Kupang (Antara NTT) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Nusa Tenggara Timur mengecam tindakan kriminalisasi terhadap seorang aktivis lingkungan Dedy Febrianto Holo atas kritik yang dilayangkan terkait kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.
"Kami mengecam bentuk kriminalisasi yang dilakukan Bupati Sumba Timur terhadap aktivis sahabat alam Wahli NTT Deddy Febrianto Holo yang dianggap melakukan pencemaran nama baik," kata Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu lewat keterangan tertulis yang diterima di Kupang, Minggu.
Kecaman itu disampaikan menyusul adanya sidang putusan Pengadilan Negeri Waingapu tertanggal 17 November 2017 yang menyatakan aktivis lingkungan Dedy Febrianto Holo (Deddy) melakukan pencemaran nama baik Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora dan Wakilnya Umbu Lili Pekuwali
Pengadilan memutuskan pidana kurungan empat bulan dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan penjara terhadap terdakwa Dedy Febrianto Holo.
Umbu Wulang menjelaskan, persoalan itu bermula pada 7 Februari 2017 ketika Dedy mendapat surat panggilan untuk dimintai keterangan terkait dugaan pencemaran nama baik lewat media sosial facebook yang katanya dilaporkan oknum pegawai negeri sipil setempat.
Dedy menulis di akun facebook: "Dimana keberpihakan GBY-ULP soal PT Ade Agro yang sampai saat ini HGU belum dicabut? Apa masih senang mendapatkan kawadak?"
Dasar pertimbangan majelis hakim, lanjut Umbu Wulang, berdasarkan pada makna kata kawadak yang menurutnya bermakna ganda, namun diartikan sebagai uang berdasarkan penjelasan ahli budaya Frans Wora Hebi dan mengesampingkan bukti yang diajukan terdakwa berupa satu buah Kamus Bahasa Sumba Kambera yang ditulis OE H Kapita.
Menurutnya, tindakan tersebut merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan kepala daerah terhadap aktivis yang selama ini kritis dengan kebijakan pembangunan di daerah setempat. "Seolah-olah memberikan kesan bahwa kalau Anda melawan saya maka penjara tempat Anda," katanya pula.
Ia menilai, upaya kriminalisasi itu merupakan bagian dari rancangan untuk mengalihkan perhatian publik terutama pemerhati lingkungan dan pangan terhadap kebijakan pemerintah daerah memberikan izin perkebunan tebu PT Muria Sumba Manis.
Perusahaan itu, katanya, sudah beroperasi tanpa mengantongi berbagai izin lingkungan dan telah melakukan perambahan hutan primer di daeah setempat.
Menurutnya, sikap kritis yang disampaikan aktivis Walhi NTT tersebut tidak lain yakni untuk membantu negara dalam mencegah pengabaian hak asasi warga terkait kelestarian ekologis dan berdaulat atas wilayah kelolanya.
Pada sisi lain, lanjutnya, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 66 menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
"Untuk itulah kami mengecam bentuk kriminalisasi seperti ini, dan menurut kami model kepemimpinan kepala daerah yang antikritik seperti ini tidak pantas untuk ditiru daerah-daerah lain," katanya lagi.
"Kami mengecam bentuk kriminalisasi yang dilakukan Bupati Sumba Timur terhadap aktivis sahabat alam Wahli NTT Deddy Febrianto Holo yang dianggap melakukan pencemaran nama baik," kata Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu lewat keterangan tertulis yang diterima di Kupang, Minggu.
Kecaman itu disampaikan menyusul adanya sidang putusan Pengadilan Negeri Waingapu tertanggal 17 November 2017 yang menyatakan aktivis lingkungan Dedy Febrianto Holo (Deddy) melakukan pencemaran nama baik Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora dan Wakilnya Umbu Lili Pekuwali
Pengadilan memutuskan pidana kurungan empat bulan dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan penjara terhadap terdakwa Dedy Febrianto Holo.
Umbu Wulang menjelaskan, persoalan itu bermula pada 7 Februari 2017 ketika Dedy mendapat surat panggilan untuk dimintai keterangan terkait dugaan pencemaran nama baik lewat media sosial facebook yang katanya dilaporkan oknum pegawai negeri sipil setempat.
Dedy menulis di akun facebook: "Dimana keberpihakan GBY-ULP soal PT Ade Agro yang sampai saat ini HGU belum dicabut? Apa masih senang mendapatkan kawadak?"
Dasar pertimbangan majelis hakim, lanjut Umbu Wulang, berdasarkan pada makna kata kawadak yang menurutnya bermakna ganda, namun diartikan sebagai uang berdasarkan penjelasan ahli budaya Frans Wora Hebi dan mengesampingkan bukti yang diajukan terdakwa berupa satu buah Kamus Bahasa Sumba Kambera yang ditulis OE H Kapita.
Menurutnya, tindakan tersebut merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan kepala daerah terhadap aktivis yang selama ini kritis dengan kebijakan pembangunan di daerah setempat. "Seolah-olah memberikan kesan bahwa kalau Anda melawan saya maka penjara tempat Anda," katanya pula.
Ia menilai, upaya kriminalisasi itu merupakan bagian dari rancangan untuk mengalihkan perhatian publik terutama pemerhati lingkungan dan pangan terhadap kebijakan pemerintah daerah memberikan izin perkebunan tebu PT Muria Sumba Manis.
Perusahaan itu, katanya, sudah beroperasi tanpa mengantongi berbagai izin lingkungan dan telah melakukan perambahan hutan primer di daeah setempat.
Menurutnya, sikap kritis yang disampaikan aktivis Walhi NTT tersebut tidak lain yakni untuk membantu negara dalam mencegah pengabaian hak asasi warga terkait kelestarian ekologis dan berdaulat atas wilayah kelolanya.
Pada sisi lain, lanjutnya, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 66 menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
"Untuk itulah kami mengecam bentuk kriminalisasi seperti ini, dan menurut kami model kepemimpinan kepala daerah yang antikritik seperti ini tidak pantas untuk ditiru daerah-daerah lain," katanya lagi.