Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengakui masih belum optimal menekan insiden pencemaran laut dari tumpahan minyak (oil spill) di perairan nasional.

Padahal, secara regulasi, aturan yang mengatur pencegahan hingga perlindungan lingkungan yang terdampak tumpahan minyak sudah cukup lengkap.

"Tumpahan minyak masih sering terjadi di Indonesia, di beberapa tempat, dari skala besar atau kecil, baik yang sengaja atau akibat transportasi dalam kegiatan pelayaran," kata Kepala Bidang Pengelolaan Limbah Deputi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kemenko Marves Rizal Panrelly dalam webinar "Mitigasi dan Penanggulangan Tumpahan Minyak di Provinsi NTT" yang diikuti dari Jakarta, Rabu, (28/7).

Rizal menyebutkan ada sejumlah regulasi terkait pencemaran laut akibat tumpahan minyak, diantaranya PP Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim hingga Keputusan Menteri Perhubungan No. 263 Tahun 2020 tentang Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.

"Kami melihat regulasinya cukup lengkap untuk mencegah dan mewadahi lingkungan, terutama lingkungan maritim. Tapi implementasinya perlu dilihat di lapangan seperti apa," katanya.

Rizal menuturkan meski regulasinya cukup lengkap, ada sejumlah faktor yang menyebabkan aksi tumpahan minyak terus terjadi. Potensi pencemaran utamanya terjadi karena posisi strategis Indonesia yang merupakan jalur utama pelayaran dunia.

Di titik yang paling padat, yakni di Natuna, Kepulauan Riau, tumpahan minyak pun masih kerap terjadi.

"Misal di Selat Malaka dan Laut Natuna, ada potensi pencemaran karena setiap kapal lewat itu bisa saja melakukan pencemaran, termasuk oil spill. Sampai sekarang pun kita belum bisa menekan oil spill di sana," katanya.

Indonesia pun, lanjut dia, telah memiliki satelit yang mampu mendeteksi tumpahan minyak di laut.

"Tapi kita cuma bisa mendeteksi kapalnya, namun tidak mampu mendeteksi nama kapal dan lambung kapal sehingga tidak bisa melakukan tangkap tangan atau tangkap lapangan atas kapal yang membuang limbah di laut. Apalagi jumlah kapal yang beredar di Natuna mencapai 90 ribu kapal," katanya.

Alasan lain sulitnya mencegah tumpahan minyak terus terjadi yakni masih banyak kapal yang melakukan pembuangan limbah di zona yang tidak terdeteksi. Selain itu, petugas di lapangan pun tidak bisa optimal melakukan penangkapan karena tidak bisa menangkap langsung karena data yang tidak real time.

"Nyata, bahwa di kawasan Natuna itu hampir tiap hari terjadi tumpahan minyak di lapangan. Hal ini perlu kita cermati ke depan agar bisa dilakukan pengawasan, termasuk di NTT sehingga ekosistem lingkungan hidup di perairan NTT bisa kita jaga," katanya.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengatakan ada beberapa potensi sumber pencemaran di Laut Timor, diantaranya berasal dari lokasi pengeboran minyak.

Baca juga: Kasal sebut ada tumpahan minyak diduga karena tangki bocor

Baca juga: Satu dekade kasus tumpahan minyak Montara

"Jadi perlu kita mitigasi hal-hal yang mungkin terjadi. Dan kita harus bisa melakukan mitigasi atas apa yang mungkin terjadi," katanya.

Selain banyak tersebarnya potensi migas di perairan Indonesia, kompleksnya kegiatan di wilayah perairan Indonesia juga menjadi salah satu sumber pencemaran laut. Kegiatan itu antara lain operasional kapal tanker, perbaikan dan perawatan kapal (docking), terminal bongkar muat tengah laut, scrapping kapal hingga insiden tabrakan/kecelakaan kapal tanker.

Pewarta : Ade irma Junida
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024