Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan ruang bagi mantan narapidana koruptor untuk ikut dalam kontestasi pilkada sebagai putusan yang kontraproduktif.
"Putusan MK tersebut menjadi kontraproduktif di tengah kuatnya semangat dan upaya pemberantasan korupsi di satu pihak dan di pihak lain mantan koruptor diberi angin segar dalam ruang politik," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (13/12), terkait mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut Ahmad Atang, dalam konteks political right, putusan MK yang membolehkan mantan koruptor ikut pilkada merupakan bagian dari hak politik rakyat.
Dengan demikian, suka atau tidak suka, konstitusi telah menjamin mantan koruptor mempunyai hak dipilih. "Oleh karena itu, nasibnya sangat tergantung pada partai politik dan masyarakat yang mempunyai hak pilih," kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) membacakan amar putusan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019 dan 58/PUU-XVII/2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12/2019). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp).
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Salah satu poin yang menjadi putusan MK adalah mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
"Putusan MK tersebut menjadi kontraproduktif di tengah kuatnya semangat dan upaya pemberantasan korupsi di satu pihak dan di pihak lain mantan koruptor diberi angin segar dalam ruang politik," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (13/12), terkait mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Menurut Ahmad Atang, dalam konteks political right, putusan MK yang membolehkan mantan koruptor ikut pilkada merupakan bagian dari hak politik rakyat.
Dengan demikian, suka atau tidak suka, konstitusi telah menjamin mantan koruptor mempunyai hak dipilih. "Oleh karena itu, nasibnya sangat tergantung pada partai politik dan masyarakat yang mempunyai hak pilih," kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Salah satu poin yang menjadi putusan MK adalah mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.