Kupang (ANTARA) - Antropolog dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater. Gregorius Neonbasu, SvD menilai bahwa praktek "kawin tangkap" di pulau Sumba hanyalah tindakan yang pragmatis terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.
"Jadi menurut saya hal tersebut harus segera ditanggapi oleh tokoh masyarakat atau sesepuh masyarakat Sumba Sendiri karena memang praktik kawin tangkap itu sendiri hanyalah tindakan yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat di daerah itu," katanya kepada ANTARA di Kupang, Jumat (19/6).
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan beredarnya video praktik "kawin tangkap" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda dengan menculik anak gadis orang dan membawanya ke rumah pria untuk dinikahkan.
Bagi masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan juga Wawewa menganggap hal tersebut ada budaya turun temurun yang tak bisa dihilangkan walaupun hal tersebut merendahkan martabat kaum perempuan di daerah itu.
Gregorius yang juga adalah seorang budayawan itu mengaku bahwa ada beberapa peneliti dari negara lain yang melakukan penelitian soal praktek tersebut, beberapa di antaranya adalah Janet Alison Hoskin yang meneliti di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat.
"Mereka berpendapat bahwa kawin tangkap tidak boleh dikatakan sebagai suatu budaya, itu hanya kebiasaan yang selalu terjadi berulang-ulang," ujar dia.
Iapun menilai bahwa masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari dari praktik tersebut karena sudah pasti banyak yang tak sependapat dengan hal tersebut.
Sebab kata dia secara antropologis orang Sumba seperti masyarakat NTT pada umumnya yang menilai bahwa peran wanita atau perempuan itu sangat tinggi sehingga harus dihormati.
Lebih lanjut terkait apakah praktik turun temurun itu harus dihilangkan atau tidak, biarawan Katolik itu mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam perspektif kawin tangkap itu adalah mindset masyarakat setempat harus dirobah.
"Selain itu praktik kawin tangkap seperti itu harus dapat dijelaskan dengan memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan Orang Sumba dalam pertimbangan moral-etik dan benturan arti serta makna baru dari dinamika kehidupan berkeluarga," tambah dia.
Disamping itu terkait apakah praktik tersebut melanggar hukum atau tidak Gregor justru mengatakan bahwa bahwa gejolak sosial kemasyarakatan seperti ini hendaknya sedapat mungkin dapat diatasi dengan mencari simpul-simpul kearifan lokal untuk menjelaskan relasi sosial antara warga masyarakat Sumba di satu pihak, tegangan kehidupan sosial dalam keluarga-keluarga Sumba masing-masing.
"Jadi menurut saya hal tersebut harus segera ditanggapi oleh tokoh masyarakat atau sesepuh masyarakat Sumba Sendiri karena memang praktik kawin tangkap itu sendiri hanyalah tindakan yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat di daerah itu," katanya kepada ANTARA di Kupang, Jumat (19/6).
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan beredarnya video praktik "kawin tangkap" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda dengan menculik anak gadis orang dan membawanya ke rumah pria untuk dinikahkan.
Bagi masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan juga Wawewa menganggap hal tersebut ada budaya turun temurun yang tak bisa dihilangkan walaupun hal tersebut merendahkan martabat kaum perempuan di daerah itu.
Gregorius yang juga adalah seorang budayawan itu mengaku bahwa ada beberapa peneliti dari negara lain yang melakukan penelitian soal praktek tersebut, beberapa di antaranya adalah Janet Alison Hoskin yang meneliti di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat.
"Mereka berpendapat bahwa kawin tangkap tidak boleh dikatakan sebagai suatu budaya, itu hanya kebiasaan yang selalu terjadi berulang-ulang," ujar dia.
Iapun menilai bahwa masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari dari praktik tersebut karena sudah pasti banyak yang tak sependapat dengan hal tersebut.
Sebab kata dia secara antropologis orang Sumba seperti masyarakat NTT pada umumnya yang menilai bahwa peran wanita atau perempuan itu sangat tinggi sehingga harus dihormati.
Lebih lanjut terkait apakah praktik turun temurun itu harus dihilangkan atau tidak, biarawan Katolik itu mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam perspektif kawin tangkap itu adalah mindset masyarakat setempat harus dirobah.
"Selain itu praktik kawin tangkap seperti itu harus dapat dijelaskan dengan memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan Orang Sumba dalam pertimbangan moral-etik dan benturan arti serta makna baru dari dinamika kehidupan berkeluarga," tambah dia.
Disamping itu terkait apakah praktik tersebut melanggar hukum atau tidak Gregor justru mengatakan bahwa bahwa gejolak sosial kemasyarakatan seperti ini hendaknya sedapat mungkin dapat diatasi dengan mencari simpul-simpul kearifan lokal untuk menjelaskan relasi sosial antara warga masyarakat Sumba di satu pihak, tegangan kehidupan sosial dalam keluarga-keluarga Sumba masing-masing.