Kupang (Antara NTT) - Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur mencatat sejak 2016 sebanyak 2.891 kasus gizi buruk menimpa anak-anak di provinsi kepulauan itu yang mengakibatkan masalah kekerdilan (stunting).
"Jumlah tersebut diperoleh dari hasil pemantauan terhadap jumlah balita di daerah itu pada 2016 sebanyak 437.730 anak," kata Kepala Dinas Kesehatan NTT Cornelius Kodi Mete di Kupang, Jumat.
Ia mengatakan masalah kekerdilan (stunting) merupakan masalah gizi masa lalu yang terus mejadi perhatian serius pemerintah setempat.
"Untuk itu sekarang ini kita lagi giat mengkampanyekan agar pola asupan gizi di masyarakat selalu diperbaiki dari waktu ke waktu agar bisa mengurangi secara drastis angka gizi buruk yang ada," katanya.
Menurutnya, jika terjadi masalah kekurangn gizi maka pihaknya segera mengatasinya melalui intervensi petugas kesehatan di setiap kabupaten/kota melalui Puskemas-Puskesmas.
Ia menjelaskan, langkah-langkah pencegahan yang gencar dilakukan yakni dengan penyuluhan yang maksimal kepada ibu hamil agar mendapat asupan gizi yang cukup sehingga pertumbuhann janin dalam kandungannya juga berlangsung baik dan maksimal.
Kemudian, setelah bayi dilahirkan diberikan pula ASI eksklusif selama enam bulan, timbah dengan makanan tambahan lainnya pada usia enam bulan ke atas.
"Kemudian pada usia balita juga kita terus arahkan agar ibu yang memiliki bayi harus rajin dibawa ke Posyandu dan diiukuti dengan intervensi lainnya kalau diketahui adanya kecenderungan gizi kurang," katanya.
Cornelis mengaku, angka gizi buruk saat di NTT saat ini sudah berkurang dibandingkan dengan dua hingga tiga tahun yang lalu.
Meskipun belum memastikan angka penurunan kasus gizi buruk tersebut, namun menurutnya, kondisi itu didukung dengan kesigapan petugas kesehatan di lapangan yang ketika mendapati adanya kasus gizi kurang langsung melakukan intervensi dengan berbagai asupan gizi.
"Karena kalau sudah statusnya gizi buruk kan walaupun diintervensi tapi hasilnya tidak maksimal karena sudah ada dampak-dampak lanjutnya seingga kita selalu minta kesigapan petugas untuk lakukan pencegahan dini," katanya.
Lebih lanjut, Cornelis upaya mendorong penguatan asupan gizi untuk masyarakat juga didukung pula dengan adanya program yang gencar digalakkan pemerintah pusat melalui kampanye gemar makan ikan.
"Kita berterima kasih untuk program penguatan gizi melalui kampanye makan ikan ini karena memiliki manfaat yang sangat baik bagi tumbuh kembang dan kesehatan ibu dan anak-anak," katanya.
Menurutnya, Dinas Kesehatan juga ikut serta mengkampanyekan gemar makan ikan karena kandungan gizi berupa protein yang bagus mereduksi peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular, salah satunya masalah gizi buruk.
Untuk itu, ia berharap pemerintah di setiap daerah bisa menyambut dengan baik dan turut mendukung dengan memastikan kesediaan ikan yang memadai untuk masyarkatnya.
"Di laut kita memang banyak ikan tapi butuh banyak pula keahlian masyarakat untuk menangkapnya, untuk itu lintas sektor lain juga perlu menggiatkannya sehingga betul-betul pasokan ikan dapat tercukupi untuk masyarakat kita," ujarnya.
"Jumlah tersebut diperoleh dari hasil pemantauan terhadap jumlah balita di daerah itu pada 2016 sebanyak 437.730 anak," kata Kepala Dinas Kesehatan NTT Cornelius Kodi Mete di Kupang, Jumat.
Ia mengatakan masalah kekerdilan (stunting) merupakan masalah gizi masa lalu yang terus mejadi perhatian serius pemerintah setempat.
"Untuk itu sekarang ini kita lagi giat mengkampanyekan agar pola asupan gizi di masyarakat selalu diperbaiki dari waktu ke waktu agar bisa mengurangi secara drastis angka gizi buruk yang ada," katanya.
Menurutnya, jika terjadi masalah kekurangn gizi maka pihaknya segera mengatasinya melalui intervensi petugas kesehatan di setiap kabupaten/kota melalui Puskemas-Puskesmas.
Ia menjelaskan, langkah-langkah pencegahan yang gencar dilakukan yakni dengan penyuluhan yang maksimal kepada ibu hamil agar mendapat asupan gizi yang cukup sehingga pertumbuhann janin dalam kandungannya juga berlangsung baik dan maksimal.
Kemudian, setelah bayi dilahirkan diberikan pula ASI eksklusif selama enam bulan, timbah dengan makanan tambahan lainnya pada usia enam bulan ke atas.
"Kemudian pada usia balita juga kita terus arahkan agar ibu yang memiliki bayi harus rajin dibawa ke Posyandu dan diiukuti dengan intervensi lainnya kalau diketahui adanya kecenderungan gizi kurang," katanya.
Cornelis mengaku, angka gizi buruk saat di NTT saat ini sudah berkurang dibandingkan dengan dua hingga tiga tahun yang lalu.
Meskipun belum memastikan angka penurunan kasus gizi buruk tersebut, namun menurutnya, kondisi itu didukung dengan kesigapan petugas kesehatan di lapangan yang ketika mendapati adanya kasus gizi kurang langsung melakukan intervensi dengan berbagai asupan gizi.
"Karena kalau sudah statusnya gizi buruk kan walaupun diintervensi tapi hasilnya tidak maksimal karena sudah ada dampak-dampak lanjutnya seingga kita selalu minta kesigapan petugas untuk lakukan pencegahan dini," katanya.
Lebih lanjut, Cornelis upaya mendorong penguatan asupan gizi untuk masyarakat juga didukung pula dengan adanya program yang gencar digalakkan pemerintah pusat melalui kampanye gemar makan ikan.
"Kita berterima kasih untuk program penguatan gizi melalui kampanye makan ikan ini karena memiliki manfaat yang sangat baik bagi tumbuh kembang dan kesehatan ibu dan anak-anak," katanya.
Menurutnya, Dinas Kesehatan juga ikut serta mengkampanyekan gemar makan ikan karena kandungan gizi berupa protein yang bagus mereduksi peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular, salah satunya masalah gizi buruk.
Untuk itu, ia berharap pemerintah di setiap daerah bisa menyambut dengan baik dan turut mendukung dengan memastikan kesediaan ikan yang memadai untuk masyarkatnya.
"Di laut kita memang banyak ikan tapi butuh banyak pula keahlian masyarakat untuk menangkapnya, untuk itu lintas sektor lain juga perlu menggiatkannya sehingga betul-betul pasokan ikan dapat tercukupi untuk masyarakat kita," ujarnya.