Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona menilai sikap pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri menolak revisi UU Pemilu dengan alasan negara sedang fokus mengatasi COVID-19 cukup rasional.
"Saya kira, rakyat juga diberi opsi lain yang cukup rasional. Bahwa negara sedang fokus mengatasi pandemi COVID-19 dan dua tahun ke depan anggaran lebih baik digunakan untuk pemulihan ekonomi sehingga pemerintah menolak rencana revisi UU Pemilu adalah opsi lain yang cukup masuk akal dan punya basis argumentasi yang juga kuat," kata Mikhael Rajamuda Bataona, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2).
Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Polirik (Fisip) Unwira tersebut mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan respon pemerintah terhadap rencana revisi UU Pemilu.
Menurut dia, alasan COVID-19 itu lebih pada soal pemulihan ekonomi pascaCOVID-19.
"Jadi anggaran negara di tahun 2022 dan 2023 lebih baik digunakan untuk pemulihan ekonomi dari pada untuk Pilkada, karena tahun depan hingga dua tahun ke depan, perekonomian negara belum benar-benar pulih akibat pandemi ini," katanya menjelaskan.
Baca juga: Akademisi sebut larangan eks HTI ikut kontestasi pemilu berlebihan
Apalagi tahun 2022 hanya tersisa satu tahun lagi di mana hingga saat ini belum bisa dipastikan kapan pandemi COVID-19 ini berakhir, kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu.
"Jadi contra wacana yang digulirkan pemerintan bahwa UU Pemilu belum perlu direvisi, lantaran UU itu masih mengatur rangkaian pemilu di Indonesia hingga 2024 adalah sebuah wacana yang juga patut dicerna dan dikritisi,". "Apakah cukup rasional dan bisa diterima publik atau harus ditolak," katanya menambahkan.
Hanya saja perlu dipahami bahwa visi atas UU Pemilu memang punya sisi lemah karena jika hitungannya hanya pada pragmatisme politik dan perburuan kekuasan jangka pendek maka masalah utama bangsa yaitu perbaikan mutu dan kualitas pemilu diabaikan.
Tidak pasti
Dia menambahkan, revisi UU Pemilu ini akan membuat pola pemilihan umum tidak pernah pasti dan tetap.
Tujuan awal sejak 1999 untuk memprbaiki kualitas pemilu juga menjadi mandek dan begitu-begitu saja karena sistemnya terus berubah.
Mengapa karena partai politik sebagai pemburu kekuasaan dalam politik akan fokus mengamankan posisinya di pemilu berikutnya sehingga UU akan distel untuk mengamankan posisi mereka.
Baca juga: Akademisi: Pemilu Indonesia bisa mengadopsi model konvensi Amerika
Mereka yang duduk di parlemen untuk menentukan perubahn UU Pemilu akan cenderung pragmatis, dan berorientasi pada hasil jangka pendek, di mana, dominasi partai mereka harus tetap kuat di parlemen karena itulah jaminan untuk mengakses kekuasaan dan menjadi alat bargaining ke kekuasaan eksekutif.
Hasilnya adalah kualitas pemilu kita hanya berubah dari model tertutup absolut menjadi terbuka liberal.
Di mana pemilu kita akhirnya terus didominasi oleh permainan uang, politisasi bantuan, politisasi SARA, sentimentalitas dan perang hoax.
Pemilu kita sulit naik level menjadi ajang adu gagasan dan visi misi karena kualitas calon tidak pernah disiapkan parpol. Mereka hanya sibuk- sibuk menyesuaikan diri dengan UU pemilu yang baru.
Di mana setiap lima tahun, partai harus menyesuaikan diri dengan hasil revisi UU yaitu terkait sistem penghitungan suara, hitungan threshold atau ambang batas yang selalu naik, hingga konversi suara menjadi kursi, dan dapil yang juga selalu bertambah bahkan juga menyesuaikan diri dengan sistem pemilunya apakah proporsional terbuka atau tertutup. ***2***
"Saya kira, rakyat juga diberi opsi lain yang cukup rasional. Bahwa negara sedang fokus mengatasi pandemi COVID-19 dan dua tahun ke depan anggaran lebih baik digunakan untuk pemulihan ekonomi sehingga pemerintah menolak rencana revisi UU Pemilu adalah opsi lain yang cukup masuk akal dan punya basis argumentasi yang juga kuat," kata Mikhael Rajamuda Bataona, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2).
Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Polirik (Fisip) Unwira tersebut mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan respon pemerintah terhadap rencana revisi UU Pemilu.
Menurut dia, alasan COVID-19 itu lebih pada soal pemulihan ekonomi pascaCOVID-19.
"Jadi anggaran negara di tahun 2022 dan 2023 lebih baik digunakan untuk pemulihan ekonomi dari pada untuk Pilkada, karena tahun depan hingga dua tahun ke depan, perekonomian negara belum benar-benar pulih akibat pandemi ini," katanya menjelaskan.
Baca juga: Akademisi sebut larangan eks HTI ikut kontestasi pemilu berlebihan
Apalagi tahun 2022 hanya tersisa satu tahun lagi di mana hingga saat ini belum bisa dipastikan kapan pandemi COVID-19 ini berakhir, kata pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu.
"Jadi contra wacana yang digulirkan pemerintan bahwa UU Pemilu belum perlu direvisi, lantaran UU itu masih mengatur rangkaian pemilu di Indonesia hingga 2024 adalah sebuah wacana yang juga patut dicerna dan dikritisi,". "Apakah cukup rasional dan bisa diterima publik atau harus ditolak," katanya menambahkan.
Hanya saja perlu dipahami bahwa visi atas UU Pemilu memang punya sisi lemah karena jika hitungannya hanya pada pragmatisme politik dan perburuan kekuasan jangka pendek maka masalah utama bangsa yaitu perbaikan mutu dan kualitas pemilu diabaikan.
Tidak pasti
Dia menambahkan, revisi UU Pemilu ini akan membuat pola pemilihan umum tidak pernah pasti dan tetap.
Tujuan awal sejak 1999 untuk memprbaiki kualitas pemilu juga menjadi mandek dan begitu-begitu saja karena sistemnya terus berubah.
Mengapa karena partai politik sebagai pemburu kekuasaan dalam politik akan fokus mengamankan posisinya di pemilu berikutnya sehingga UU akan distel untuk mengamankan posisi mereka.
Baca juga: Akademisi: Pemilu Indonesia bisa mengadopsi model konvensi Amerika
Mereka yang duduk di parlemen untuk menentukan perubahn UU Pemilu akan cenderung pragmatis, dan berorientasi pada hasil jangka pendek, di mana, dominasi partai mereka harus tetap kuat di parlemen karena itulah jaminan untuk mengakses kekuasaan dan menjadi alat bargaining ke kekuasaan eksekutif.
Hasilnya adalah kualitas pemilu kita hanya berubah dari model tertutup absolut menjadi terbuka liberal.
Di mana pemilu kita akhirnya terus didominasi oleh permainan uang, politisasi bantuan, politisasi SARA, sentimentalitas dan perang hoax.
Pemilu kita sulit naik level menjadi ajang adu gagasan dan visi misi karena kualitas calon tidak pernah disiapkan parpol. Mereka hanya sibuk- sibuk menyesuaikan diri dengan UU pemilu yang baru.
Di mana setiap lima tahun, partai harus menyesuaikan diri dengan hasil revisi UU yaitu terkait sistem penghitungan suara, hitungan threshold atau ambang batas yang selalu naik, hingga konversi suara menjadi kursi, dan dapil yang juga selalu bertambah bahkan juga menyesuaikan diri dengan sistem pemilunya apakah proporsional terbuka atau tertutup. ***2***