Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni menduga ada skenario terselubung yang tengah dimainkan oleh mantan Deputi I Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno untuk memecah belah rakyat NTT dalam menghadapi persoalan Montara.
"Indikasi ini terlihat jelas dari upaya yang tengah dimainkan oleh Havas Oegroseno untuk memberikan CSR kepada rakyat korban sebagai kompensasi dari pencemaran Laut Timor," kata Tanoni yang juga Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara kepada pers di Kupang, Senin (9/4).
Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009, yang ikut membawa dampak terhadap lesunya kehidupan para nelayan serta petani rumput laut yang hidup di wilayah pesisir NTT.
Menurut Tanoni, Arif Havas Oegroseno yang telah dilantik menjadi Dubes Indonesia untuk Jerman itu enggan mengemban tugasnya sebagai Duta Besar karena sedang bermain mata dengan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk menjalankan misi CSR tersebut.
Arif Havas Oegroseno pada 23 Maret 2018, berinisiatif mengundang CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk mengadakan pertemuan tertutup di Jakarta guna membahas kompensasi kepada rakyat korban Montara dalam bentuk CSR tersebut yang dihadiri pula oleh Ketua Bappeda NTT I Wayan Darmawa.
"Pertemuan tersebut difokuskan pada bagaimana caranya membujuk lebih dari 100.000 rakyat korban di NTT untuk mau menerima dana bantuan sosial (CSR) dari PTTEP dan Australia tersebut," katanya.
Baca juga: Feature - Mengharapkan kerja nyata Montara Task Force
Baca juga: Gereja-Masjid diminta doakan kasus Montara
Arif Havas Oegroseno
Menurut mantan agen imigrasi Australia itu, apa yang dilakukan Havas bersama CEO PTTEP Bangkok itu merupakan salah satu bentuk dari upaya memecah belah rakyat korban Montara yang sedang mengadu nasibnya di Pengadilan Federal Sydney di Australia lewat gugatan "class action" sejak Agustus 2016.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2909 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 90, Pasal 9l ayat (l) dan Pasal 92 ayat (1) serta Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan, merupakan hak masyarakat korban untuk melakukan tuntutan ganti rugi tentang kerugian sosial dan ekonomi yang sedang dihadapi.
Atas dasar ketentuan tersebut, rakyat korban Montara serta pemerintah Provinsi NTT dan para bupati/wali kota di NTTsejak tahun 2012 telah memberikan dukungan dan kuasa penuh kepada Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara untuk melakukan advokasi terhadap kasus tumpahan minyak tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perhubungan RI selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut berdasarkan pada kententuan Perpres No.109 Tahun 2006, juga memberikan dukungan penuh kepada Ketua tim advokasi rakyat korban Montara.
Namun, ketika Arif Havas Oegroseno masih menjabat sebagai Deputy I Kementerian Koordinator Kemaritiman mengambil alih urusan pencemaran Laut Timor dari tangan Menteri Perhubungan dengan maksud dan tujuan yang tidak jelas.
Hingga pertengahan tahun 2017 timbul persoalan dalam penanganan kasus pencemaran Laut Timor, maka Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan memimpin pertemuan koordinasi dengan pihak-pihak terkait pada tanggal 15 Agustus 2017.
Guna mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara ini dalam rapat koordinasi tersebut dibentuklah ?Satuan Tugas Montara? dengan surat Menteri Koordinator Kemaritiman RI terdiri dari 4 orang tidak termasuk Arif Havas Oegroseno yang bertugas untuk memonitor, mencermati dan berdialog dengan semua pihak yang terkait dengan kasus tumpahan minyak Montara.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Baca juga: Meneropong kelanjutan penyelesaian kasus Montara
Meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009
Sejak diterbitkannya surat penugasan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Satuan Tugas Montara (Montara task Force) telah melakukan dialog dengan Pemerintah Australia dan bersedia untuk bekerja sama menyelesaikan kasus Montara tersebut.
Bahkan, kata Tanoni, Havas malah membuat tim bayangan dengan menggunakan stafnya berangkat ke Australia dan Bangkok untuk memberikan informasi yang berbeda yang bertujuan untuk mengeliminir keputusan Menko Luhut Pandjaitan.
"Dalam kasus ini, kami minta Ketua Bappeda NTT agar tidak grasa grusu dengan dana CSR tersebut, tetapi berkoordinasi dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup NTT yang selama ini secara rutin mengikuti perkembangan Montara," katanya.
Atas dasar itu, Tanoni meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda keberangkatan Arif Havas Oegroseno ke Jerman untuk segera diminta pertanggungjawaban dari upayanya untuk menjadikan kasus Montara seperti kasus Kedungombo Yogya tersebut.
"Indikasi ini terlihat jelas dari upaya yang tengah dimainkan oleh Havas Oegroseno untuk memberikan CSR kepada rakyat korban sebagai kompensasi dari pencemaran Laut Timor," kata Tanoni yang juga Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara kepada pers di Kupang, Senin (9/4).
Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009, yang ikut membawa dampak terhadap lesunya kehidupan para nelayan serta petani rumput laut yang hidup di wilayah pesisir NTT.
Menurut Tanoni, Arif Havas Oegroseno yang telah dilantik menjadi Dubes Indonesia untuk Jerman itu enggan mengemban tugasnya sebagai Duta Besar karena sedang bermain mata dengan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk menjalankan misi CSR tersebut.
Arif Havas Oegroseno pada 23 Maret 2018, berinisiatif mengundang CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk mengadakan pertemuan tertutup di Jakarta guna membahas kompensasi kepada rakyat korban Montara dalam bentuk CSR tersebut yang dihadiri pula oleh Ketua Bappeda NTT I Wayan Darmawa.
"Pertemuan tersebut difokuskan pada bagaimana caranya membujuk lebih dari 100.000 rakyat korban di NTT untuk mau menerima dana bantuan sosial (CSR) dari PTTEP dan Australia tersebut," katanya.
Baca juga: Feature - Mengharapkan kerja nyata Montara Task Force
Baca juga: Gereja-Masjid diminta doakan kasus Montara
Menurut mantan agen imigrasi Australia itu, apa yang dilakukan Havas bersama CEO PTTEP Bangkok itu merupakan salah satu bentuk dari upaya memecah belah rakyat korban Montara yang sedang mengadu nasibnya di Pengadilan Federal Sydney di Australia lewat gugatan "class action" sejak Agustus 2016.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2909 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 90, Pasal 9l ayat (l) dan Pasal 92 ayat (1) serta Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan, merupakan hak masyarakat korban untuk melakukan tuntutan ganti rugi tentang kerugian sosial dan ekonomi yang sedang dihadapi.
Atas dasar ketentuan tersebut, rakyat korban Montara serta pemerintah Provinsi NTT dan para bupati/wali kota di NTTsejak tahun 2012 telah memberikan dukungan dan kuasa penuh kepada Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara untuk melakukan advokasi terhadap kasus tumpahan minyak tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perhubungan RI selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut berdasarkan pada kententuan Perpres No.109 Tahun 2006, juga memberikan dukungan penuh kepada Ketua tim advokasi rakyat korban Montara.
Namun, ketika Arif Havas Oegroseno masih menjabat sebagai Deputy I Kementerian Koordinator Kemaritiman mengambil alih urusan pencemaran Laut Timor dari tangan Menteri Perhubungan dengan maksud dan tujuan yang tidak jelas.
Hingga pertengahan tahun 2017 timbul persoalan dalam penanganan kasus pencemaran Laut Timor, maka Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan memimpin pertemuan koordinasi dengan pihak-pihak terkait pada tanggal 15 Agustus 2017.
Guna mempercepat penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara ini dalam rapat koordinasi tersebut dibentuklah ?Satuan Tugas Montara? dengan surat Menteri Koordinator Kemaritiman RI terdiri dari 4 orang tidak termasuk Arif Havas Oegroseno yang bertugas untuk memonitor, mencermati dan berdialog dengan semua pihak yang terkait dengan kasus tumpahan minyak Montara.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Baca juga: Meneropong kelanjutan penyelesaian kasus Montara
Sejak diterbitkannya surat penugasan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Satuan Tugas Montara (Montara task Force) telah melakukan dialog dengan Pemerintah Australia dan bersedia untuk bekerja sama menyelesaikan kasus Montara tersebut.
Bahkan, kata Tanoni, Havas malah membuat tim bayangan dengan menggunakan stafnya berangkat ke Australia dan Bangkok untuk memberikan informasi yang berbeda yang bertujuan untuk mengeliminir keputusan Menko Luhut Pandjaitan.
"Dalam kasus ini, kami minta Ketua Bappeda NTT agar tidak grasa grusu dengan dana CSR tersebut, tetapi berkoordinasi dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup NTT yang selama ini secara rutin mengikuti perkembangan Montara," katanya.
Atas dasar itu, Tanoni meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda keberangkatan Arif Havas Oegroseno ke Jerman untuk segera diminta pertanggungjawaban dari upayanya untuk menjadikan kasus Montara seperti kasus Kedungombo Yogya tersebut.