Kupang (AntaraNews NTT) - Australia dan Indonesia merupakan tetangga alami (natural neighbours) yang tidak bisa terbantahkan oleh siapa pun di muka bumi ini.
Atas dasar itu, kedua negara terus membangun kerja sama serta menjaga hubungan baik demi stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan serta kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan.
Tanpa mengurangi arti penting kerja sama di bidang lainnya, kerja sama di bidang penegakan hukum dan pertahanan keamanan, seperti pemberantasan terorisme dan penyelundupan manusia, merupakan salah satu prioritas penting bagi kedua negara bertetangga itu.
Tidak salah jika Australia tampak agresif dalam mengejar dan memastikan komitmen-komitmennya tersebut, sedang Indonesia sebagai bangsa yang besar, memiliki komitmen tulus ikhlas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
Secara jujur, terorisme, penyelundupan manusia, dan pertahanan keamanan lebih banyak menjadi kekhawatiran Australia, sedang Indonesia berkewajiban menghentikan ancaman-ancaman tersebut sebelum mencapai pantai Australia.
"Tapi kami rakyat Timor Barat di NTT sebagai tetangga terdekat Australia memahami dan bangga bahwa Indonesia memegang teguh komitmen-komitmen tersebut. Namun, Australia tampaknya tidak jujur memperlakukan Indonesia sebagai tetangga, saudara dan sahabat," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni.
Hal ini terlihat dari sikap "masa bodoh" Australia terhadap kasus pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 lalu.
Upaya kompensasi dan ganti rugi terhadap penderitaan rakyat Timor Barat di NTT sebagai dampak dari pencemaran tersebut, nyaris tak pernah digubris oleh Australia, meski bencana pencemaran minyak itu sudah berjalan lebih dari delapan tahun lamanya.
"Australia mengaku sebagai tetangga, sahabat dan negara pengagum HAM, namun memilih memalingkan muka dan tanpa rasa malu terus mendorong Indonesia untuk menghadapi tantangannya sendiri," kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.
Ketika Indonesia meminta pertanggungjawaban dari perusahaan pencemar The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) maupun Pemerintah Australia, selalu saja ada alasannya.
Australia selalu mengatakan bahwa ini urusan PTTEP dan Pemerintah Indonesia, apalagi sudah ada gugatan class action oleh petani rumput laut maka semua persoalan yang ada diserahkan saja pada putusan Pengadilan Federal.
Namun, Australia harus ingat bahwa class action itu hanya mewakili sebagian kecil rakyat yang terdampak. Dan, Pengadilan Federal Australia di Sydney, akhirnya mengabulkan gugatan Daniel Sanda, salah seorang petani rumput laut asal Pulau Rote, Kabupaten Rote, NTT terhadap PTTEP Australasia.
Hakim tunggal Pengadilan Federal Australia di Syndey, Yates, dalam putusannya menyebutkan, masa pembatasan yang berlaku untuk klaim pemohon dalam proses persidangan tersebut diperpanjangan hingga 3 Agustus 2017.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 44 Undang-undang Negara bagian Australia Utara tahun 1981 tentang Pembatasan Waktu Pengajuan Gugatan.
Gugatan Daniel Sanda itu mewakili lebih dari 15.000 rekan seprofesinya dari Kabupaten Kupang dan Rote Ndao melawan perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP Australasia. Gugatan petani rumput laut yang didaftarkan di Pengadilan Federal Sydney itu menggunakan UU Negara bagian Australia Utara tahun 1981 .
Undang-undang tersebut mengatur bahwa penggugat diberikan waktu selambat-lambatnya tiga tahun untuk mengajukan gugatan terhitung sejak tanggal kejadian perkara.
Putusan yang disampaikan Hakim Yates itu setelah mempertimbangkan 101 alasan kuat yang diyakini benar sebelum membuat kesimpulan dan menetapkan putusannya pada Rabu (15/11/2017).
Pada 24 Januari 2017, Pengadilan Federal Australia di Sydney yang dipimpin hakim tunggal Griffiths dalam amar putusannya mengabulkan permohonan Daniel Sanda dan mengabaikan keberatan PTTEP Australasia.
Hakim memutuskan bahwa Daniel Sanda berhak untuk mewakili seluruh petani rumput laut melawan PTTEP Australasia. Dengan putusan pengadilan Federal Australia hari ini maka perkara tersebut dilanjutkan.
Di tengah upaya Daniel Sanda mencari keadilan di Pengadilan Sydney, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menggugat perusahaan pencemar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, gugatan tersebut dinilai salah alamat maka Menteri LHK Siti Nurbaya pun akhirnya memilih untuk mencabut gugatannya.
Tekan perusahaan pencemar
Bagi Ferdi Tanoni, Pemerintah Australia seharusnya menekan perusahaan pencemar untuk membayar kompensasi dan ganti rugi bagi korban pencemaran Montara di NTT, sebab perusahaan tersebut terdaftar dan beroperasi di Australia sehingga wajib tunduk dan taat kepada hukum Australia.
Di sisi lain, AMSA (Australia Maritime Safety Authority/Otorita Keselamatan Maritim Australia) juga menyemprotkan dispersant yang sangat beracun sehingga mengancam biota laut, lingkungan dan kesehatan manusia.
Faktanya, menurut Komisi Penyidik Montara bentukan Pemerintah Australia, zat kimia yang sangat beracun tersebut dibawa arus masuk ke wilayah perairan Indonesia dan mencemari pantai-pantai di Indonesia, khususnya perairan Laut Timor dan Laut Sawu.
Akibatnya, usaha serta wilayah budidaya rumput laut di pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur, seperti di Pulau Rote, Sabu, Alor, Timor dan Sumba serta beberapa wilayah di Pulau Flores, hancur dan perlahan mati karena wilayah budidaya terkontaminasi dengan minyak serta zat beracun lainnya.
Tanoni berpendapat Pemerintah Indonesia harus melakukan segala upaya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan pencemar dan Pemerintah Australia, antara lain melalui diplomasi yang lebih tegas lagi dengan memberikan kewenangan penuh pada ?Montara Task Force? yang telah dibentuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI .
Di samping itu, Indonesia berkewajiban untuk menggugat AMSA secara perdata dan pidana di Australia dan atau mengajukan klaim ke Tribunal Internasional, serta meninjau ulang seluruh perjanjian RI-Australia yang ada termasuk membatalkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972 dan tahun 1997 tentang batas landas kontinen dan ZEE di Laut Timor dan Laut Arafura.
"Saya sadar bahwa langkah-langkah tersebut akan banyak yang menentang dengan alasan akan menganggu hubungan baik antara kedua negara. Namun perlu dipertimbangkan bahwa apa yang kita usulkan tersebut, karena Australia memandang kita sebagai tetangga dan sahabat terdekat," ujarnya.
Mencermati berbagai macam fenomena tersebut, tampaknya kasus Montara belum berakhir sampai di sini, sehingga perlu terus diteropong untuk mengetahui kelanjutannya, sampai upaya konpensasi dan ganti rugi terwujud bagi rakyat yang terdampak.
Atas dasar itu, kedua negara terus membangun kerja sama serta menjaga hubungan baik demi stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan serta kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan.
Tanpa mengurangi arti penting kerja sama di bidang lainnya, kerja sama di bidang penegakan hukum dan pertahanan keamanan, seperti pemberantasan terorisme dan penyelundupan manusia, merupakan salah satu prioritas penting bagi kedua negara bertetangga itu.
Tidak salah jika Australia tampak agresif dalam mengejar dan memastikan komitmen-komitmennya tersebut, sedang Indonesia sebagai bangsa yang besar, memiliki komitmen tulus ikhlas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
Secara jujur, terorisme, penyelundupan manusia, dan pertahanan keamanan lebih banyak menjadi kekhawatiran Australia, sedang Indonesia berkewajiban menghentikan ancaman-ancaman tersebut sebelum mencapai pantai Australia.
"Tapi kami rakyat Timor Barat di NTT sebagai tetangga terdekat Australia memahami dan bangga bahwa Indonesia memegang teguh komitmen-komitmen tersebut. Namun, Australia tampaknya tidak jujur memperlakukan Indonesia sebagai tetangga, saudara dan sahabat," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni.
Hal ini terlihat dari sikap "masa bodoh" Australia terhadap kasus pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 lalu.
Upaya kompensasi dan ganti rugi terhadap penderitaan rakyat Timor Barat di NTT sebagai dampak dari pencemaran tersebut, nyaris tak pernah digubris oleh Australia, meski bencana pencemaran minyak itu sudah berjalan lebih dari delapan tahun lamanya.
"Australia mengaku sebagai tetangga, sahabat dan negara pengagum HAM, namun memilih memalingkan muka dan tanpa rasa malu terus mendorong Indonesia untuk menghadapi tantangannya sendiri," kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu.
Ketika Indonesia meminta pertanggungjawaban dari perusahaan pencemar The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) maupun Pemerintah Australia, selalu saja ada alasannya.
Australia selalu mengatakan bahwa ini urusan PTTEP dan Pemerintah Indonesia, apalagi sudah ada gugatan class action oleh petani rumput laut maka semua persoalan yang ada diserahkan saja pada putusan Pengadilan Federal.
Namun, Australia harus ingat bahwa class action itu hanya mewakili sebagian kecil rakyat yang terdampak. Dan, Pengadilan Federal Australia di Sydney, akhirnya mengabulkan gugatan Daniel Sanda, salah seorang petani rumput laut asal Pulau Rote, Kabupaten Rote, NTT terhadap PTTEP Australasia.
Hakim tunggal Pengadilan Federal Australia di Syndey, Yates, dalam putusannya menyebutkan, masa pembatasan yang berlaku untuk klaim pemohon dalam proses persidangan tersebut diperpanjangan hingga 3 Agustus 2017.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 44 Undang-undang Negara bagian Australia Utara tahun 1981 tentang Pembatasan Waktu Pengajuan Gugatan.
Gugatan Daniel Sanda itu mewakili lebih dari 15.000 rekan seprofesinya dari Kabupaten Kupang dan Rote Ndao melawan perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP Australasia. Gugatan petani rumput laut yang didaftarkan di Pengadilan Federal Sydney itu menggunakan UU Negara bagian Australia Utara tahun 1981 .
Undang-undang tersebut mengatur bahwa penggugat diberikan waktu selambat-lambatnya tiga tahun untuk mengajukan gugatan terhitung sejak tanggal kejadian perkara.
Putusan yang disampaikan Hakim Yates itu setelah mempertimbangkan 101 alasan kuat yang diyakini benar sebelum membuat kesimpulan dan menetapkan putusannya pada Rabu (15/11/2017).
Pada 24 Januari 2017, Pengadilan Federal Australia di Sydney yang dipimpin hakim tunggal Griffiths dalam amar putusannya mengabulkan permohonan Daniel Sanda dan mengabaikan keberatan PTTEP Australasia.
Hakim memutuskan bahwa Daniel Sanda berhak untuk mewakili seluruh petani rumput laut melawan PTTEP Australasia. Dengan putusan pengadilan Federal Australia hari ini maka perkara tersebut dilanjutkan.
Di tengah upaya Daniel Sanda mencari keadilan di Pengadilan Sydney, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menggugat perusahaan pencemar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, gugatan tersebut dinilai salah alamat maka Menteri LHK Siti Nurbaya pun akhirnya memilih untuk mencabut gugatannya.
Tekan perusahaan pencemar
Bagi Ferdi Tanoni, Pemerintah Australia seharusnya menekan perusahaan pencemar untuk membayar kompensasi dan ganti rugi bagi korban pencemaran Montara di NTT, sebab perusahaan tersebut terdaftar dan beroperasi di Australia sehingga wajib tunduk dan taat kepada hukum Australia.
Di sisi lain, AMSA (Australia Maritime Safety Authority/Otorita Keselamatan Maritim Australia) juga menyemprotkan dispersant yang sangat beracun sehingga mengancam biota laut, lingkungan dan kesehatan manusia.
Faktanya, menurut Komisi Penyidik Montara bentukan Pemerintah Australia, zat kimia yang sangat beracun tersebut dibawa arus masuk ke wilayah perairan Indonesia dan mencemari pantai-pantai di Indonesia, khususnya perairan Laut Timor dan Laut Sawu.
Akibatnya, usaha serta wilayah budidaya rumput laut di pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur, seperti di Pulau Rote, Sabu, Alor, Timor dan Sumba serta beberapa wilayah di Pulau Flores, hancur dan perlahan mati karena wilayah budidaya terkontaminasi dengan minyak serta zat beracun lainnya.
Tanoni berpendapat Pemerintah Indonesia harus melakukan segala upaya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan pencemar dan Pemerintah Australia, antara lain melalui diplomasi yang lebih tegas lagi dengan memberikan kewenangan penuh pada ?Montara Task Force? yang telah dibentuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI .
Di samping itu, Indonesia berkewajiban untuk menggugat AMSA secara perdata dan pidana di Australia dan atau mengajukan klaim ke Tribunal Internasional, serta meninjau ulang seluruh perjanjian RI-Australia yang ada termasuk membatalkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972 dan tahun 1997 tentang batas landas kontinen dan ZEE di Laut Timor dan Laut Arafura.
"Saya sadar bahwa langkah-langkah tersebut akan banyak yang menentang dengan alasan akan menganggu hubungan baik antara kedua negara. Namun perlu dipertimbangkan bahwa apa yang kita usulkan tersebut, karena Australia memandang kita sebagai tetangga dan sahabat terdekat," ujarnya.
Mencermati berbagai macam fenomena tersebut, tampaknya kasus Montara belum berakhir sampai di sini, sehingga perlu terus diteropong untuk mengetahui kelanjutannya, sampai upaya konpensasi dan ganti rugi terwujud bagi rakyat yang terdampak.