Jakarta (ANTARA) - Komisi II DPR RI mengajukan revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sejak akhir tahun lalu, ada beberapa alasan langkah itu dilakukan, salah satunya perbaikan penyelenggaraannya apabila Pilkada, Pemilu Presiden, dan Pemilu Legislatif dilakukan serentak.
Pelaksanaan Pilkada sebelumnya merujuk pada UU sendiri antara lain UU nomor 22 tahun 2014, UU nomor 1 tahun 2015, dan UU nomor 10 tahun 2016.
Sementara itu, UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu merupakan hasil revisi yang dilakukan DPR RI, pemerintah dan DPD RI terhadap paket UU Pemilu yakni UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta UU Nomor 15 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Pemilu.
Langkah revisi tersebut dilakukan terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 yang mengabulkan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang dikomandani Effendi Gazali.
Pemohon menganggap Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres yang dilakukan terpisah itu tidak efisien (boros) yang berakibat merugikan hak konstitusional pemilih. Pemohon juga mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential cocktail dan political efficasy (kecerdasan berpolitik).
Dampak Putusan MK tersebut menyebabkan parlemen dan pemerintah harus membahas sebuah UU yang dapat mengatur regulasi secara sekaligus terkait Pilpres, Pileg dan penyelenggara Pemilu.
Revisi ketiga UU tersebut bertujuan menyederhanakan sistem pemilu di Indonesia pada 2019, masyarakat secara serentak memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif.
Di tahun 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait rekonstruksi keserentakan Pemilu yaitu melalui Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu.
MK dalam putusan-nya tersebut menyebutkan enam varian model Pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keenam varian tersebut yaitu Pertama, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan presiden.
Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Ketiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota.
Keempat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota.
Kelima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.
Keenam, pilihan-pilihan keserentakan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Karena itu revisi UU Pemilu disusun untuk mengantisipasi keserentakan pelaksanaan Pilkada, Pilpres, dan Pileg dengan menggabungkan aturan pelaksanaannya.
Draf RUU Pemilu tersebut bisa dikatakan sebagai paket RUU Kepemiluan karena di dalamnya mengatur terkait pelaksanaan Pileg, Pilpres, Pilkada, dan penyelenggara Pemilu.
Karena itu RUU tersebut akan menyatukan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu agar disesuaikan dengan perkembangan demokrasi dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada beberapa poin krusial dalam RUU tersebut yang kemudian menjadi perdebatan antar-partai politik karena menyangkut masa depan partai tersebut di Pemilu mendatang.
Namun pada akhirnya beberapa poin krusial tersebut yang akhirnya membuat partai-partai tersebut harus berbalik arah dukungan terhadap RUU tersebut.
Perubahan sikap fraksi
Di awal pengajuan revisi UU Pemilu, mayoritas fraksi-fraksi di DPR setuju termasuk partai pendukung pemerintah seperti Partai Golkar, Partai NasDem, dan PKB. Partai pendukung pemerintah lainnya seperti PDIP, Gerindra, dan PPP sejak awal menolak adanya revisi UU Pemilu tersebut.
Sementara itu parpol oposisi, hanya PAN yang mengambil sikap tidak setuju RUU Pemilu, sedangkan PKS dan Partai Demokrat setuju dilakukannya revisi UU Pemilu sebagai upaya pembenahan pelaksanaan Pemilu.
Dari poin-poin isu krusial dalam RUU Pemilu, jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak nasional yang menjadi perbedaan pendapat antar-partai.
Dalam Pasal 201 ayat 8 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan, "Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024".
Aturan tersebut hendak diubah dalam revisi UU Pemilu dengan mengubah jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak nasional sehingga menyebabkan perbedaan pandangan.
Dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 ayat (1) disebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020".
Pasal 731 ayat (2) disebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022".
Pasal 731 ayat (3) disebutkan "Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023".
Di Pasal 734 ayat (1) dijelaskan bahwa "Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali". Lalu dalam Pasal 734 ayat (2) disebutkan "Pemilu Nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali".
Terkait jadwal Pilkada, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyatakan sikapnya yaitu Pilkada Serentak Tahun 2024 merupakan amanat dan konsisten dengan Undang-Undang yang ada.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota merupakan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015. Dalam perubahan tersebut, di antaranya mengamanatkan perubahan keserentakan nasional yang semula dilaksanakan pada 2020 menjadi 2024.
Perubahan tersebut bukan tanpa dasar, melainkan telah disesuaikan dengan alasan yuridis, filosofis, hingga sosiologis.
Karena itu keinginan pihak-pihak agar pelaksanaan Pilkada serentak nasional pada tahun 2024 cukup beralasan agar pemerintah mempunyai rentang waktu untuk konsentrasi mengatasi pandemik COVID-19 karena tidak dilaksanakan Pilkada di tahun 2022 dan 2023, merujuk pada UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam perkembangannya, peta politik di DPR langsung berubah, mayoritas fraksi saat ini menyatakan tidak setuju adanya revisi UU Pemilu. Parpol pendukung pemerintah yang awalnya setuju revisi UU Pemilu, akhirnya berbalik arah dengan menarik dukungan yaitu F-PKB, F-NasDem, dan F-Golkar.
Kabar yang berkembang, sikap partai tersebut diambil setelah para pimpinan parpol tersebut menjalin komunikasi dengan perwakilan pemerintah sehingga akhirnya mengambil sikap menarik dukungan terhadap revisi UU Pemilu.
Secara garis besar ketiga partai tersebut beragumen bahwa sikap berbalik arah tersebut karena kondisi pandemik COVID-19 yang melanda Indonesia dan dunia saat ini, menjadi hambatan serius bagi upaya melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi undang-undang pemilu.
Karena itu lebih baik energi dan sumber daya bangsa Indonesia difokuskan dalam penanganan serta dampak pandemik COVID-19 di bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Langkah itu sangat logis karena saat ini pemerintah sedang fokus dalam penanganan pandemik dan dampaknya sehingga sudah tepat agar pemerintah diberikan kesempatan mengatasi persoalan tersebut.
Selain itu, Komisi II DPR Ri sebagai pengusul RUU Pemilu langsung bergerak cepat dengan menggelar rapat Pimpinan Komisi II bersama Ketua kelompok fraksi (Kapoksi) pada Rabu (9/2) untuk menyikapi perkembangan terkini RUU tersebut.
Hasilnya adalah Komisi II DPR telah sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan Komisi II DPR tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR dan akan dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Namun, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Demokrat di Komisi II DPR RI Anwar Hafid membantah klaim Pimpinan Komisi II DPR bahwa semua fraksi termasuk Fraksi Demokrat ikut menyetujui untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Demokrat merasa keberatan dengan pernyataan Pimpinan Komisi II DPR itu yang mencantumkan seolah-olah seluruh anggota Komisi II DPR-RI mendukung untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu. Padahal Partai Demokrat tetap pada sikap yang sama sejak awal mendukung revisi UU Pemilu dan normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.
Sikap mayoritas fraksi yang menolak revisi UU Pemilu tidak otomatis membuat RUU tersebut batal dibahas karena telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang telah disahkan dalam pengambilan keputusan Tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Januari 2021.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan kewenangan proses penarikan pembahasan RUU Pemilu dalam mekanisme pengambilan keputusan berada di Badan Legislasi dan menunggu hasil kesepakatan sembilan fraksi di Baleg.
Hal itu karena draf RUU Pemilu yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan hasil kesepakatan sembilan fraksi di Baleg DPR RI yang disampaikan kepada Pimpinan DPR untuk dibawa dan di bahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus).
Karena itu Baleg harus memutuskan penarikan pembahasan dan mengirimkan kembali surat kepada Pimpinan DPR untuk dibawa kembali ke rapat Bamus.
Dalam kaitan tersebut tugas Baleg DPR telah selesai mengesahkan Prolegnas Prioritas 2021 yang di dalamnya terdapat RUU Pemilu, tinggal menunggu pengesahan dalam pengambilan keputusan Tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR.
Namun hingga Rapat Paripurna DPR pada Rabu (10/2) dengan agenda Penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2020-2021, Prolegnas belum bisa diambil keputusan.
Sesuai mekanisme di DPR, keputusan yang telah disepakati di tingkat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) atau keputusan Tingkat I, harus dibawa dalam Rapat Paripurna untuk disetujui seluruh anggota DPR atau pengambilan keputusan Tingkat II.
Karena itu pengesahan RUU yang masuk dalam Prolegnas 2021 di tingkat Baleg, tidak bisa membuat AKD melakukan langkah pembahasan RUU karena harus menunggu pengesahan di Tingkat II, sekalipun hanya proses harmonisasi.
Baca juga: Alasan pemerintah menolak revisi UU Pemilu cukup rasional
Saat ini DPR RI sedang masa reses sejak 11 Februari hingga 7 Maret 2021, karena itu dapat dipastikan masa depan RUU Pemilu akan diputuskan pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2020-2021 yang akan dimulai 8 Maret mendatang.
Pada Masa Sidang IV tersebut DPR akan memastikan apakah RUU Pemilu tetap masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 atau dikeluarkan. Kalau dikeluarkan dari Prolegnas maka dipastikan RUU usulan Komisi II DPR RI itu tidak jadi dibahas dan regulasi Kepemiluan akan merujuk pada UU yang sudah ada.
Nasib RUU Pemilu layu sebelum berkembang
Ilustrasi - RUU Pemilu. (cc)