Denpasar (ANTARA) - Masalah suku/etnik, agama/ideologi, ras/pribumi dan nonpribumi, dan antargolongan/kaya/miskin (SARA) adalah diskusi paling ramai di wilayah religius seperti Indonesia.
Tak salah, presiden ke-2 RI H.M. Soeharto selalu berusaha menghindarkan bangsa ini dari masalah SARA karena dampaknya lebih gawat daripada masalahnya, yakni memicu perpecahan bangsa ini, apalagi pada era digital yang ditingkahi media sosial (medsos).
Salah satu bukti masalah SARA yang ramai selain soal etnik, semisal nonpribumi dari Tiongkok adalah soal agama/ideologi terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2021.
Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu menjadi diskusi yang ramai karena menyinggung investasi minuman keras yang diharamkan Islam. Khas Indonesia banget.
Adalah Gubernur Bali Wayan Koster yang mengawali dengan pernyataan (22-2-2021) bahwa minuman arak Bali, brem Bali, dan tuak Bali menjadi usaha yang sah untuk diproduksi dan dikembangkan seiring dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Perpres sebelumnya, yakni Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sebagai penjabaran Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menetapkan bahwa industri minuman beralkohol merupakan bidang usaha tertutup
Namun, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdapat ketentuan yang mengubah Pasal 12 UU Penanaman Modal tersebut dengan menetapkan minuman beralkohol tidak merupakan bidang usaha tertutup penanaman modal.
Oleh karena itu, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu menetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Baca juga: PKB menolak legalisasi minuman keras
"Atas nama pemerintah dan krama (masyarakat) Bali, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021," kata Gubernur Koster (22-2-2021).
Perpres tersebut memperkuat keberadaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, bahkan Koster juga menyebut hal itu juga merupakan respons atas upaya Gubernur Bali melalui Surat Gubernur Bali Nomor 530/2520/Ind/Disdagperin, tertanggal 24 April 2019.
Dalam surat tersebut berisi permohonan fasilitasi revisi untuk pembinaan industri minuman beralkohol tradisional di Bali untuk meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan di Bali terkait Perpres Nomor 39 Tahun 2014.
"Terhadap permohonan Surat Gubernur Bali itu, Menteri Perindustrian RI melalui Dirjen Industri Agro merespons untuk memfasilitasi revisi Perpres Nomor 39 Tahun 2014 dan sambil menunggu perubahan perpres mengusulkan pengaturan dalam produk hukum daerah guna menata minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali," kata Koster.
Sambil menunggu perpres itulah, Pemerintah Provinsi Bali pada tanggal 29 Januari 2020 memberlakukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Daya Rusak Lebih Besar
Nada penolakan perpres itu justru datang dari aktivis asal Papua yang juga merupakan mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai meski Papua disebut dalam perpres itu bersama Bali, NTT, dan Sulut untuk peluang penanaman modal baru terkait dengan minuman beralkohol.
"Ada pejabat negara yang ngaku 'Orang Asli Papua' yang diduga usul Perpres Miras di Wilayah-wilayah Kristen. Apa motifnya? Saya sudah protes karena ragu dengan kapasitasnya sejak awal, apa Anda tidak mampu kerja dan menghadirkan investasi yang lebih bermartabat? Kasihan Jokowi Tertipu," kata NataliusPigai dalam akun twitternya, 27 Februari 2021.
Bahkan, beberapa catatan yang digulirkan oleh beberapa pihak yang menolak aturan ini, disebut-sebut bahwa miras adalah penyebab kematian utama di Papua.
Agaknya, penolakan itu tidak hanya karena pelegalan minuman beralkohol itu pada wilayah khusus, yakni Bali, NTT, Sulut, dan Papua. Namun, dikhawatirkan bisnisnya menyebar ke mana-mana yang bukan wilayah khusus itu karena bisnis itu berkembang dan sulit dibatasi.
"Tidak bisa atas nama kearifan lokal atau sudah lama ada maka dipertahankan (dilegalkan minuman keras) itu," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat M. Cholil Nafis di Jakarta (1-3-2021).
Cholil berpendapat bahwa pembukaan industri miras akan memberikan keuntungan kepada segelintir orang namun akan menimbulkan kerugian besar bagi masa depan rakyat.
"Saya pikir harus dicabut. Mungkin untungnya bagi investasi, iya, tetapi mudarat bagi investasi umat," katanya.
Hal itu dibenarkan Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siradj.
Ia menolak rencana pemerintah karena investor pasti akan berlomba-lomba membangun pabrik minuman keras demi mengejar keuntungan sehingga daya rusak untuk masyarakat akan lebih besar atau tidak sebanding dengan investasi yang diperoleh.
"Minuman keras jelas-jelas lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Hasil investasi tak sebanding dengan rusaknya bangsa ini, sama seperti yang dilakukan oleh para petani opium di Afghanistan, yang mengaku tidak akan mengonsumsi opium tetapi untuk orang luar. Mirip," katanya dalam laman resmi PBNU, 28 Februari 2021.
Penolakan yang bersifat kritis pada kebijakan itu masih dapat dinalar. Namun, era digital dengan maraknya media sosial justru menambah runyam, karena kritik yang cukup indah itu menjadi "keruh" akibat olok-olok yang bersifat personal, bukan pada kebijakan seperti pada media massa.
Baca juga: Pengamat nilai perpres minuman alkohol ciptakan lapangan kerja
Beredar tangkapan layar di media sosial dan aplikasi perpesanan yang mencatut Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin yang memperbolehkan investasi minuman miras untuk kas negara pada bulan Februari 2021.
Bahkan, salah satu unggahan di aplikasi TikTok menyertakan tangkapan layar berita dengan judul "Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh untuk Bantu Kas Negara".
Berita yang tampak dari media daring kompas.com itu menyertakan foto Wapres Ma'ruf, padahal tangkapan layar berita dengan judul serupa di unggahan TikTok itu tidak dapat ditemukan dalam portal berita Kompas.com sehingga tangkapan layar unggahan TikTok itu merupakan konten yang direkayasa atau hoaks.
Ibarat buah simalakama, minuman beralkohol yang dilegalkan pada tingkat lokal (Bali, NTT, Sulut, dan Papua) akan berbanding terbalik dengan faktor bisnis yang sulit dikenalikan dan akhirnya merugikan di tingkat nasional (masyarakat Indonesia). Maka, diskusi yang kritis perlu dilakukan lewat diskusi publik agar tidak menjadi liar lewat medsos yang bersifat olok-olok.
Tak salah, presiden ke-2 RI H.M. Soeharto selalu berusaha menghindarkan bangsa ini dari masalah SARA karena dampaknya lebih gawat daripada masalahnya, yakni memicu perpecahan bangsa ini, apalagi pada era digital yang ditingkahi media sosial (medsos).
Salah satu bukti masalah SARA yang ramai selain soal etnik, semisal nonpribumi dari Tiongkok adalah soal agama/ideologi terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2021.
Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu menjadi diskusi yang ramai karena menyinggung investasi minuman keras yang diharamkan Islam. Khas Indonesia banget.
Adalah Gubernur Bali Wayan Koster yang mengawali dengan pernyataan (22-2-2021) bahwa minuman arak Bali, brem Bali, dan tuak Bali menjadi usaha yang sah untuk diproduksi dan dikembangkan seiring dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Perpres sebelumnya, yakni Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, sebagai penjabaran Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menetapkan bahwa industri minuman beralkohol merupakan bidang usaha tertutup
Namun, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdapat ketentuan yang mengubah Pasal 12 UU Penanaman Modal tersebut dengan menetapkan minuman beralkohol tidak merupakan bidang usaha tertutup penanaman modal.
Oleh karena itu, Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu menetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Baca juga: PKB menolak legalisasi minuman keras
"Atas nama pemerintah dan krama (masyarakat) Bali, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021," kata Gubernur Koster (22-2-2021).
Perpres tersebut memperkuat keberadaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, bahkan Koster juga menyebut hal itu juga merupakan respons atas upaya Gubernur Bali melalui Surat Gubernur Bali Nomor 530/2520/Ind/Disdagperin, tertanggal 24 April 2019.
Dalam surat tersebut berisi permohonan fasilitasi revisi untuk pembinaan industri minuman beralkohol tradisional di Bali untuk meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan di Bali terkait Perpres Nomor 39 Tahun 2014.
"Terhadap permohonan Surat Gubernur Bali itu, Menteri Perindustrian RI melalui Dirjen Industri Agro merespons untuk memfasilitasi revisi Perpres Nomor 39 Tahun 2014 dan sambil menunggu perubahan perpres mengusulkan pengaturan dalam produk hukum daerah guna menata minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali," kata Koster.
Sambil menunggu perpres itulah, Pemerintah Provinsi Bali pada tanggal 29 Januari 2020 memberlakukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Daya Rusak Lebih Besar
Nada penolakan perpres itu justru datang dari aktivis asal Papua yang juga merupakan mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai meski Papua disebut dalam perpres itu bersama Bali, NTT, dan Sulut untuk peluang penanaman modal baru terkait dengan minuman beralkohol.
"Ada pejabat negara yang ngaku 'Orang Asli Papua' yang diduga usul Perpres Miras di Wilayah-wilayah Kristen. Apa motifnya? Saya sudah protes karena ragu dengan kapasitasnya sejak awal, apa Anda tidak mampu kerja dan menghadirkan investasi yang lebih bermartabat? Kasihan Jokowi Tertipu," kata NataliusPigai dalam akun twitternya, 27 Februari 2021.
Bahkan, beberapa catatan yang digulirkan oleh beberapa pihak yang menolak aturan ini, disebut-sebut bahwa miras adalah penyebab kematian utama di Papua.
Agaknya, penolakan itu tidak hanya karena pelegalan minuman beralkohol itu pada wilayah khusus, yakni Bali, NTT, Sulut, dan Papua. Namun, dikhawatirkan bisnisnya menyebar ke mana-mana yang bukan wilayah khusus itu karena bisnis itu berkembang dan sulit dibatasi.
"Tidak bisa atas nama kearifan lokal atau sudah lama ada maka dipertahankan (dilegalkan minuman keras) itu," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat M. Cholil Nafis di Jakarta (1-3-2021).
Cholil berpendapat bahwa pembukaan industri miras akan memberikan keuntungan kepada segelintir orang namun akan menimbulkan kerugian besar bagi masa depan rakyat.
"Saya pikir harus dicabut. Mungkin untungnya bagi investasi, iya, tetapi mudarat bagi investasi umat," katanya.
Hal itu dibenarkan Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siradj.
Ia menolak rencana pemerintah karena investor pasti akan berlomba-lomba membangun pabrik minuman keras demi mengejar keuntungan sehingga daya rusak untuk masyarakat akan lebih besar atau tidak sebanding dengan investasi yang diperoleh.
"Minuman keras jelas-jelas lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Hasil investasi tak sebanding dengan rusaknya bangsa ini, sama seperti yang dilakukan oleh para petani opium di Afghanistan, yang mengaku tidak akan mengonsumsi opium tetapi untuk orang luar. Mirip," katanya dalam laman resmi PBNU, 28 Februari 2021.
Penolakan yang bersifat kritis pada kebijakan itu masih dapat dinalar. Namun, era digital dengan maraknya media sosial justru menambah runyam, karena kritik yang cukup indah itu menjadi "keruh" akibat olok-olok yang bersifat personal, bukan pada kebijakan seperti pada media massa.
Baca juga: Pengamat nilai perpres minuman alkohol ciptakan lapangan kerja
Beredar tangkapan layar di media sosial dan aplikasi perpesanan yang mencatut Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin yang memperbolehkan investasi minuman miras untuk kas negara pada bulan Februari 2021.
Bahkan, salah satu unggahan di aplikasi TikTok menyertakan tangkapan layar berita dengan judul "Jual Minuman Keras Hukumnya Boleh untuk Bantu Kas Negara".
Berita yang tampak dari media daring kompas.com itu menyertakan foto Wapres Ma'ruf, padahal tangkapan layar berita dengan judul serupa di unggahan TikTok itu tidak dapat ditemukan dalam portal berita Kompas.com sehingga tangkapan layar unggahan TikTok itu merupakan konten yang direkayasa atau hoaks.
Ibarat buah simalakama, minuman beralkohol yang dilegalkan pada tingkat lokal (Bali, NTT, Sulut, dan Papua) akan berbanding terbalik dengan faktor bisnis yang sulit dikenalikan dan akhirnya merugikan di tingkat nasional (masyarakat Indonesia). Maka, diskusi yang kritis perlu dilakukan lewat diskusi publik agar tidak menjadi liar lewat medsos yang bersifat olok-olok.