelayan.
Wahab Sidin yang hidupnya menduda sejak beberapa tahun lalu setelah Sang Khalik memanggil istrinya, ia tetap tegar untuk melaut demi melanjutkan pendidikan ketiga orang putrinya.
"Tinggal bungsu yang masih kuliah. Sedang, dua orang kakaknya sudah bekerja. Putri kedua dari tiga bersaudari itu barusan melangsungkan pernikahan dan sebentar lagi saya sudah bisa menggendong cucu," katanya bangga.
Ketika ditanya soal calon pendamping hidupnya, Wahab Sidin dengan tenang mengatakan "Pada saatnya saya akan melangkah ke sana (menikah) setelah dua orang putriku memasuki rumah tangga baru".
"Saya tidak mau membebani anak-anak hidup bersama seorang ibu tiri. Pasti ada baik dan buruknya hidup bersama seorang ibu tiri, tetapi saya sudah putuskan untuk tidak menikah selama mereka belum berumah tangga," katanya polos.
Dalam keseharian menjalani hidupnya sebagai seorang nelayan profesional, Wahab Sidin dipandang masyarakat sebagai sosok seorang ayah yang menjadi panutan, sehingga dipercayakan pula menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) 10 di wilayah Kelurahan Namosain, Kota Kupang.
"Saya sudah minta berhenti menjadi Ketua RT pada periode kedua, namun masyarakat tetap menghendaki saya menjadi RT di sini, sehingga pada periode ketiga pun saya tetap dipilih menjadi Ketua RT-10," ujarnya.
Pria penggemar rokok kretek Djisamsoe itu seakan tak percaya jika sampai akhirnya dijumpai oleh rekan-rekan seangkatannya di SMA Katolik Giovanni Kupang pada Jumat (14/12) siang yang panas di Pelabuhan Perikanan Tenau Kupang itu.
Wahab Sidin terkesan minder atau merasa rendah diri ketika berjumpa dengan rekan-rekannya, namun ia pun menyadari bahwa persahabatan yang dibangun dengan tulus pasti tidak akan membedakan status sosial yang disandang masing-masing orang.
"Syukur alhamduillah teman-teman datang pada saat musim ikan sehingga kita bisa menikmati ikan bakar pada siang hari ini. Mungkin inilah kebesaran Tuhan yang harus mempertemukan kita setelah 26 tahun berpisah dari almamater SMA Katolik Giovanni Kupang," katanya.
Mereka seakan tak peduli dengan suasana pelabuhan yang selalu memancarkan aroma tak sedap itu. Meski panas mentari membakar kulit mereka, lima orang wanita berusia di atas 40-an tahun bersama rekan-rekan pria tersebut terus melangkah untuk melihat aktivitas para nelayan di siang bolong itu.
Di antara puluhan nelayan yang bertampang sangar dan terkesan suka usil kepada setiap wanita yang lewat, kelima wanita bersama rekan-rekan pria, berhasil menemukan seorang rekan seangkatan mereka ketika sama-sama duduk di bangku SMA Katolik Giovanni Kupang.
Dialah Abdul Wahab Sidin (45), satu di antara sekian banyak nelayan yang mencari nafkah hidup di pelabuhan pendaratan ikan Tenau Kupang yang berbatasan langsung dengan Pelabuhan Peti Kemas milik PT Pelindo III.
Sudah hampir 26 tahun lamanya mereka berpisah setelah menyelesaikan studi pada 1986. Tak di sangka dan tak diduga, pertemanan di antara mereka kembali bersemi seperti ketika masih duduk di bangku sekolah.
Abdul Wahab Sidin pun tak sungkan-sungkan menyuguhkan ikan bakar di siang hari itu untuk menjamu rekan seangkatannya yang sudah 26 tahun berpisah sejak meninggalkan bangku sekolah di SMA Katolik Giovanni Kupang.
"Setelah tamat SMA, saya langsung memilih jalan menjadi nelayan. Ini sebuah panggilan profesi, karena orangtua saya pun berlatar belakang sebagai nelayan, sehingga tidak ada niat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi," kata ayah tiga orang putri itu.
Sudah lebih dari 20 tahun, Wahab bergelut dengan gelombang dan angin kencang ketika mencari ikan di wilayah perairan sekitar Laut Timor, Laut Flores dan sampai tak sengaja memasuki wilayah perairan Australia.
"Saya sudah dua kali saya ditangkap patroli pengamanan pantai Australia atas tuduhan memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal untuk mencari ikan dan biota laut lainnya seperti teripang dan lola," ujarnya.
"Australia sangat memperhatikan para nelayan Indonesia yang ditangkap, selama menjalani pemeriksaan di Brisbane dan Darwin. Mereka sangat manusiawi sampai memulangkan kami ke Kupang dengan pesawat terbang," tambahnya.
Menurut dia, masa yang paling suram dan menjadi kegelisahan semua nelayan adalah ketika memasuki musim barat. Semua nelayan seakan "tiarap" karena tidak berani melaut akibat cuaca buruk.
Nelayan yang memiliki kapal-kapal besar masih berani untuk melaut, namun hasil panenan mereka juga tidak seimbang dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
"Setiap kali beroperasi, kami membutuhkan sekitar 5-6 drum solar berkapasitas 200 ton/drum untuk bahan bakar kapal. Solar yang kami beli di pelabuhan perikanan mencapai Rp1,2 juta/drum," ujarnya.
Artinya, sekali beroperasi membutuhkan biaya operasional mendekati Rp10 juta, termasuk di antaranya untuk membeli umpan ikan. Dalam keadaan normal, biaya operasional tersebut langsung ditutupi dengan hasil tangkapan ikan yang bisa mencapai 10 ton dalam sehari.
"Jika musim barat tiba, hasil tangkapan hanya bisa mencapai enam ton, sehingga semua nelayan memilih melabuhkan kapalnya di pangkalan. Inilah potret kegelisahan para nelayan jika musim barat sudah tiba," kata Wahab Sidin.
Berdasarkan pengalaman mereka melaut selama ini, ketika memasuki pertengahan hingga menjelang akhir Desember, wilayah perairan yang menjadi lokasi tangkapan nelayan, seperti di Laut Timor dan Laut Flores, sudah mulai dilanda cuaca buruk.
Gelombang dan angin kencang seakan tak berhenti sepanjang musim barat. Kapal-kapal nelayan pun dilabuhkan di sepanjang pantai. Mereka akan kembali beroperasi setelah bulan Maret, karena wilayah perairan sudah mulai bersahabat dengan kapal-kapal nelayan.
Wahab Sidin yang hidupnya menduda sejak beberapa tahun lalu setelah Sang Khalik memanggil istrinya, ia tetap tegar untuk melaut demi melanjutkan pendidikan ketiga orang putrinya.
"Tinggal bungsu yang masih kuliah. Sedang, dua orang kakaknya sudah bekerja. Putri kedua dari tiga bersaudari itu barusan melangsungkan pernikahan dan sebentar lagi saya sudah bisa menggendong cucu," katanya bangga.
Ketika ditanya soal calon pendamping hidupnya, Wahab Sidin dengan tenang mengatakan "Pada saatnya saya akan melangkah ke sana (menikah) setelah dua orang putriku memasuki rumah tangga baru".
"Saya tidak mau membebani anak-anak hidup bersama seorang ibu tiri. Pasti ada baik dan buruknya hidup bersama seorang ibu tiri, tetapi saya sudah putuskan untuk tidak menikah selama mereka belum berumah tangga," katanya polos.
Dalam keseharian menjalani hidupnya sebagai seorang nelayan profesional, Wahab Sidin dipandang masyarakat sebagai sosok seorang ayah yang menjadi panutan, sehingga dipercayakan pula menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) 10 di wilayah Kelurahan Namosain, Kota Kupang.
"Saya sudah minta berhenti menjadi Ketua RT pada periode kedua, namun masyarakat tetap menghendaki saya menjadi RT di sini, sehingga pada periode ketiga pun saya tetap dipilih menjadi Ketua RT-10," ujarnya.
Pria penggemar rokok kretek Djisamsoe itu seakan tak percaya jika sampai akhirnya dijumpai oleh rekan-rekan seangkatannya di SMA Katolik Giovanni Kupang pada Jumat (14/12) siang yang panas di Pelabuhan Perikanan Tenau Kupang itu.
Wahab Sidin terkesan minder atau merasa rendah diri ketika berjumpa dengan rekan-rekannya, namun ia pun menyadari bahwa persahabatan yang dibangun dengan tulus pasti tidak akan membedakan status sosial yang disandang masing-masing orang.
"Syukur alhamduillah teman-teman datang pada saat musim ikan sehingga kita bisa menikmati ikan bakar pada siang hari ini. Mungkin inilah kebesaran Tuhan yang harus mempertemukan kita setelah 26 tahun berpisah dari almamater SMA Katolik Giovanni Kupang," katanya.