Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT Dr Ahmad Atang MSi berpendapat Indonesia perlu mencoba menerapkan pemilihan umum dengan sistem distrik, daripada terus melakukan tambal sulam sistem proporsional dari pemilu ke pemilu.
"Menurut saya, sejak pemilu pertama di era Orde Lama tahun 1955 dan pemilu pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, kita selalu melakukan tambal sulam sistem proporsional dari pemilu ke pemilu, sementara kita belum pernah mencoba sistem baru semisal sistem distrik," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Kamis (16/1).
Dia mengemukakan pandangan itu, terkait wacana untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup di dalam Pemilu Indonesia.
Ahmad Atang mengatakan, setiap sistem yang diadopsi dan dipraktikan tidak akan pernah sempurna sepanjang masa, baik dalam sistem sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Warga pedalaman memasukkan kertas suara ke noken (kantong) pada pemilu anggota legislatif di TPS Lapangan Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, Rabu (9/4). Warga di beberapa distrik Kabupaten Lanny Jaya masih menggunakan sistem noken yang mewakili setiap partai dalam pemungutan suara karena sebagian besar warganya masih buta huruf. (ANTARA FOTO/Rico Siregar)
"Setiap pilihan sistem selalu ada kelebihan dan kekurangan, namun yang terpenting adalah sebuah masyarakat harus ada sistem yang menjadi pilihan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Karena itu, kata dia, ketika PDIP merekomendasi perubahan sistem pemilu bukan sesuatu yang mengagetkan, karena sistemnya tetap tapi hanya perlu tambal dan disulam ulang terhadap sistem yang sudah ada.
Dia menambahkan, perdebatan soal apakah pemilu dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terletak pada hak individu dan hak institusi.
Praktik proporsional tertutup memberikan hak demokrasi kepada individu caleg, karena pendekatannya adalah suara terbanyak bukan nomor urut, maka hasil pemilu merupakan garis lurus dengan perolehan suara caleg.
Pada titik ini, partai tidak memiliki hak untuk mengubah perolehan suara dan juga mengganti caleg, kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Siswa memasukan surat suara saat mengikuti pemilihan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan sistematika Pemilihan Umum (Pemilu) di SMP Lazuardi Kamila, Solo, Jawa Tengah, Jumat (26/7/2019). Kegiatan yang digelar bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo tersebut sebagai pengenalan pelaksanaan demokrasi Pemilu sejak usia dini. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/pras).
"Menurut saya, sejak pemilu pertama di era Orde Lama tahun 1955 dan pemilu pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, kita selalu melakukan tambal sulam sistem proporsional dari pemilu ke pemilu, sementara kita belum pernah mencoba sistem baru semisal sistem distrik," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Kamis (16/1).
Dia mengemukakan pandangan itu, terkait wacana untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup di dalam Pemilu Indonesia.
Ahmad Atang mengatakan, setiap sistem yang diadopsi dan dipraktikan tidak akan pernah sempurna sepanjang masa, baik dalam sistem sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Karena itu, kata dia, ketika PDIP merekomendasi perubahan sistem pemilu bukan sesuatu yang mengagetkan, karena sistemnya tetap tapi hanya perlu tambal dan disulam ulang terhadap sistem yang sudah ada.
Dia menambahkan, perdebatan soal apakah pemilu dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terletak pada hak individu dan hak institusi.
Praktik proporsional tertutup memberikan hak demokrasi kepada individu caleg, karena pendekatannya adalah suara terbanyak bukan nomor urut, maka hasil pemilu merupakan garis lurus dengan perolehan suara caleg.
Pada titik ini, partai tidak memiliki hak untuk mengubah perolehan suara dan juga mengganti caleg, kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.