Menjadi guru honorer di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya di Kota Kupang dengandigaji Rp150 ribu per bulan atau jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) yang ditetapkan sebesar Rp1.660.000,- masih dialami sebagian warga kota tersebut.
Padahal Kota Kupang menjadi barometer bagi kesejateraan guru-guru di kabupaten lain di provinsi berbasis kepulauan itu.
Seorang guru honorer, Herlin Sanu (30), yang bertugas di SD Kristen Setia Kuasaet, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, antara lain mengeluh akan nasibnya yang memprihatinkan itu.
Perempuan lulusan D3 dari Fakultas Pendidikan Universitas Cendana, Kupang itu telah mengabdi sebagai guru honorer selama lima tahun, semula dijanjikan gaji Rp500.000,- per bulan dan berjalan selama tiga tahun, namun kenyataannya sekarang tinggal Rp150.000,- per bulan.
Herlin berharap pemimpin NTT berikutnya bisa mengubah nasibnya bersama dengan empat rekan-rekannya sesama honorer yang bekerja di sekolah yang sama.
"Saya berharap nanti kalau ada gubernur baru, nasib kami guru honerer di kota ini bisa diperhatikan. Terlebih lagi saya sangat berharap kepada Mama Emi agar nanti bisa membantu para guru honorer di sini,"ucap Herlin dengan suara melirih.
Mama Emi sapaan akrab Emelia Julia Nomleni adalah Calon Wakil Gubernur Nomor urut dua yang diusung oleh PDI Perjuangan dan PKB.
Emelia adalah satu-satunya kandidat wanita yang maju dalam Pilgub 2018 ini. Saat ini dirinya berjuang sendiri, karena pasangannya Marianus Sae yang menjadi calon gubernur, telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK) beberapa waktu lalu atas dugaan melakukan tindak pidana Korupsi.
Bukan tanpa sebab Herlin berharap pada Mama Emi, karena sebagai satu-satunya
perempuan yang menjadi kandidat wakil gubernur, Emelia dianggap bisa mengerti kebutuhan perempuan.
"Banyak teman-teman yang sudah mengajar, namun keluar lagi karena gaji terlalu kecil," keluhnya.
Dalam satu bulan, gaji yang diterima Herlin bersama teman-temannya tidak menentu. Gaji paling tinggi yang mereka adalah Rp150 ribu.
Sumber gaji mereka berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maka penerimaan gaji Herlin dan kawan-kawan pun tidak bisa teratur sebulan sekali.
"Sumber gaji kami dari dana BOS. Jadi tiga bulan sekali baru cair uangnya. Kami terima setiap tiga bulan sekali. Kadang tidak terima karena tidak cair. Katanya diputihkan," jelasnya.
Pengabdian yang tulus dari guru honorer seperti Herlin tidak diimbangi dengan kompensasi yang baik. Baginya, uang yang diterimanya itu sangat tidak mungkin mencukupi kebutuhannya dalam sebulan.
"Saya perempuan. Kebutuhan saya banyak," katai ibu bagi seorang anak itu.
Dia berkisah, untuk membantu mencukupi kehidupannya, dia berjualan di Pasar Kasih, Naikoten setelah jam sekolah usai karena suaminya bekerja sebagai buruh pelabuhan dengan penghasilan yang juga kecil.
"Ya, jualan apa saja. Minyak tanah, kebutuhan hidup lainnya. Modal awalnya saya dapat dari keluarga. Kalau tidak begitu, setengah mati," ujarnya.
Potret salah satu gedung sekolah di Sumba (Foto Antara/Kornelis Kaha)
Bertahan
Seoraang guru honorer dari sekolah yang sama, Anita juga mengatakan tetap bertahan di sekolah itu walaupun masih sebagai guru honorer dan penghasilannya tidak mencukupi.
"Mau bagaimana lagi. Saat ini cari kerja susah. Jadi terpaksa bertahan. Saya berharap juga Ibu Emi bisa menjadi gubernur sehingga tentunya sesama wanita bisa saling mengerti, dan tentunya hati seorang ibu lebih lembut," ujarnya sambil tertawa.
Anita(31) berkisah, SD Kristen Kuasaet yang berdiri tahun 2007 selama beberapa tahun sekolah ini masih mendapat suntikan dana dari pendiri sekolah dan yayasan.
"Namun sejak 2015, yayasan dan pendiri sekolah sudah lepas tangan. Mereka tidak lagi memberikan bantuan untuk operasional sekolah ini. Kalau kami tidak ingat anak-anak, kami sudah tinggalkan sekolah ini. Kami masih bertahan," ceritanya.
Jadi untuk mendanai seluruh kegiatan, urainya, sekolah ini murni mengharapkan dana BOS dan iuran dari para murid.
"Sekarang kami hanya tunggu dana BOS. Gaji kami dan seluruh kegiatan sekolah dari situ semua. Kami juga mengharapkan iuran dari para murid yang berjumlah 57 orang. Tapi iuran itu kami tidak paksakan. Satu bulan mereka bayar Rp10 ribu per siswa. Kalau belum ada uang, kami tidak akan paksa mereka bayar," jelasnya.
Sebenarnya, sekolah tempat mereka mengajar itu telah ditutup. Namun guru-guru bersama orang tua murid, masih berusaha mempertahankannya demi kepentingan para siswa.
Ia pun merasa iba dengan puluhan anak tersebut yang jika ditutup sekolahnya.
"Kasihan anak-anak kalau sekolah mereka ditutup. Apalagi daerah ini agak terpencil. Kalau tutup, mereka susah juga cari sekolah lain," ungkapnya.
Dengan alasan ini, selain berharap gaji mereka diperhatikan, Anita juga berharap agar status sekolah mereka bisa diubah status sebagai sekolah negeri.
"Banyak sekolah yang jumlah siswanya lebih sedikit juga bisa jadi sekolah negeri. Saya harap sekolah kami bisa dinegerikan juga. Karena kalau begini terus, kami tidak tahu seberapa kuat lagi kami bertahan. Kami sangat mengharapkan uluran tangan Mama Emi," ungkapnya.
Nasib Anita lebih buruk ketimbang Herlin, karena selain memiliki dua anak, suami Anita bekerja sebagai buruh bangunan yang penghasilannya sangat tergantung pada ada atau tidak pekerjaan banguna untuknya.
Lahan
Menjadikan sebuah sekolah swasta atau sekolah yayasan menjadi negeri tidak semudah membalikan telapak tangan. Masalah yang terjadi di sekolah itu sebenarnya sudah didengar oleh Dinas Pendidikan Kota Kupang.
Kadis Pendidikan Kota Kupang Filmon Lulupoy mengaku dirinya sudah sempat memanatu sekolah itu dan sempat ada pembahasan dengan anggota DPRD Kota Kupang beberapa waktu lalu.
"Sekolah itu sudah dilepas oleh yayasannya. Sebenarnya masalah dipindahkan ke Negeri itu masalah mudah, tetapi masalah lain adalah lahan yang dibangun sekolah itu lahan milik yayasan. Kami tak ingin ambil resiko kalau sudah dijadikan negeri nanti ada klaim tanah dari pemilik yayasan itu," ujarnya.
Oleh karena itu Filmon mengatakan agar masalah lahan di sekolah itu harus diselesaikan baru kemudian bisa dinegerikan.
Namun pemerintah Kota juga akan mencari jalan keluar agar puluhan anak SD itu bisa tetap sekolah jikalau sekolah itu ditutup oleh yayasannya.
Terkait gaji guru Honorer, Filmon mengatakan bahwa pemerintah Kota Kupang saat ini tengah mendata jumlah guru honorer di Kota Kupang, agar nanti bisa diangkat menjadi guru kontrak dengan gaji sesuai dengan UMR.
"Bapak Wali Kota juga sudah menyampaikan hal ini. Saat ini kami masih data sekolah dan jumlah guru yang ada di Kota ini," ujarnya.
Ia pun berharap Herlin, Anita dan beberapa teman guru honorernya bisa masuk dalam daftar guru yang akan dikontrak.
Data yang diperoleh dari Website resmi Dinas Pendidikan Kota Kupang, terdapat 32 Sekolah Swasta atau Yayasan di kota itu, termasuk Sekolah Dasar Kristen Setia tersebut.
M
I
M
Padahal Kota Kupang menjadi barometer bagi kesejateraan guru-guru di kabupaten lain di provinsi berbasis kepulauan itu.
Seorang guru honorer, Herlin Sanu (30), yang bertugas di SD Kristen Setia Kuasaet, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, antara lain mengeluh akan nasibnya yang memprihatinkan itu.
Perempuan lulusan D3 dari Fakultas Pendidikan Universitas Cendana, Kupang itu telah mengabdi sebagai guru honorer selama lima tahun, semula dijanjikan gaji Rp500.000,- per bulan dan berjalan selama tiga tahun, namun kenyataannya sekarang tinggal Rp150.000,- per bulan.
Herlin berharap pemimpin NTT berikutnya bisa mengubah nasibnya bersama dengan empat rekan-rekannya sesama honorer yang bekerja di sekolah yang sama.
"Saya berharap nanti kalau ada gubernur baru, nasib kami guru honerer di kota ini bisa diperhatikan. Terlebih lagi saya sangat berharap kepada Mama Emi agar nanti bisa membantu para guru honorer di sini,"ucap Herlin dengan suara melirih.
Mama Emi sapaan akrab Emelia Julia Nomleni adalah Calon Wakil Gubernur Nomor urut dua yang diusung oleh PDI Perjuangan dan PKB.
Emelia adalah satu-satunya kandidat wanita yang maju dalam Pilgub 2018 ini. Saat ini dirinya berjuang sendiri, karena pasangannya Marianus Sae yang menjadi calon gubernur, telah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK) beberapa waktu lalu atas dugaan melakukan tindak pidana Korupsi.
Bukan tanpa sebab Herlin berharap pada Mama Emi, karena sebagai satu-satunya
perempuan yang menjadi kandidat wakil gubernur, Emelia dianggap bisa mengerti kebutuhan perempuan.
"Banyak teman-teman yang sudah mengajar, namun keluar lagi karena gaji terlalu kecil," keluhnya.
Dalam satu bulan, gaji yang diterima Herlin bersama teman-temannya tidak menentu. Gaji paling tinggi yang mereka adalah Rp150 ribu.
Sumber gaji mereka berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maka penerimaan gaji Herlin dan kawan-kawan pun tidak bisa teratur sebulan sekali.
"Sumber gaji kami dari dana BOS. Jadi tiga bulan sekali baru cair uangnya. Kami terima setiap tiga bulan sekali. Kadang tidak terima karena tidak cair. Katanya diputihkan," jelasnya.
Pengabdian yang tulus dari guru honorer seperti Herlin tidak diimbangi dengan kompensasi yang baik. Baginya, uang yang diterimanya itu sangat tidak mungkin mencukupi kebutuhannya dalam sebulan.
"Saya perempuan. Kebutuhan saya banyak," katai ibu bagi seorang anak itu.
Dia berkisah, untuk membantu mencukupi kehidupannya, dia berjualan di Pasar Kasih, Naikoten setelah jam sekolah usai karena suaminya bekerja sebagai buruh pelabuhan dengan penghasilan yang juga kecil.
"Ya, jualan apa saja. Minyak tanah, kebutuhan hidup lainnya. Modal awalnya saya dapat dari keluarga. Kalau tidak begitu, setengah mati," ujarnya.
Bertahan
Seoraang guru honorer dari sekolah yang sama, Anita juga mengatakan tetap bertahan di sekolah itu walaupun masih sebagai guru honorer dan penghasilannya tidak mencukupi.
"Mau bagaimana lagi. Saat ini cari kerja susah. Jadi terpaksa bertahan. Saya berharap juga Ibu Emi bisa menjadi gubernur sehingga tentunya sesama wanita bisa saling mengerti, dan tentunya hati seorang ibu lebih lembut," ujarnya sambil tertawa.
Anita(31) berkisah, SD Kristen Kuasaet yang berdiri tahun 2007 selama beberapa tahun sekolah ini masih mendapat suntikan dana dari pendiri sekolah dan yayasan.
"Namun sejak 2015, yayasan dan pendiri sekolah sudah lepas tangan. Mereka tidak lagi memberikan bantuan untuk operasional sekolah ini. Kalau kami tidak ingat anak-anak, kami sudah tinggalkan sekolah ini. Kami masih bertahan," ceritanya.
Jadi untuk mendanai seluruh kegiatan, urainya, sekolah ini murni mengharapkan dana BOS dan iuran dari para murid.
"Sekarang kami hanya tunggu dana BOS. Gaji kami dan seluruh kegiatan sekolah dari situ semua. Kami juga mengharapkan iuran dari para murid yang berjumlah 57 orang. Tapi iuran itu kami tidak paksakan. Satu bulan mereka bayar Rp10 ribu per siswa. Kalau belum ada uang, kami tidak akan paksa mereka bayar," jelasnya.
Sebenarnya, sekolah tempat mereka mengajar itu telah ditutup. Namun guru-guru bersama orang tua murid, masih berusaha mempertahankannya demi kepentingan para siswa.
Ia pun merasa iba dengan puluhan anak tersebut yang jika ditutup sekolahnya.
"Kasihan anak-anak kalau sekolah mereka ditutup. Apalagi daerah ini agak terpencil. Kalau tutup, mereka susah juga cari sekolah lain," ungkapnya.
Dengan alasan ini, selain berharap gaji mereka diperhatikan, Anita juga berharap agar status sekolah mereka bisa diubah status sebagai sekolah negeri.
"Banyak sekolah yang jumlah siswanya lebih sedikit juga bisa jadi sekolah negeri. Saya harap sekolah kami bisa dinegerikan juga. Karena kalau begini terus, kami tidak tahu seberapa kuat lagi kami bertahan. Kami sangat mengharapkan uluran tangan Mama Emi," ungkapnya.
Nasib Anita lebih buruk ketimbang Herlin, karena selain memiliki dua anak, suami Anita bekerja sebagai buruh bangunan yang penghasilannya sangat tergantung pada ada atau tidak pekerjaan banguna untuknya.
Lahan
Menjadikan sebuah sekolah swasta atau sekolah yayasan menjadi negeri tidak semudah membalikan telapak tangan. Masalah yang terjadi di sekolah itu sebenarnya sudah didengar oleh Dinas Pendidikan Kota Kupang.
Kadis Pendidikan Kota Kupang Filmon Lulupoy mengaku dirinya sudah sempat memanatu sekolah itu dan sempat ada pembahasan dengan anggota DPRD Kota Kupang beberapa waktu lalu.
"Sekolah itu sudah dilepas oleh yayasannya. Sebenarnya masalah dipindahkan ke Negeri itu masalah mudah, tetapi masalah lain adalah lahan yang dibangun sekolah itu lahan milik yayasan. Kami tak ingin ambil resiko kalau sudah dijadikan negeri nanti ada klaim tanah dari pemilik yayasan itu," ujarnya.
Oleh karena itu Filmon mengatakan agar masalah lahan di sekolah itu harus diselesaikan baru kemudian bisa dinegerikan.
Namun pemerintah Kota juga akan mencari jalan keluar agar puluhan anak SD itu bisa tetap sekolah jikalau sekolah itu ditutup oleh yayasannya.
Terkait gaji guru Honorer, Filmon mengatakan bahwa pemerintah Kota Kupang saat ini tengah mendata jumlah guru honorer di Kota Kupang, agar nanti bisa diangkat menjadi guru kontrak dengan gaji sesuai dengan UMR.
"Bapak Wali Kota juga sudah menyampaikan hal ini. Saat ini kami masih data sekolah dan jumlah guru yang ada di Kota ini," ujarnya.
Ia pun berharap Herlin, Anita dan beberapa teman guru honorernya bisa masuk dalam daftar guru yang akan dikontrak.
Data yang diperoleh dari Website resmi Dinas Pendidikan Kota Kupang, terdapat 32 Sekolah Swasta atau Yayasan di kota itu, termasuk Sekolah Dasar Kristen Setia tersebut.
M
I
M