Jakarta (ANTARA) - Vaksin Sinovac efektif dan aman digunakan masyarakat berdasarkan persetujuan penggunaan darurat atau "Emergency Use of Listing" (EUL) dari WHO, kata Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama
"WHO, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan European Medicines Agency (EMA) Eropa memang sejak awal menggunakan 'cut off' di atas 50 persen untuk persetujuannya," katanya melalui pernyataan secara tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis, (3/6).
Pria yang juga bergelar Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan persetujuan WHO atas hasil penelitian fase tiga skala besar di Brazil menunjukkan efikasi 51 persen mencegah COVID-19 bergejala.
Selain itu, Sinovac juga memiliki efikasi 100 persen mencegah COVID-19 pada pasien yang mengalami kondisi gangguan kesehatan berskala berat dan 100 persen terhadap perawatan pasien di rumah sakit. "Tentu sesudah disuntik dua kali," katanya.
Dalam laporan WHO, kata Tjandra, juga dituliskan data penelitian di Indonesia dengan efikasi 65,3 persen dan di Turki 83,5 persen terhadap COVID-19 yang bergejala.
"Juga disebutkan hasil penelitian pendahuluan pascapenggunaan di Chili dengan melibatkan sekitar 2,5 juta orang dengan perkiraan efektifitas 67 persen terhadap COVID-19 yang bergejala, 85 persen terhadap kemungkinan dirawat di rumah sakit dan 80 persen terhadap kemungkinan kematian," katanya.
Tjandra mengatakan hasil penelitian pendahuluan di Manaus, Brazil, melaporkan vaksin Sinovac memiliki efektivitas 49,6 persen terhadap varian baru SARS-CoV-2 bernama P1. "Setidaknya satu dosis penyuntikan," katanya.
Tjandra mengatakan proses EUL terhadap produk vaksin memiliki sejumlah tahapan, di antaranya perusahaan vaksin akan mendaftar dulu ke WHO untuk mendapat EUL.
Selanjutnya, dilakukan analisa ilmiah dan mendalam yang melibatkan Strategic Advisory Group of Expert (SAGE) on Immunization, sebagai suatu badan independen yang membantu WHO dari sudut kepakaran ilmiahnya.
"Sesudah ada 'lampu hijau' dari SAGE, maka akan dianalisa lebih lanjut oleh WHO, dalam hal ini Department of Registration and Prequalification," katanya.
Dampak EUL terhadap vaksin Sinovac, kata Tjandra, dapat mendorong kegiatan vaksinasi COVID-19 yang lebih masif lagi di berbagai belahan dunia.
Baca juga: Pakar sebut ada sedikit penurunan efektivitas vaksin terhadap B1617
"EUL ini akan dapat digunakan dalam bantuan internasional multater, seperti COVAX. Kebetulan saya sebagai anggota Independent Allocation of Vaccines Group (IAVG) yang memang menyediakan vaksin bagi negara-negara yang membutuhkannya," katanya.
Baca juga: DPR mendukung uji klinis tahap III Vaksin Nusantara
Tjandra menambahkan EUL dari WHO dapat memberi bukti-bukti ilmiah yang cukup lengkap tentang vaksin dan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan baku setiap negara untuk mengeluarkan Emergency Use of Authorization (EUA) untuk penggunaannya di negara mereka masing-masing.
"Keterangan saya ini untuk memastikan bahwa vaksin Sinovac ini efektif dan aman, jadi tidak perlu ada keraguan sama sekali," katanya.
"WHO, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan European Medicines Agency (EMA) Eropa memang sejak awal menggunakan 'cut off' di atas 50 persen untuk persetujuannya," katanya melalui pernyataan secara tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis, (3/6).
Pria yang juga bergelar Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan persetujuan WHO atas hasil penelitian fase tiga skala besar di Brazil menunjukkan efikasi 51 persen mencegah COVID-19 bergejala.
Selain itu, Sinovac juga memiliki efikasi 100 persen mencegah COVID-19 pada pasien yang mengalami kondisi gangguan kesehatan berskala berat dan 100 persen terhadap perawatan pasien di rumah sakit. "Tentu sesudah disuntik dua kali," katanya.
Dalam laporan WHO, kata Tjandra, juga dituliskan data penelitian di Indonesia dengan efikasi 65,3 persen dan di Turki 83,5 persen terhadap COVID-19 yang bergejala.
"Juga disebutkan hasil penelitian pendahuluan pascapenggunaan di Chili dengan melibatkan sekitar 2,5 juta orang dengan perkiraan efektifitas 67 persen terhadap COVID-19 yang bergejala, 85 persen terhadap kemungkinan dirawat di rumah sakit dan 80 persen terhadap kemungkinan kematian," katanya.
Tjandra mengatakan hasil penelitian pendahuluan di Manaus, Brazil, melaporkan vaksin Sinovac memiliki efektivitas 49,6 persen terhadap varian baru SARS-CoV-2 bernama P1. "Setidaknya satu dosis penyuntikan," katanya.
Tjandra mengatakan proses EUL terhadap produk vaksin memiliki sejumlah tahapan, di antaranya perusahaan vaksin akan mendaftar dulu ke WHO untuk mendapat EUL.
Selanjutnya, dilakukan analisa ilmiah dan mendalam yang melibatkan Strategic Advisory Group of Expert (SAGE) on Immunization, sebagai suatu badan independen yang membantu WHO dari sudut kepakaran ilmiahnya.
"Sesudah ada 'lampu hijau' dari SAGE, maka akan dianalisa lebih lanjut oleh WHO, dalam hal ini Department of Registration and Prequalification," katanya.
Dampak EUL terhadap vaksin Sinovac, kata Tjandra, dapat mendorong kegiatan vaksinasi COVID-19 yang lebih masif lagi di berbagai belahan dunia.
Baca juga: Pakar sebut ada sedikit penurunan efektivitas vaksin terhadap B1617
"EUL ini akan dapat digunakan dalam bantuan internasional multater, seperti COVAX. Kebetulan saya sebagai anggota Independent Allocation of Vaccines Group (IAVG) yang memang menyediakan vaksin bagi negara-negara yang membutuhkannya," katanya.
Baca juga: DPR mendukung uji klinis tahap III Vaksin Nusantara
Tjandra menambahkan EUL dari WHO dapat memberi bukti-bukti ilmiah yang cukup lengkap tentang vaksin dan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan baku setiap negara untuk mengeluarkan Emergency Use of Authorization (EUA) untuk penggunaannya di negara mereka masing-masing.
"Keterangan saya ini untuk memastikan bahwa vaksin Sinovac ini efektif dan aman, jadi tidak perlu ada keraguan sama sekali," katanya.