Kupang (Antaranews NTT) - "Mama....Mama....Mama...." teriakan seorang bocah berusia lima tahun itu, saat melihat ibunya di ruangan pengambilan bagasi di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur yang baru pulang dari Lebanon dalam menjalankan misi perdamaian di negara Timur Tengah itu.
Sambil memegang boneka berwarna merah, si bocah itu berusaha merangkul ibunya saat baru keluar dari pintu kedatangan penumpang di bandara tersebut. Dengan linangan air mata kegembiraan, sang ibu pun langsung memeluk sang anak yang sudah lama menantinya.
Serma Norsina, demikian nama sang ibu itu, merupakan satu-satunya wanita dari Batalyon Infantri Raider Khusus 744/SYB yang terpilih menjadi pasukan perdamaian PBB di Lebanon, Timur Tengah atau yang dikenal dengan "United Nations Interim Forec In Lebanon (UNIFIL) yang tergabung dalam Indonesia Batalyon 23-K atau Batalyon Indobatt XXIII-K.
Norsina memeluk erat anaknya di depan pintu keluar bandara tanpa menghiraukan masih banyaknya pasukan yang akan keluar melalui pintu yang sama. Ia tak sadar bahwa barang bawaannya masih tertahan di depan pintu keluar itu.
Seketika suaminya dengan sigap mendorong troly yang membawa setumpuk tas dan koper milik Norsina tersebut.
"Setahun lebih saya meninggalkan mereka. Ini demi tugas negara. Ini demi Indonesia jadi mau tidak mau harus siap," ujarnya sambil terus bermain dengan anaknya.
Norsina adalah satu-satunya wanita dari 319 pasukan perdamaian yang dipilih untuk bergabung dalam pasukan perdamaian PBB di Lebanon, Timur Tengah.
Norsina merasa bangga dan sedih ketika terpilih menjadi salah satu dari rekan-rekannya masuk dalam pasukan perdamaian itu.
Sedih yang ia rasakan karena harus meninggalkan keluarganya selama satu tahun. Bangga karena menjadi yang terpilih di antara sekian banyak prajurit.
Saat keluar dari kawasan bandara, Norsina terlihat masih ingin terus bersama anak dan suaminya. Namun harus dipisah sementara karena harus menggunakan kendaraan yang sudah disiapkan menuju Makorem 161/Wirasakti Kupang di Jalan WJ Lalamentik.
"Waktu turun pesawat ingin rasanya satu mobil dengan suami dan anak. Namun perintahnya saya dan rekan-rekan harus satu kendaraan. Baru juga ketemu langsung dipisahkan lagi," ujarnya dengan sedih.
Sesampainya di Markas Korem 161/Wirasakti Kupang, Norsina secepat kilat turun dari kendaraan tentara. Saat turun, anak laki-laki satu-satunya tersebut sudah menunggu di samping truk tentara sambil terus memegang boneka merah.
Norsina masih terus berlinang air mata. Sesekali dirinya memeluk erat anaknya dan terus mencium kening dan pipinya seolah-olah tak ingin berpisah lagi.
Marselina, istri dari salah seorang prajurit Indobatt XXIII-K mengatakan sangat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan suami setelah satu tahun berpisah karena menjalankan tugas negara di Timur Tengah.
"Memang sedih rasanya, tetapi sedih karena bahagia...Selama setahun kami berpisah, akhirnya bisa bertemu dengan suami tercinta. Apalagi saat pergi anak kami masih kecil dan saat ini sudah besar," ujarnya.
Jarang Berkomunikasi
Selama satu tahun bertugas di Lebanon, satu hal yang tak bisa dilakukan adalah mengobati kerinduan dengan suami tercint. Sesekali ia pun berusaha mengontak suaminya untuk bercerita serta anaknya untuk bercengkarama.
"Namun hal itu tidak bisa saya lakukan terus menerus. Dalam sebulan mungkin hanya sekali saya bisa berkomunikasi dengan mereka. Atau kadang juga dua bulan sekali, karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara Indonesia dan Lebanon," tutur Norsina.
"Saat Lebanon siang. Di Indonesia khususnya di Kupang sudah tengah malam. Ini membuat saya susah sekali berkomunikasi dengan dia karena memang sudah tertidur pules. Padahal fasilitas sudah disiapkan dengan sangat lengkap," tambahnya.
Ia pun bersyukur karena sudah menjalankan tugas negara dengan baik dan hingga saat ini yang ia lakukan adalah menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya sehingga saat masuk kerja kembali kerinduan untuk berkumpul itu sudah bisa terobati.
Demikianpun dengan Marselina. Selama setahun berpisah, untuk tetap menjalin komunikasi Marselina dan suami serta anaknya hanya bisa saling berkomunikasi hanya melalui media sosial.
Tantangan
Komandan Batalyon (Indobatt) XXIII-K Letkol Inf Yudi Gumilar mengatakan menjalan tugas di daerah Timur Tengah khususnya di Lebanon bagian selatan merupakan sebuah tantangan yang harus bisa dilewati.
"Ada empat musim yang harus bisa kami lewati di sana selama satu tahun ini. Berbeda dengan Indonesia yang hanya dua musim saja. Ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi prajurit-prajurit saya," ujarnya.
Yudi mengatakan para prajurit yang bertugas sudah dbekali dengan pengetahuan serta perlengkapan yang memadai sehingga saat ditugaskan di setiap daerah yang mempunyai musim dingin atau panas segala persiapan sudah dibawa.
Tak hanya itu budaya yang berbeda dengan Indonesia juga menjadi satu hal yang harus dihadapi oleh sejumlah prajurit yang bertugas di Lebanon. "Para prajurit juga tidak lupa dengan adat dan budayanya juga," katanya.
Dalam setiap kegiatan, tarian Ja`i (tarian khas dari daerah Ngada) serta lagu Gemu Famire dari Maumere, Kabupaten Sikka selalu diputar oleh pasukan yang bermarkas di Tobir, Atambua, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan negara Timor Leste itu.
"Pasukan kita menjadi sangat dikenal oleh masyarakat di Lebanon. Bahkan Tarian Ja`i menjadi salah satu ciri khas pasukan dari NTT, karena ikut melibatkan masyarakat Lebanon joget ria bersama para prajurit," tuturnya.
Secara umum Yudi mengaku bahwa pasukan yang dipimpinnya telah bertugas dengan baik di daerah tersebut. Bahkan pasukannya juga tidak melakukan kesalahan sedikitpun selama bertugas di Lebanon.
Berhasil
Yonif Raider Khusus 744/SYB, merupakan salah satu pasukan dari Indonesia yang dinilai berhasil dalam melaksanakan tugas pokok menjaga perdamaian di Lebanon, Timur Tengah disamping juga tugas-tugas teritorial selama berinteraksi dengan masyarakat di wilayah penugasan.
Keberhasilan satuan tugas ini dalam mengemban misi perdamaian dunia tidak hanya menjadi kebanggaan satuan TNI tetapi juga bagi warga masyarakat Nusa Tenggara Timur dimana homebase satuan ini ada di Tobir, Atambua, Kabupaten Belu.
Yonif 744/SYB merupakan satu-satunya batalyon eks Timor Timur yang dinilai berhasil dalam menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.
Ketika Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia melalui referendum pada Agustus 1999, batalyon tersebut tetap dipertahankan eksistensinya oleh Pangdam IX/Udayana (waktu itu) Mayjen TNI Kiki Syahnakri.
Sambil memegang boneka berwarna merah, si bocah itu berusaha merangkul ibunya saat baru keluar dari pintu kedatangan penumpang di bandara tersebut. Dengan linangan air mata kegembiraan, sang ibu pun langsung memeluk sang anak yang sudah lama menantinya.
Serma Norsina, demikian nama sang ibu itu, merupakan satu-satunya wanita dari Batalyon Infantri Raider Khusus 744/SYB yang terpilih menjadi pasukan perdamaian PBB di Lebanon, Timur Tengah atau yang dikenal dengan "United Nations Interim Forec In Lebanon (UNIFIL) yang tergabung dalam Indonesia Batalyon 23-K atau Batalyon Indobatt XXIII-K.
Norsina memeluk erat anaknya di depan pintu keluar bandara tanpa menghiraukan masih banyaknya pasukan yang akan keluar melalui pintu yang sama. Ia tak sadar bahwa barang bawaannya masih tertahan di depan pintu keluar itu.
Seketika suaminya dengan sigap mendorong troly yang membawa setumpuk tas dan koper milik Norsina tersebut.
"Setahun lebih saya meninggalkan mereka. Ini demi tugas negara. Ini demi Indonesia jadi mau tidak mau harus siap," ujarnya sambil terus bermain dengan anaknya.
Norsina adalah satu-satunya wanita dari 319 pasukan perdamaian yang dipilih untuk bergabung dalam pasukan perdamaian PBB di Lebanon, Timur Tengah.
Norsina merasa bangga dan sedih ketika terpilih menjadi salah satu dari rekan-rekannya masuk dalam pasukan perdamaian itu.
Sedih yang ia rasakan karena harus meninggalkan keluarganya selama satu tahun. Bangga karena menjadi yang terpilih di antara sekian banyak prajurit.
Saat keluar dari kawasan bandara, Norsina terlihat masih ingin terus bersama anak dan suaminya. Namun harus dipisah sementara karena harus menggunakan kendaraan yang sudah disiapkan menuju Makorem 161/Wirasakti Kupang di Jalan WJ Lalamentik.
"Waktu turun pesawat ingin rasanya satu mobil dengan suami dan anak. Namun perintahnya saya dan rekan-rekan harus satu kendaraan. Baru juga ketemu langsung dipisahkan lagi," ujarnya dengan sedih.
Sesampainya di Markas Korem 161/Wirasakti Kupang, Norsina secepat kilat turun dari kendaraan tentara. Saat turun, anak laki-laki satu-satunya tersebut sudah menunggu di samping truk tentara sambil terus memegang boneka merah.
Norsina masih terus berlinang air mata. Sesekali dirinya memeluk erat anaknya dan terus mencium kening dan pipinya seolah-olah tak ingin berpisah lagi.
Marselina, istri dari salah seorang prajurit Indobatt XXIII-K mengatakan sangat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan suami setelah satu tahun berpisah karena menjalankan tugas negara di Timur Tengah.
"Memang sedih rasanya, tetapi sedih karena bahagia...Selama setahun kami berpisah, akhirnya bisa bertemu dengan suami tercinta. Apalagi saat pergi anak kami masih kecil dan saat ini sudah besar," ujarnya.
Jarang Berkomunikasi
Selama satu tahun bertugas di Lebanon, satu hal yang tak bisa dilakukan adalah mengobati kerinduan dengan suami tercint. Sesekali ia pun berusaha mengontak suaminya untuk bercerita serta anaknya untuk bercengkarama.
"Namun hal itu tidak bisa saya lakukan terus menerus. Dalam sebulan mungkin hanya sekali saya bisa berkomunikasi dengan mereka. Atau kadang juga dua bulan sekali, karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara Indonesia dan Lebanon," tutur Norsina.
"Saat Lebanon siang. Di Indonesia khususnya di Kupang sudah tengah malam. Ini membuat saya susah sekali berkomunikasi dengan dia karena memang sudah tertidur pules. Padahal fasilitas sudah disiapkan dengan sangat lengkap," tambahnya.
Ia pun bersyukur karena sudah menjalankan tugas negara dengan baik dan hingga saat ini yang ia lakukan adalah menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya sehingga saat masuk kerja kembali kerinduan untuk berkumpul itu sudah bisa terobati.
Demikianpun dengan Marselina. Selama setahun berpisah, untuk tetap menjalin komunikasi Marselina dan suami serta anaknya hanya bisa saling berkomunikasi hanya melalui media sosial.
Tantangan
Komandan Batalyon (Indobatt) XXIII-K Letkol Inf Yudi Gumilar mengatakan menjalan tugas di daerah Timur Tengah khususnya di Lebanon bagian selatan merupakan sebuah tantangan yang harus bisa dilewati.
"Ada empat musim yang harus bisa kami lewati di sana selama satu tahun ini. Berbeda dengan Indonesia yang hanya dua musim saja. Ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi prajurit-prajurit saya," ujarnya.
Yudi mengatakan para prajurit yang bertugas sudah dbekali dengan pengetahuan serta perlengkapan yang memadai sehingga saat ditugaskan di setiap daerah yang mempunyai musim dingin atau panas segala persiapan sudah dibawa.
Tak hanya itu budaya yang berbeda dengan Indonesia juga menjadi satu hal yang harus dihadapi oleh sejumlah prajurit yang bertugas di Lebanon. "Para prajurit juga tidak lupa dengan adat dan budayanya juga," katanya.
Dalam setiap kegiatan, tarian Ja`i (tarian khas dari daerah Ngada) serta lagu Gemu Famire dari Maumere, Kabupaten Sikka selalu diputar oleh pasukan yang bermarkas di Tobir, Atambua, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan negara Timor Leste itu.
"Pasukan kita menjadi sangat dikenal oleh masyarakat di Lebanon. Bahkan Tarian Ja`i menjadi salah satu ciri khas pasukan dari NTT, karena ikut melibatkan masyarakat Lebanon joget ria bersama para prajurit," tuturnya.
Secara umum Yudi mengaku bahwa pasukan yang dipimpinnya telah bertugas dengan baik di daerah tersebut. Bahkan pasukannya juga tidak melakukan kesalahan sedikitpun selama bertugas di Lebanon.
Berhasil
Yonif Raider Khusus 744/SYB, merupakan salah satu pasukan dari Indonesia yang dinilai berhasil dalam melaksanakan tugas pokok menjaga perdamaian di Lebanon, Timur Tengah disamping juga tugas-tugas teritorial selama berinteraksi dengan masyarakat di wilayah penugasan.
Keberhasilan satuan tugas ini dalam mengemban misi perdamaian dunia tidak hanya menjadi kebanggaan satuan TNI tetapi juga bagi warga masyarakat Nusa Tenggara Timur dimana homebase satuan ini ada di Tobir, Atambua, Kabupaten Belu.
Yonif 744/SYB merupakan satu-satunya batalyon eks Timor Timur yang dinilai berhasil dalam menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.
Ketika Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia melalui referendum pada Agustus 1999, batalyon tersebut tetap dipertahankan eksistensinya oleh Pangdam IX/Udayana (waktu itu) Mayjen TNI Kiki Syahnakri.
Yonif Raider Khusus 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) kembali menorehkan prestasi gemilang di Lebanon dalam wadah pasukan perdamaian dari Indonesia.