Kupang (Antara NTT) - Pengamat Ekonomi Nusa Tenggara Timur Dr James Adam, MBA, mengatakan reformasi birokrasi perpajakan setelah berakhirnya program pengampunan pajak harus terus direvisi untuk membangun institusi pajak yang bersih, kompeten dan profesional.
"Dengan reformasi di sektor perpajakan terutama Direktorat Pajak dan Bea Cukai, semua pihak bisa saja berikhtiar membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, penuh integritas dan akuntabel," katanya kepada Antara di Kupang, Sabtu.
Ia mengatakan hal itu terkait kendala bagi pemerintah dalam memberikan sosialisasi bagi wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran membayar dan melaporkan hartanya untuk kepentingan sendiri dan bangsa.
Sebab menurut Anggota IFAD (International Fund for Agricultural Development) untuk program pemberdayaan masyarakat pesisir NTT itu, berbagai persoalan yang menjadi penyebab rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, tidak saja dari wajib pajak, tetapi juga oleh persoalan internal institusi pajak.
"Jadi persoalan ini tidak hanya datang dari masyarakat sebagai wajib pajak yang tidak patuh, namun juga dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak selaku perwakilan dari pemerintah," katanya.
Akibatnya kata mantan Dosen Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang itu rasio pajak Indonesia hingga akhir 2016 baru 11 persen, atau setara dengan banyak negara tertinggal di dunia.
"Tentu ini menjadi pertanyaan, apa karena wajib pajak yang tidak mau membayar atau aparat pajak yang tidak mampu mengumpulkan, atau memang keduanya," katanya.
Pemerintah saat ini gencar berupaya membangun Indonesia yang adil dan sejahtera melalui kepatuhan membayar pajak oleh masyarakat sekaligus membangun institusi pajak yang bersih, kompeten dan profesional.
Reformasi birokrasi yang berkelanjutan mendesak dilakukan agar wajib pajak tidak mengajukan berbagai alasan untuk tidak membayar sesuai aturan yang berlaku.
Hanya karena misalnya Undang-undang (UU) pajak yang terlalu rumit yang termasuk di dalamnya mengenai tarif yang dikenakan untuk wajib pajak, maka pajak tidak terbayar.
"Ada yang katakan tarif tinggi dibandingkan dengan Singapura. Walaupun secara dunia, rate PPh dan PPN kita sebenarnya tidak termasuk tinggi," jelasnya.
Alasan lain adalah terlalu banyak permintaan pengecualian untuk sektor atau profesi atau kelompok tertentu, baik untuk PPh maupun PPn, sehingga wajib pajak berbondong-bondong menuntut keadilan.
Masyarakat juga tidak mau patuh akan kewajiban pajak karena berbagai kasus korupsi oleh pegawai Ditjen Pajak. Paling terbaru adalah kasus Operasi Tangkap Tangan pegawai Direktorat Jendral Pajak (DJP) beberapa waktu lalu oleh KPK telah melukai hati wajib pajak.
Solusinya reformasi birokrasi yang telah dilakukan oleh berbagai kementerian termasuk Kementerian Keuangan harus dimaksimalkan untuk menciptakan birokrasi yang berintegritas.
"Tantangan birokrasi adalah integritas birokrasi, pekerjaan yang tidak boleh dilakukan setengah-setengah dan saya mengapresiasi apa yang telah dilakukan Kementerian Keuangan selama ini," ungkapnya.
Bukan cuma itu solusinya juga adalah bahwa Kementerian Keuangan harus segera memperbaiki sistem dan Sumber Daya Manusianya. Keduanya memegang peranan penting dalam melakukan pelayanan yang sempurna bagi para wajib pajak.
"Persoalan sistem yang menyangkut hardware dan software, perlu peningkatan terutama penggunaan teknologi yang mengurangi "human interface" dengan para wajib pajak," katanya.
"Dengan reformasi di sektor perpajakan terutama Direktorat Pajak dan Bea Cukai, semua pihak bisa saja berikhtiar membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, penuh integritas dan akuntabel," katanya kepada Antara di Kupang, Sabtu.
Ia mengatakan hal itu terkait kendala bagi pemerintah dalam memberikan sosialisasi bagi wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran membayar dan melaporkan hartanya untuk kepentingan sendiri dan bangsa.
Sebab menurut Anggota IFAD (International Fund for Agricultural Development) untuk program pemberdayaan masyarakat pesisir NTT itu, berbagai persoalan yang menjadi penyebab rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, tidak saja dari wajib pajak, tetapi juga oleh persoalan internal institusi pajak.
"Jadi persoalan ini tidak hanya datang dari masyarakat sebagai wajib pajak yang tidak patuh, namun juga dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak selaku perwakilan dari pemerintah," katanya.
Akibatnya kata mantan Dosen Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang itu rasio pajak Indonesia hingga akhir 2016 baru 11 persen, atau setara dengan banyak negara tertinggal di dunia.
"Tentu ini menjadi pertanyaan, apa karena wajib pajak yang tidak mau membayar atau aparat pajak yang tidak mampu mengumpulkan, atau memang keduanya," katanya.
Pemerintah saat ini gencar berupaya membangun Indonesia yang adil dan sejahtera melalui kepatuhan membayar pajak oleh masyarakat sekaligus membangun institusi pajak yang bersih, kompeten dan profesional.
Reformasi birokrasi yang berkelanjutan mendesak dilakukan agar wajib pajak tidak mengajukan berbagai alasan untuk tidak membayar sesuai aturan yang berlaku.
Hanya karena misalnya Undang-undang (UU) pajak yang terlalu rumit yang termasuk di dalamnya mengenai tarif yang dikenakan untuk wajib pajak, maka pajak tidak terbayar.
"Ada yang katakan tarif tinggi dibandingkan dengan Singapura. Walaupun secara dunia, rate PPh dan PPN kita sebenarnya tidak termasuk tinggi," jelasnya.
Alasan lain adalah terlalu banyak permintaan pengecualian untuk sektor atau profesi atau kelompok tertentu, baik untuk PPh maupun PPn, sehingga wajib pajak berbondong-bondong menuntut keadilan.
Masyarakat juga tidak mau patuh akan kewajiban pajak karena berbagai kasus korupsi oleh pegawai Ditjen Pajak. Paling terbaru adalah kasus Operasi Tangkap Tangan pegawai Direktorat Jendral Pajak (DJP) beberapa waktu lalu oleh KPK telah melukai hati wajib pajak.
Solusinya reformasi birokrasi yang telah dilakukan oleh berbagai kementerian termasuk Kementerian Keuangan harus dimaksimalkan untuk menciptakan birokrasi yang berintegritas.
"Tantangan birokrasi adalah integritas birokrasi, pekerjaan yang tidak boleh dilakukan setengah-setengah dan saya mengapresiasi apa yang telah dilakukan Kementerian Keuangan selama ini," ungkapnya.
Bukan cuma itu solusinya juga adalah bahwa Kementerian Keuangan harus segera memperbaiki sistem dan Sumber Daya Manusianya. Keduanya memegang peranan penting dalam melakukan pelayanan yang sempurna bagi para wajib pajak.
"Persoalan sistem yang menyangkut hardware dan software, perlu peningkatan terutama penggunaan teknologi yang mengurangi "human interface" dengan para wajib pajak," katanya.