Jakarta (Antara NTT) - Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempromosikan kerja layak untuk ketahanan pangan dan pembangunan perdesaan berkelanjutan kepada petani-petani di Nusa Tenggara Timur.

        "Petani di NTT masih ada yang terkategori sebagai 'working poor', bekerja tetapi pendapatan belum mencukupi. Melalui pendekatan program pekerjaan layak, kami berharap mereka mampu meningkatkan produktivitas dan menciptakan lingkungan kerja kondusif," kata Koordinator Proyek ILO untuk Ketahanan Pangan Yunirwan Gah dalam lokakarya yang diselenggarakan ILO di Jakarta, Rabu.

        Dia menjelaskan pekerjaan layak memiliki arti bahwa pekerja dalam melakukan berbagai pekerjaannya mempunyai pendapatan yang layak, tidak mendapatkan diskriminasi, bekerja dalam kondisi bermartabat, dan memiliki ruang menyuarakan pendapat.

        Menurut kajian ILO, sebagian besar petani di NTT percaya bahwa mereka menerima harga yang adil dari para pembeli produk mereka tanpa mengetahui harga pasar minimum.

        Sebesar 77 persen dari petani skala kecil di NTT memiliki kesepakatan lisan dan kepercayaan yang tinggi kepada para pembeli sehingga cenderung terjebak praktik perdagangan komoditas yang merugikan petani.

        "Petani di NTT juga kebanyakan masih bekerja secara subsisten atau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, serabutan, dan cenderung tidak memerhatikan aspek kesehatan," kata Yunirwan.

        ILO mengunakan pendekatan analisis rantai nilai sebagai implementasi program "Kerja Layak untuk Ketahanan Pangan dan Pembangunan Desa Berkelanjutan" (Decent Work for Food Security and Sustainable Rural Development/DW4FS) untuk menciptakan dampak positif kepada sekitar 10 ribu petani di NTT.

        Pendekatan tersebut dilakukan dengan penilaian pada titik akhir (konsumen dan pengecer) dan bergerak mundur hingga ke komunitas. Dengan demikian, perwakilan petani kecil mampu mendapatkan informasi mengenai permasalahan dan mengidentifikasi hambatan-hambatan.

        ILO juga mengusung praktik dialog sosial untuk menyuarakan suara petani dengan pedagang agar tidak terus-menerus terjebak praktik perdagangan yang merugikan petani.

        "Kami juga menciptakan jaringan untuk mendukung petani kecil beralih dari subsisten ke tata kelola usaha yang berkelanjutan," ucap Yunirwan.

        Program DW4FS tersebut merupakan hasil kerja sama ILO dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

        Program tersebut memanfaatkan dana donor sebesar 1,273 juta dolar AS dari Badan Kerja Sama Pembangunan Luksemburg dan ILO.

        Fokus program tersebut adalah perbaikan produktivitas kerja, peningkatan peluang kerja, dan perluasan kesempatan kewirausahaan pada rantai nilai makanan berbasis pertanian utama, khususnya jagung, rumput laut, dan ternak di NTT.

        Durasi program tersebut berlangsung selama tiga tahun (Desember 2013-Desember 2016) dengan cakupan wilayah implementasi di Kabupaten Kupang dan sebagian di Kabupaten Sumba Timur.

        NTT dipilih karena merupakan salah satu provinsi yang memiliki tantangan besar dalam hal pemenuhan kebutuhan nutrisi dan ketahanan pangan bagi masyarakatnya, di mana 65 persen berada di bawah garis kemiskinan nasional.

        Direktur ILO untuk Indonesia, Francesco d'Ovidio, berharap program bersama ini dapat memberikan keterampilan dan kapasitas bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.

        "ILO terus melanjutkan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk melihat bagaimana prakarsa dan pendekatan yang dilakukan untuk mempromosikan ketahanan pangan ini dapat direplikasi dan diadaptasi di daerah lainnya," kata dia.  

Pewarta : Calvin Basuki
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024